KONSOLIDASI JARINGAN PEMANTAUAN HUTAN TANAMAN ENERGI REGIONAL SUMATERA BERSAMA WALHI JAMBI DAN LEMBAGA TIGA BERADIK

Bogor, 2 Oktober 2023.  Pentingnya mengawal pelaksanaan pengembangan hutan tanaman energi di Indonesia merupakan bagian dari langkah konkret masyarakat sipil dalam memastikan berjalannya proses transisi energi di Indonesia yang adil dan berkelanjutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan pembangunan hutan tanaman energi sebanyak 1,29 juta hektare yang berasal dari perusahaan hutan tanaman industri. Hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kontribusi target pencapaian bauran energi nasional Indonesia sebanyak 23 persen pada tahun 2025. Perusahaan Listrik Negara (PLN) bermaksud menggunakan biomassa kayu dari hutan tanaman energi sebagai energi final pengganti batu bara di 52 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia dengan porsi 5 sampai 10 persen. Saat ini, setidaknya sudah ada 13 implementor pengembang hutan tanaman energi yang tersebar pada beberapa provinsi di Indonesia. PT Hijau Artha Nusa (HAN) merupakan salah satu perusahaan HTI yang telah melakukan realisasi penanaman tanaman energi dengan jenis sengon di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Abdullah menyampaikan “PT HAN merupakan perusahaan HTI yang sudah lama kami pantau. Kami sempat melakukan penolakan pada tahun 2010 ketika Departemen Kehutanan (sekarang KLHK) akan menerbitkan izin seluas 32 ribu hektare di Kabupaten Merangin dan Sarolangun kepada PT HAN. Pasalnya, areal yang dibebani izin untuk PT HAN ini merupakan hutan alam primer serta memiliki topografi berat lebih dari 40 persen. Selain itu Lokasi PT HAN merupakan daerah tangkapan air yang berada di hulu sub DAS Merangin dan Sub DAS Batangasai-Limun, sehingga apabila areal ini dirusak maka dapat menimbulkan banjir dan longsor, serta berdampak luas bagi masyarakat dan daerah di hilirnya.”

Areal yang sekarang dikavling oleh PT HAN merupakan sumberdaya tradisional masyarakat setempat, sebagai areal perladangan dan lahan kebun karet rakyat  yang diwariskan secara turun temurun sejak tahun 1940. Masyarakat setempat masih memanfaatkan hasil hutan non kayu dan hasil hutan kayu secara terbatas untuk kebutuhan subsistensi rumah tangga di desanya.  Pada areal tersebut juga merupakan ruang hidup salah satu suku asli minoritas yang kehidupannya masih bergantung dari keberadaan hutan alam, yaitu Suku Anak Dalam.  Sehingga keberadaan kawasan hutan alam ini mutlak dipertahankan untuk menjaga eksistensi masyarakat/masyarakat adat.” Tambah Abdullah.

Abdullah juga menegaskan bahwa areal di PT HAN memiliki kekayaan biodiversiti yang tinggi dan merupakan daerah jelajah satwa yang dilindungi, seperti Harimau Sumatra, Tapir, Kambing Hutan Sumatera, Badak Sumatera dan Gajah Sumatera. Di kawasan ini juga ditemukan 115 jenis vegetasi ethnobotanical yang banyak digunakan masyarakat setempat untuk berbagai keperluan seperti obat-obatan, kosmetik, makanan, anti nyamuk dan keperluan rumah tangga (berdasarkan hasil penelitian Biological Science Club (BScC), pada tahun 1993 di daerah Buffer Zone Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).

