Sawit
Banyak orang yang melawan sawit. Mengatakan sawit merusak lingkungan, mengampanyekan untuk memblokir sawit, mengatakan sawit itu buruk. Tapi ketika saya melakukan hal itu juga, kadang saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Apakah saya masih memakai minyak dari sawit untuk memasak capcay hari ini? Apakah saya masih jajan gorengan di pinggir jalan yang digoreng dengan minyak sawit? Apakah saya masih menikmati roti bakar yang dilapisi mentega dari sawit? Ataukah saya masih memakai lipstik yang mengandung minyak sawit? Dan masih banyak lagi berderet pertanyaan lain yang menghantui pikiran saya, ketika mengetahui, kemana saja minyak sawit yang katanya merusak lingkungan itu merasuki hidup kita sehari-hari? Lewat makanan, ya. Lewat kosmetik dan produk perawatan tubuh, ya. Lewat pengobatan yang katanya alami, ya juga. Sawit telah merasuk ke dalam kehidupan kita sehari-hari, dan kita bukan tidak bisa mencegahnya, tapi kita tidak bisa mencegah semuanya sekaligus. Yang bisa kita lakukan adalah menguranginya. Dan itu adalah jalan keluar yang logis, bila Anda benar-benar ingin melakukan perlawanan dan menentang sawit, tapi tinggal jauh dari wilayah dimana konflik sawit terjadi. Jadi, bagi Anda yang mengatakan “blokir produk sawit!”, bagaimana kalian memasak makanan kalian pagi ini? Apakah aktivitas pagi Anda turut memasukkan sawit di dalamnya?
Saya mengatakan ini, bukan karena saya termasuk pembela sawit dan turut mengatakan bahwa ada sawit yang sustainable dan tidak akan merusak lingkungan. Ini adalah satu polemik tersendiri dalam diri penggiat-penggiat lingkungan. Tapi harus ada dasar fakta yang jelas mengapa seseorang menolak sawit. Satu dari sekian fakta tersebut, yaitu ada perusahaan sawit yang proses pembukaan perkebunannya dari merampas hutan atau kebun masyarakat. Desa Bobane Indah, Kecamatan Patani, Kabupaten Halmahera, Provinsi Maluku Utara, adalah satu dari sekian wilayah yang menjadi saksi bagaimana perusahaan sawit berusaha membuka lahannya di tanah yang telah masyarakat garap turun temurun.
Perkebunan dan hutan pala yang telah sejak turun temurun dikelola oleh masyarakat di Bobane Indah inilah yang menjadi wilayah konsesi PT Manggala Rimba Sejahtera. Ketidakjelasan status lahan yang kemudian menjadi sumber masalah. Lahan yang telah digarap turun temurun oleh masyarakat Patani, belum diakui sebagai lahan masyarakat adat, oleh pemerintah daerah. Upaya masuknya sawit merupakan kabar buruk bagi para petani di Bobane Indah, di semua lahan konsesi.