Oleh: Harun Rumbarar, penulis adalah pegiat sosial kemasyarakatan dan pembuat video dokumenter, beraktivitas di Jaringan Kerja Rakyat (JERAT PAPUA). Artikel ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Universitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.
Tiga bersaudara Dorkas, Laura dan Regina Osok adalah tiga perempuan dari Suku Moi, yang tetap kukuh mempertahankan dusun (hutan) sagu.
Mereka adalah bagian dari sub suku Moi Kelim, yang merupakan satu dari 9 kelompok Suku Moi yang tersebar di Papua Barat.
Ketiga mama ini masih mengolah hutan sagu secara tradisional. Hutan sagu ini diwariskan oleh orangtuanya dan dikelola secara turun temurun.
Bagi mereka hutan sagu penting sebagai sumber pangan, namun pandangan generasi muda tentang pentingnya menyelamatkan hutan sagu milik marga (keret) berbeda dengan mereka.
Mama Dorkas Osok (60) sudah berusia senja, tetapi fisiknya masih kuat untuk orang seusianya. Dia tinggal di Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Dari Kota Sorong sampai ke tempat tinggalnya, -yang berjarak sekira 15 km, dapat ditempuh dalam waktu 30 menit berkendaraan darat.
Mama Dorkas, bersaudara dengan Mama Laura dan Mama Regina. Laura adalah ibu dari kawan saya Elis Klaibin. Elis pula yang perkenalkan saya dengan mereka.
Dorkas, Laura dan Regina adalah tiga mama dari Suku Moi, yang tetap kukuh mempertahankan dusun (hutan) sagu keret atau marga Osok Samanas. Osok Simanas bagian dari sub suku Moi Kelim, yang merupakan salah satu dari 9 kelompok Suku Moi.
Sayangnya Dorkas tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia, sehingga saya tidak terlalu dapat banyak berbicara dengan dia.
Baca juga: Menjaga Sagu, Hrapan Menuju Kedaulatan Pangan Papua
Perihal Suku Moi, suku ini adalah suku besar yang tersebar di wilayah Papua Barat, mereka bermukim di Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Raja Ampat, Tambrauw hingga Sorong Selatan. Perkiraan total populasinya berkisar 100 ribu orang.
Seperti layaknya suku-suku lain di Tanah Papua, -yang jumlahnya sekitar 250 suku, mereka menganggap tanah sebagai pusat kehidupan dan pengetahuan. Bagi Orang Asli Papua, tanah dianggap sebagai ibu yang selalu menjaga anak-anaknya.
Secara konsep antropologi, di Papua tidak ada lahan yang tidak berpunya hak. Seperti yang ada di wilayah orang Osok Samanas, dusun atau wilayah adat mereka dibagi lagi menjadi 6 dusun yang dibagi sesuai dengan sub marga, seperti Masema, Matuma, Mamoslo, Kamilo, Lemetikau dan Yukwawun.
Sesaat kemudian Laura tiba.
“Saat kami bertiga mulai dewasa, orangtua bagi dusun buat kami anak perempuan. Hak dusun kitong su ditentukan orangtua,” sebut Laura memulai penjelasan saat kami berjalan menuju hutan sagu.
Di sepanjang perjalanan, kami melewati kebun nenas yang mereka bertiga tanam, sesekali kami juga lewati hutan yang masih utuh dengan pepohonan besar, juga beberapa rumpun bambu.
Baca juga: Hari Sagu, Upaya Mereka Merawat Tanaman Kehidupan
Selepas rumpunan bambu, saya melihat beberapa tunggul pohon kayu besi yang di tebang. “Siapa tebang ini, mama?” tanya saya.
“Sudah berapa kali kitong pu pohon kena dirambah, pohon kayu besi ditebang. Saat kitong tidak ada di dusun, pencuri masuk dengan mesin senso.”
Laura bilang, mereka tidak tahu siapa pelaku tebang pohon kayu besi itu. Karena jaraknya agak jauh dari permukiman, dia mengira bisa saja orang dari luar yang tebang pohon kayu tersebut. Lanjutnya, di tahun 2015, masyarakat adat khususnya Marga Osok sempat dihebohkan dengan kehadiran alat berat di dusun sagu mereka.
“Alat berat masuk karena kami dengar ada rencana buka lahan transmigrasi baru. Kami bertiga yakin kalau itu Program Prona atau bagi sertifikat gratis.”
