Wilayah Adat Nasib Era Masa Depan Masyarakat Aru

Terlihat tatapan-tatapan yang tidak biasa menyorot wajah ku. Ada apa yah? Dalam hati ku bertanya. Terlihat asing alasan terkuat yang bisa diterima. Kami diajak berjalan kaki oleh Ode, salah seorang anggota tim riset yang sengaja bertemu di Ambon. Dia sebelumnya pernah ke Aru bersama Cenges, lebih banyak tahu tentang Aru dan permasalahannya. Rupanya kita diajak ke rumah Pak Boy, anggota PW AMAN Kabupaten Kepualauan Aru yang juga anggota perjuangan #savearu sekaligus pegawai negeri sipil di Setda.

#Savearu merupakan sebuah gerakan perjuangan untuk membela hak-hak masyarakat adat atas tanah dan laut beserta sumber daya di dalamnya. Tiga tahun terakhir terjadi pergolakan. Perlawanan yang heroic ditunjukan oleh Mika Ganobal, sebagai orator saat demo penolakan konsesi Menara Group di depan gedung DPRD. Mika bersama kawan-kawan #savearu menggalang solidaritas mulai dari kalangan blogers, pendeta, mahasiswa, masyarakat adat, pemuda adat, ibu-ibu, bahkan sampai orang di luar negeri sana. Kedatangan kami, tim dari FWI bersama P4W IPB untuk membuktikan secara ilmiah bahwa perkebunan tebu yang nantinya dibangun di atas tanah aru oleh Menara Group sangatlah tidak tepat. Secara topografi, daratan aru bukanlah sebuah hamparan pulau besar, melainkan berupa pulau-pulau kecil. Kedua, masyarakat adat ekonomi aru memiliki kearifan untuk mengelola sumber daya alam yang ada di laut dan hutan.

Bersama Mika dan Boy, kami berdiskusi teknis keberangkatan. Kesediaan kapal menjadi syarat utama kami untuk bisa melanjutkan ke lokus-lokus penelitian. Ingat, Aru adalah kepulauan. Awalnya kami akan menggunakan kapal milik Mika, namun sampai hari Minggu masih digunakan untuk keperluan keluarganya yang sedang mengangkut semen. Tanpa kapal kami tidak bisa memulai. Kami mencoba menyiasati kekosangan tersebut dengan mengunjungi sebuah pulau diseberang Dobo, namanya Pulau Wokam. Menurut Mika dan Boy, Wokam merupakan pusat penelusuran sejarah di aru. Menggunakan speedboat berkekuatan 24 pk kami berangkat dari pelabuhan beton. Speedboat berukuran kurang lebih untuk 6 orang saja. Berwarna biru muda dan berbahan fiber. Di pelabuhan kami tetap menjadi pusat perhatian orang-orang yang saat itu sedang bercanda ria di pinggiran tanggul pelabuhan. Siap meluncur….

Tidak lama, sekitar 15 menit kami sudah tiba di Wokam. Kapal tidak sandar di pelabuhan karena tidak ada. Sekedar membuat kandas agar tidak terbawa arus balik. Memasuki jalanan desa yang sedikit menjorok ke dalam, terlihat jalanan setapak terbuat dari beton. Rapih dan bersih, sangat terkelola dan terawat dengan sungguh-sungguh. Ditemani Pak Mon yang juga aktivitis #savearu kami diarahkan bertemu kepala desa. Sore itu, kepala desa sedang tidak ada.

Kami “memaksa” untuk bertemu salah satu perangkat desa, yah sekertaris desa sebagai penggantinya. Saat kami mengunjungi rumahnya, dia sedang tidur dan kami paksa bangun dengan berbincang di dalam rumahnya…hehehe maklum waktu yang kami miliki sangatlah terbatas. Dihadiri oleh tua adat, obrolan pun dimulai.

Wokam, dulunya menjadi pusat peradaban modern di Aru. Dulu sekali, mungkin berkisar 300-400 tahun yang silam. Saat itu mungkin masih banyak misionaris dari Portugis mencari suaka di Indonesia. Misi pertama masuk ke Aru untuk menyebarkan agama. Kedatangan para misionaris tersebut membuka pintu selebar-lebarnya bagi masyarakat Aru yang saat itu tidak memiliki agama. Dengan dibangunnya sebuah benteng oleh bangsa Portugis, menjadi simbol patok pertahanan pertama di Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Kendati begitu, Wokam ternyata tempat ketiga sebagai pusat pemerintahan yang dibangun oleh bangsa Portugis. Tidak lama, setelah Portugis masuk, datanglah bangsa Arab untuk menyebarkan agama Islam. Namun, saat itu ditolak karena sebagian masyarakat telah memeluk agama Kristen. Akhirnya bangsa Arab menetap di Ujir, salah satu kampung di Pulau Wokam. Begitulah penuturan sekertaris desa yang bercerita dengan terbata-bata sembari mengingat sejarah nenek moyangnya. Obrolan pun diakhiri dan kami beranjak pergi menuju Dobo. Bermalam di Dobo, berharap esok hari ada kapal yang bisa mengantarkan kami ke Marfenfen.

Ah..ternyata nasib berkata lain. Setelah mencari kapal yang paling memungkinkan tidak ada, akhirnya Mika menawarkan untuk menggunakan kapal miliknya, namun hanya sampai Benjina. Setelah berunding, scenario diubah. Seharusnya tim pada tanggal 18 Oktober 2015 sudah di Marfenfen tapi digeser ke Benjina. Beginilah jikalau sudah bergelut dengan pasang surut, pulau-pulau kecil, dan Indonesia Timur. Harus adaptif dan dinamis.

Thank you for your vote!
Post rating: 2.5 from 5 (according 2 votes)

2 Comments

  • Mans
    Posted Desember 25, 2019 1:32 am 0Likes
    Thank you for your vote!
    Rating 0 from 5

    Tulisan ini mengatakan bahwa Desa Longgar merupakan pemekaran dari Desa Apara! Apakah anda tahu asal mula Desa Apara mengapa bisa berada di sana? Bukti anda apa Desa Longgar merupakan pemekaran desa apa? Sejaka kapan desa apara berdiri di tanah yang di berikan Desa Longgar untuk di tempati desa Apara yang berasal dari Aru Utara???

  • Mans
    Posted Desember 25, 2019 1:36 am 0Likes
    Thank you for your vote!
    Rating 0 from 5

    Apakah anda tahu sejarah Desa Apara bisa berada di tanahnya longgar? Apakah anda tahu sejarah Assal desa apara dari Aru Utara?

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top