Direktur Eksekutif Lembaga Tiga Beradik, Hardi Yuda menambahkan, “PT HAN merupakan perusahaan yang saat ini sedang mengembangkan bisnis tanaman energi. Kami sudah melakukan asesmen lapangan ke beberapa desa (setidaknya 2 desa yang saat ini baru dikunjungi) yang sebagian wilayah desanya masuk dikavling oleh PT HAN. Sayangnya ketika kita melihat langsung wilayah operasional PT HAN, kantor lapangan mereka sudah sangat terbengkalai dan tidak ada satu orang pun yang bisa ditemui. Namun, kami melihat ada banyak tumpukan kayu di Tempat Pengumpulan Kayu (TPK) di dalam konsesi PT HAN dan kayu (logg) yang dimuat ke atas truk. Asesmen yang kami lakukan memang belum final, setidaknya butuh untuk masuk ke beberapa desa dan representatif setidaknya 50 persen desa yang kita kunjungi untuk menggalang dukungan masyarakat.”

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga menambahkan kami melakukan asesmen ke beberapa lokasi dimana PT HAN beroperasi. Kami menemukan fakta-fakta lapangan yang bisa meruntuhkan konsep energi bersih atau energi terbarukan melalui biomassa kayu yang berasal dari pengembangan hutan tanaman energi. PT HAN sebagai perusahaan yang bertransformasi ke bisnis tanaman energi terbukti di lapangan melakukan deforestasi atau konversi hutan alam. Areal penanaman sengon yang ditanami sekitar tahun 2019 merupakan areal yang sebelumnya merupakan hutan alam. PT HAN terbukti memanfaatkan kayu yang berasal dari hutan alam, mereka rusak lahannya, dan kemudian mereka tanami sengon. Tanaman sengon yang sekarang ada di areal PT HAN merupakan berasal dari deforestasi.

Deforestasi yang terjadi yang kami catat luasnya sekitar 4800 hektare (kurun waktu 2017-2021). PT HAN terlihat tidak serius untuk melakukan bisnis tanaman energi. Dari luas areal terdeforestasi, PT HAN hanya melakukan realisasi tanam sekitar 100 hektare saja. PT HAN diyakini hanya ingin memanfaatakan kayu yang berasal dari hutan alam saja dengan modus transformasi bisnis tanaman energi. Tidak ada persemaian, tidak ada sistem kontrol tanaman, tidak ada kantor lapangan (camp), dan tidak adanya petugas yang bekerja di lapangan yang bisa ditemui, menunjukan PT HAN tidak serius dalam melakukan usaha tanaman energi.  Kami merekomendasikan agar PT HAN ditutup dan izinnya dicabut” tegas Anggi.

Niat meningkatkan target bauran energi nasional yakni pada bauran biomassa kayu sebagai energi final merupakan pilihan keliru. Pengembangan hutan tanaman energi yang merupakan konsep rehabilitasi rotasi pada dokumen Rencana Operasional FoLU Net Sink 2030 nyatanya bukan berasal dari lahan kritis. Hutan alam yang dikorbankan untuk pengembangan hutan tanaman energi dengan cara deforestasi tidak akan pernah mencapai nett sink. Kebijakan Energi Nasional, Rencana Umum Energi Nasional, serta RUU Energi Baru Terbarukan seharusnya tidak lagi memasukan biomassa kayu sebagai energi baru terbarukan.

Catatan Editor:

Beberapa argumentasi penolakan penerbitan izin dan operasionalisasi PT HAN di Provinsi Jambi yang berhasil dinilai oleh Walhi Jambi, sebagai berikut:

