Wilayah Adat Nasib Era Masa Depan Masyarakat Aru

(Part 2)
Pagi hari, sesegera mungkin tim bergegas bangun dan menuju Marfenfen. Menurut cerita Mama Do sebagai sesepuh disana, Marfenfen dulu sangatlah damai, kaya akan hewan buruan, melimpah hasil tangkapan. Hewan buruan seperti rusa selalu didapatkan jikalau pemburu mau masuk hutan. Cukup menggunakan busur yang dipahat runcing. Tinggal memilih rusa mana yang akan menjadi sasaran. Tidak pernah ada konflik sumber daya, karena berburu target hewan yang sama. Bebas memilih hewan buruan dan dimana saja mereka inginkan.

Semua berubah ketika angkatan TNI AL menggerogoti wilayah adat beserta semua yang ada di dalamnya. Perlahan, mereka membuat patok dan landasan penerbangan. Mulai membatasi akses masyarakat terhadap hutan. Hewan buruan berkurang karena yang berburu semakin banyak. Suara senapan yang mereka gunakan pun membuat hewan kabur dan semakin jauh.

Wilayah adat terusik. Padahal hutan beserta isinya merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Membatasi akses untuk masuk hutan berarti membunuh masyarakat adat secara perlahan. Tidak ada hasil hewan buruan. Jarak semakin jauh, biaya semakin tinggi.

Melanjutkan perjalanan. Menyusuri hulu sungai, kapal sudah tidak bisa digunakan. Menghindari kapal kandas karena air meti (surut). Akhirnya kami menggunakan perahu kecil berbahan fiber, seperti jenis kapal yang digunakan saat ke Wokam. Kapal kini terbebani oleh semua barang bawaan. Goyang sedikit saja kapal bisa terbalik.

Badan sungai semakin mengecil. Seiiring, perahu melewati pulau-pulau kecil menyerupai sebuah delta bebatuan karst. Mungil dan ramping seperti proses geologis terangkatnya batuan/uplift ke permukaan. Pinggiran sungai berupa tebing-tebing kapur yang terkesan terkikis karena arus dan pasang surut sungai. Terlihat batas pasang air laut tertinggi menggurati bebatuan.

Bercak kagum terus terucap dan terdengar. Sambil perlahan perahu berjalan, mata terperohok memuji perpaduan lanskap sungai, dan pulau-pulau kecil yang baru kami temukan hanya di Sungai Jerowatu menuju kampung Marfenfen. Perahu mulai memasuki sebuah lorong goa yang terbentuk oleh aliran sungai. Kibasan sayap kelalawar bertebrangan tepat diatas perahu kami. Tetesan air jatuh dari atap lorong seiiring membentuk stalagmit ornamen goa.

Lorong goa meliuk-meliuk. Semakin ke hulu melewati hutan nipah-nipah di sepanjang pinggiran sungai, kanan dan kiri. Terbenam tanaman air berwarna hijau cerah yang bergoyang karena gelombang yang dibentuk oleh kibasan baling-baling mesin. Begitu indahnya.

Kapal berhenti di sebuah stasiun pelabuhan beton yang reod. Beberapa kapal menjadi bangkai dan dibiarkan rapuh. Pelabuhan yang masih aktif namun tidak terawat. Akhirnya kami tiba di Marfenfen. Namun, perkampungan warga itu terletak menjorok ke dalam. Terpaksa, kami menggotong semua barang-barang dan berjalan beriringan menuju kampung dibawah terik matahari.

Kami beristirahat di rumah Mama Do, lebih tepatnya sih saudara kandungnya. Beberapa rumah tersusun dari bahan pelepah sagu yang disusun rapih dan beratap rumbia. Terpetakan rumah-rumah warga yang rapih dan sangat teratur. Tidak ada masjid, semua warga Marfenfen memluk agama Kristen. Namun toleransi itu ada. Setelah berbincang-bincang sejenak di depan rumah. Tidak lama kami disuguhi buah kelapa yang siap dipotong. Rasanya mengobati rasa dahaga di kampung yang mayoritas seorang petani itu.

Saya mulai mengantuk dan mendekati sekumpulan pemuda yang sedang bercengkrama di bawah pohon. Berbincang sejenak dan perbincangan terhenti karena bubar. Diatas sebuah kursi yang panjang, Saya tidurkan badan untuk beristirahat.

Tidak lama seorang bapak tua menghampiri dan mengajak untuk berbincang. Sambil terkantuk-kantuk, saya bangun dan ajak dia merapat ke rumah Mama Do. Bapak tua tersebut bernama Eli Galagoi yang bekerja sehari-hari sebagai nelayan dan pemburu. Menjadi nelayan adalah profesi utamanya. Dalam sehari menggunakan sampan yang bernama kole-kole dan jaring insang, Pak Eli Galalgoi bisa membawa pulang 5 kg ikan Belanak seharga dengan Rp.50.000. Sewaktu-waktu dia harus pergi berburu rusa, pelanduk, kangguru, dan babi hutan untuk memenuhi kebutuhan bulanannya.Tidak menjadi prioritas namun pelengkap keseharian Pak Eli ketika hasil tangkapan ikan menurun. Hasil buruan selalu dapat tidak pernah tidak. Namun ternyata Pak Eli mengSayai bahwa perburuan dengan senapan yang digunakan oleh anggota TNI AL dan sebagian waga membuat semakin jauh hewan buruan.

Thank you for your vote!
Post rating: 2.5 from 5 (according 2 votes)

2 Comments

  • Mans
    Posted Desember 25, 2019 1:32 am 0Likes
    Thank you for your vote!
    Rating 0 from 5

    Tulisan ini mengatakan bahwa Desa Longgar merupakan pemekaran dari Desa Apara! Apakah anda tahu asal mula Desa Apara mengapa bisa berada di sana? Bukti anda apa Desa Longgar merupakan pemekaran desa apa? Sejaka kapan desa apara berdiri di tanah yang di berikan Desa Longgar untuk di tempati desa Apara yang berasal dari Aru Utara???

  • Mans
    Posted Desember 25, 2019 1:36 am 0Likes
    Thank you for your vote!
    Rating 0 from 5

    Apakah anda tahu sejarah Desa Apara bisa berada di tanahnya longgar? Apakah anda tahu sejarah Assal desa apara dari Aru Utara?

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top