Hutan sagu milik Laura dan adiknya berada di dusun Masema. Di lokasi dusun sagu itu banyak dijumpai rimbunan anakan sagu muda. Dalam sebulan dia bisa beberapa kali datang ke lokasi ini untuk tokok sagu.
Dorkas bilang pokok sagu itu telah dia tebang dua minggu sebelumnya. Setelah ditebang mereka harus sering ke dusun untuk pangkur sagu dengan alat penokok. Jika didiamkan, maka pokok sagu yang telah ditebang dapat busuk atau dimakan oleh babi hutan.
Rupanya dalam proses menokok ada pembagian tugas. Satu orang menokok, sedangkan orang lain mencari pelepah sagu tua untuk tempat meremas sagu. Sagu yang diremas itu kemudian direndam untuk jadi adonan sagu yang bisa dimakan.
Dari hasil bekerja hampir sehari itu, Laura dan Dorkas dapat mengumpulkan sagu hingga dua keranjang noken. Laura bilang hasil ini termasuk banyak. Biasanya untuk waktu kerja yang sama, mereka hanya dapat satu noken.
Meski saat ini mereka berkecukupan dengan hasil dari dusun sagu, sebuah keraguan tak ayal muncul dari pernyataan Laura. Dia tidak yakin jika generasi berikut masih mau bekerja seperti dirinya.
“Saya secara pribadi masih ragu tentang penerus yang selanjutnya akan jaga hutan kami.” Wajahnya sempat memancarkan rasa pesimis saat bicara.
Dia lanjut cerita tentang generasi sekarang yang kata dia lebih tertarik untuk merantau ke kota. Sebutnya, sudah jarang generasi muda yang mau kerja keras tokok sagu, masuk keluar hutan seperti mereka. Generasi sekarang sebutnya sudah terpapar teknologi dan cenderung tidak mau hidup dan kerja susah lagi.
Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Perhutanan Sosial, dan Sulitnya Penetapan Hutan Adat di Tanah Papua
Saya berjumpa Regina di hari berikut, dia sedang bersiap untuk berjualan hasil bumi. Selain punya kebun sayur untuk memenuhi kebutuhan harian, Regina juga aktif menjaga dusun sagu miliknya.
Regina bermukim tidak jauh dari jalan yang menghubungkan wilayah kampung dengan Ibukota Kabupaten Sorong yaitu Distrik Aimas. Dia sering berjualan sayur, pisang, ubi dan juga sagu ke pasar di Kota Sorong.
“Bagi kami, dusun sagu adalah tempat kami menaruh harapan,” ungkap Regina.
Regina anak bungsu dari ketiga mama keluarga Osok yang aktif menjaga dusun mereka dari tantangan okupasi wilayah adat. Dia menyesalkan kebijakan yang dibuat pemerintah tanpa melihat siapa pemilik wilayah atau tanah.
“Saat alat berat gusur dusun sagu, kedua kaka’ saya pergi hentikan aktivitas alat berat.”
Dia bilang tak pernah ada informasi tentang aktivitas hingga saat dusun sagunya terdampak. Saat itu, sudah ada empat pohon sagunya tumbang.
Ancaman lain untuk dusun sagu, sebutnya adalah keluar izin pembangunan sebuah universitas seluas 20 hektar, lokasinya tumpang tindih dengan lahan dusun sagu mereka.
“Saat ini kita sedang menghadapi lagi masalah soal pohon sagu yang digusur,” lanjut Regina.
Dari cerita Regina, pembangunan kampus tersebut masih tetap berlangsung. Dia bilang dusun sagu yang terkena dampak pembangunan telah diganti rugi oleh pihak Bupati Sorong. Regina tak menyebut berapa biaya ganti rugi yang dia terima.
“Kami sejak kecil hidup di hutan dan dusun sagu,” tutur Dorkas. Dia tidak menampik soal perubahan zaman yang saat ini mereka rasakan.
“Kitong dari kecil besar di hutan, sampai kita kawin. Kami lihat hutan di sekeliling milik marga lain telah di babat untuk pembangunan, kami sangat khawatir jika hutan kami bernasib sama dengan hutan tetangga kami.”
Usia tidak dapat dipungkiri, ketiga mama ini semakin menua. Sejarah yang akan mencatat, saat mereka tak ada lagi kelak, apakah dusun sagu mereka masih ada ataukah sudah musnah tergerus zaman.
tulisan ini juga sudah dimuat di mongabay indonesia. Liputan ini merupakan keikutsertaan penulis dalam kegiatan ENVIROMENTAL CITIZEN JURNALISM PROGRAM (ECJP) – Forest Watch Indonesia 2020.