  1. Kawasan tersebut tidak layak untuk dijadikan areal HTI karena secara biofisik dan morfologi kawasan :
    • memiliki tutupan hutan yang relatif masih baik (23,02% dari total luas areal HTI yang diusulkan),
    • memiliki topografi yang berat > 40% (terutama di Blok III Kabupaten Sarolangun sebesar 51,56%); bergelombang 15% – 25% di Blok II Kabupaten Merangin 59,6%.
    • merupakan daerah tangkapan air yang penting bagi perlindungan fungsi hidroorologi dari hulu-hulu sungai Sub DAS Merangin dan Sub Das Batangasai – Limun yang bermuara ke DAS Batanghari. Sehingga apabila kawasan ini dibuka maka dapat menimbulkan banjir dan longsor, serta berdampak luas bagi masyarakat dan daerah di hilirnya.
    • memiliki kekayaan biodiverditi yang tinggi dan merupakan daerah jelajah satwa yang dilindungi, seperti Harimau Sumatra, Tapir, Kambing Hutan Sumatera, Badak Sumatera dan Gajah Sumatera. Di kawasan ini juga ditemukan 115 jenis vegetasi ethnobotanical yang banyak digunakan masyarakat setempat untuk berbagai keperluan seperti obat-obatan, kosmetik, makanan, anti nyamuk dan keperluan rumah tangga (berdasarkan hasil penelitian Biological Science Club (BScC), pada tahun 1993 di daerah Buffer Zone Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).
    • merupakan kawasan penyangga TNKS yang penting untuk menjaga kelestarian kawasan konservasi tersebut dan mendukung viabilitas hidupan satwa liar.
  2. Secara sosial ekonomi dan sosial budaya, kawasan tersebut merupakan sumberdaya tradisional masyarakat setempat, sebagai areal perladangan dan lahan kebun karet rakyat yang diwariskan secara turun temurun sejak tahun 1940. Disamping itu juga masyarakat setempat masih memanfaatkan hasil hutan non kayu dan hasil hutan kayu secara terbatas untuk kebutuhan subsistensi rumah tangga di desanya.  Kawasan tersebut juga merupakan kawasan hidup komunitas  Orang Rimba yang merupakan salah satu suku asli minoritas yang kehidupannya masih bergantung dari keberadaan kawasan hutan alam. Sehingga keberadaan kawasan hutan alam ini mutlak dipertahankan dan bisa dikelola melalui skema Kawasan dengan Tujuan Khusus (KDTK), Kawasan denganTujuan Istimewa (KDTI), Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan maupun Hutan Adat, yang dikelola secara berkelanjutan dan dapat mensejahterakan masyarakatnya, serta menghindari dari bencana ekologis seperti banjir bandang dan longsor, serta konflik antara satwa liar dan manusia.
  3. Calon Areal Kawasan IUPHHK-HTI PT. HAN merupakan lokasi Demonstration Activity SFCP (Sumatera Forest Carbon Partnership) yang merupakan lokasi pilot proyek kerjasama bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Australia, dimana cadangan karbon harus selalu dijaga sehingga ketika hutan alam diubah menjadi HTI maka akan melepaskan karbon dan menyebabkan bertambahnya emisi. Selain itu juga hal ini tidak sesuai dengan konsep pembangunan rendah karbon yang menjadi model pembangunan Propinsi Jambi kedepan.
  4. Kondisi tersebut juga sangat tidak sesuai dan akan kontradiktif dengan komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, sebagaimana komitmen Presiden Republik Indonesia untuk menurunkan emisi nasional sebesar 26% pada tahun 2020 dan juga Gubenur Jambi untuk menjaga kawasan hutan tersisa sebagai bagian dari skema pembangunan rendah karbon di Propinsi Jambi. Hal ini jelas bertentangan dengan visi Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian Izin Baru (Moratorium) dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
  5. Calon areal IUPHHK-HTI PT. HAN merupakan lokasi yang telah disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, juga oleh Pemerintah Propinsi Jambi untuk proyek MCC (Millennium Challenge Corporation) dimana fokusnya untuk pembangunan rendah karbon dan penguatan pemanfaatan energi terbarukan melalui mikrohidro, Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air (PLTKA). Apabila daerah tersebut dijadikan HTI maka mikrohidro dan PLTKA tidak akan bisa berjalan berkelanjutan.
  6. Calon areal IUPHHK-HTI PT. HAN sudah masuk dalam Penundaan Pemberian Izin Baru (PPIB) yang sudah ditetapkan oleh Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) sebagai bentuk komitmen atas LOI Indonesia – Norwegia dan komitmen Gubernur Jambi untuk menjadikan Propinsi Jambi sebagai Pilot Province LOI Indonesia – Norwegia. Ketika izin diberikan kepada IUPHHK-HTI PT. Hijau Artha Nusa (HAN) maka akan membuat penurunan cadangan karbon serta akan semakin berkurang dan rusaknya hutan alam tersisa di Propinsi Jambi.
Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top