MENAKAR KOMITMEN NEGARA DALAM MELINDUNGI WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL “ KASUS SENGKARUT DI PULAU WAWONI”

Dr. Andi Chairil Ichsan
Akademisi Universitas Mataram dan Pemerhati Lingkungan
andi.foresta@unram.ac.id
gelombang pertama alat berat masuk ke pulau wawoni tahun 2020

Maraknya pemberitaan terkait kasus sengketa penggunaan lahan yang menimpa warga pulau wawoni kabupaten konawe kepulauan provinsi sulawesi tenggara, menarik perhatian saya untuk memberikan tanggapan sebagai sebagai seorang pemerhati dan akademisi, beberapa media telah memberitakan bagaimana polemik dan dinamika di tingkat tapak sangat membutuhkan kehadiran dan konsistensi negara dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

List penelusuran Berita :

aksi penolakan warga di pulau wawoni

Berdasarkan hasil penelusuran media media tersebut, saya berpendapat bahwa situasi yang terjadi di pulau wawoni telah menegaskan makna dalam tulisan saya yang telah dimuat pada buletin Intip hutan tiga tahun lalu (http://fwi.or.id/publikasi/nasib-pulau-pulau-kecil-di-tanah-air/) yang bertajuk nasib pulau pulau kecil di tanah air. Uraian dalam tulisan tersebut mendeskripsikan betapa rentan nya pulau pulau kecil dalam mempertahankan eksistensinya sebagai satu kesatuan ekositem yang unik dan utuh dari ancaman eksploitasi yang melebihi daya dukungnya.

Dalam hal ini saya mau menegaskan, bahwa negara sesungguhnya telah mempersiapkan instrumen jaring pengaman untuk mempertahankan eksistensi pulau kecil untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan pada karakteristik wilayahnya. baik melalui insturmen perundangan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Beberapa di antaranya yaitu :
1. UU 27 2007 dan perubahannya yaitu UU 1 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil beserta turunannya
2. UU 26 2007 tentang tata ruang beserta turunannya
3. UU 32 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup beserta turunannya
4. UU 41 1999 tentang kehutanan beserta turunannya

Jika merujuk pada materi muatan pada perangkat perundangan tersebut, saya mencermati bahwa tidak ada peluang bagi pihak pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kejahatan lingkungan khususnya pada wilayah kepulauan.

Namun demikian, situasi yang terjadi di pulau wawoni membuka tabir pertanyaan buat saya peribadi terkait konsistensi pelaksanaan mandat dari beragam regulasi tersebut. Hal ini ditunjukan dalam fakta fakta sebagai berikut :

  1. Dilihat dari luas wilayahnya Pulau wawoni termasuk bagian dari pulau kecil dengan luasan kurang dari 2000 km2, yaitu seluas 708,32 Km2 . berdasarkan UU 27 2007 pasal 35 point K dan I secara tegas memandatkan bahwa Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:

k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta
l. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

Faktanya :

a. terdapat 7 Ijin usaha penambangan mineral (nikel dan kromit ) didalam wilayah tersebut
b. telah terjadi konflik/sengketa yang luar biasa (link berita diatas) antara para pihak terkait keberadaan pertambangan tersebut. Termasuk bupati KOKEP pun telah mengeluarkan pernyataan menolak keberadaan tambang tersebut.
c. Banyak pihak yang mempertanyakan kebenaran proses dari perolehan IUP tersebut.

2. Berdasarkan arahan pemanfaatan ruang kabupaten konawe kepulauan, kawasan yang saat ini masuk dalam IUP sesungguhnya tidak di rekomendasikan untuk peruntukan pertambangan berdasarkan Perda No 13 2017. dan hal tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:

a) Konservasi;
b) Pendidikan dan pelatihan;
c) Penelitian dan pengembangan;
d) Budi daya laut;
e) Pariwisata;
f) Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari;
g) Pertanian organik;
h) Peternakan; dan/atau
i) Pertahanan dan keamanan negara.

Arahan undang-undang pun secara ekspilisit menyatakan tidak mengarahkan pemanfaatan pulau pulau kecil pada sektor pertambangan.

Hasil Kajian pada Perda RZWP3K Prov. Sulawesi Tenggara yang sudah terbit, juga tidak menyebutkan zona/alokasi ruang di perairan kepulauan wawoni dan sekitarnya sebagai lokasi pertambangan atau terminal khusus. Dan setelah dilakukan overlay dengan Perda RZ WP3K Provinsi Sulawesi Tenggara , diketahui bahwa lokasi rencana pembangunan jetty berada di Kawasan Pemanfaatan Umum, Zona Perikanan Tangkap (sumber bahan persentasi kementerian kelautan dan perikanan pada rapat koordinasi pembahasan pengaduan masyarakat atas kegiatan pertambangan di pulau wawonii, kab. Konawe kepulauan)

Fakta :

a. Terjadi pelanggaran mandat aturan pemanfaatan ruang mulai dari, UU 1 2014, Perda RTRW Kab Konawe Kepulauan, PERDA RZ WP3K Provinsi Sultra.
b. Pembangunan Dermaga telah mendapatkan persetujuan dari kementerian perhubungan melalui SK Menteri Perhubungan RI Nomor: 1334 Tahun 2018 tentang Penetapan Lokasi Terminal Khusus Pertambangan; meskipun dalam arahan kebijakan pada poin a. Tidak direkomendasikan.

untuk selengkapnya dapat di akses melalui link download berikut ini : 

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top