Menjaga Tanah Pala

Pak Guru

Panggilannya Pak Guru. Nama lengkapnya Mursid Habu, ia dipanggil Pak Guru karena memang berprofesi sebagai guru. Profesi lainnya, adalah petani pala. Setiap pulang dari mengajar, Pak Guru pergi ke lahan, merawat pohon-pohon palanya. Atau di rumah, sambil membuat bibit-bibit pala yang akan ia jual—dengan harga 5 ribu hingga 25 ribu tergantung umur bibit— kepada petani pala lainnya. Pala, adalah kecintaan Pak Guru.

“Kecintaan pala ini lebih besar daripada kecintaan pada benda-benda yang lain. Seperti kecintaan saya pada motor kah, pada benda-benda mati, itu saya lebih cinta pala.”

10Feb2016_pala_amel_guru
Pak Guru sedang memeluk bibit pala

Pada pertengahan bulan puasa kemarin, Pak Guru baru mendengar kabar buruk, bahwa sawit mau masuk ke Patani. Untuk menyulap pohon-pohon pala beserta pohon hutan lain yang tinggi menjulang, menjadi kelapa sawit. Termasuk kebun pala Pak Guru. Sementara akhir tahun 2015 ini, harga pala jatuh. Tahun ini memang merupakan sebuah ujian bagi para petani pala. Namun di tengah ujian tersebut, petani pala masih berusaha bertahan. Memperjuangkan harta peninggalan nenek moyang mereka, yaitu hutan beserta seluruh isinya, termasuk pala di dalamnya. Perjuangan masyarakat petani pala inilah yang kemudian coba didokumentasikan oleh tim dari Forest Watch Indonesia (FWI) dan Indonesia Nature Film Society(Infis). Sekaligus meriset langsung di lokasi, mana yang lebih membuahkan keuntungan bagi masyarakat: sawit atau pala?

Sebuah Perjalanan
Sebuah perjalanan adalah sebuah pencarian, mencoba mencapai suatu tujuan, atau tidak mencapai apa-apa, sebenarnya tidak kemana-mana.

Perjalanan kami dimulai hari Minggu, 15 November, pada dini hari. Seperti setiap perjalanan lain menuju Indonesia Timur, ini bukanlah perjalanan yang mudah dan murah. Kali ini menuju Maluku Utara, tempat yang memproduksi biji pala kualitas nomor satu di Indonesia, dan terkenal di mata dunia. Tepatnya ke Desa Bobane Indah. Pertama, kami harus menaiki pesawat selama 3 jam perjalanan untuk sampai di Bandara Sultan Babullah, Ternate. Sebuah pulau kecil yang merupakan Ibu Kota dari Maluku Utara. Dari sana, kami harus mengendarai mobil untuk ke pelabuhan sebelum menyebrang dengan kapal boat untuk mencapai Pulau Halmahera. Setelah sampai di pelabuhan Sofifi, tim FWI masih harus berkendara selama beberapa jam untuk sampai di pelabuhan Weda dan menyebrang ke Halmahera Tengah, menuju Desa Bobane Indah. Sebenarnya perjalanan dapat dilakukan menggunakan sepeda motor, tapi jalanan yang akan ditempuh tidak memungkinkan kami membawa banyak barang.

Perjalanan panjang itu dihadiahi dengan pemandangan indah di sana-sini. Langit timur yang biru cerah, laut jernih yang memperlihatkan ikan-ikan berenang di dalamnya, pohon-pohon kelapa yang tinggi menjulang di pantai, serta pulau yang masih hijau dengan hutannya. Paradise on earth. Selain itu, orang-orang Maluku Utara ramah-ramah dan senang bercanda. Tidak seperti gambaran banyak media mainstream, yang mengatakan bahwa orang-orang Timur keras dan kasar. Sebuah perjalanan, seringkali memberikan apa yang tidak kita minta, apa yang tidak kita tuju.

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top