KOALISI MASYARAKAT SIPIL BUKA DATA HGULAPORKAN MENTERI ATR/BPN KE BARESKRIM MABES POLRI

TAK KUNJUNG MEMBUKA DATA HGU, KOALISI MASYARAKAT SIPIL LAPORKAN MENTERI ATR/BPN KE BARESKRIM MABES POLRI

“Ada UU Informasi Publik yang mewajibkan lembaga2 pemerintahan utk membuka semua informasi yang bkn rahasia negara. HGU bkn rahasia negara. Tak boleh ada HGU yang dirahasiakan oleh pemerintah. Anda berhak meminta data itu. Kalau pemerintah menolak bs diperkarakan dgn adjudikasi ke KIP”

(Prof. Dr. Moh Mahfud MD., S.H., S.U, Pakar Hukum Tata Negara, Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013)

“… Membuka data HGU sesungguhnya menyingkap tabir penindasan terhadap rakyat yang selama ini memperjuangkan kembalinya hak agraria. Ketidakmauan pemerintah hari ini membuka data HGU, sama halnya dengan merawat penindasan dan perampasan hak-hak rakyat itu!”

(Dr. Herlambang P. Wiratraman, Direktur Pusat Studi Hukum HAM/HRLS dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Penolakan untuk membuka informasi HGU kepada masyarakat yang telah memenuhi prosedur permohonan, merupakan tindak pidana. Setiap pengaduan secara pidana oleh masyarakat atas “pembangkangan” yang dilakukan oleh pejabat publik ini wajib diproses. Sehingga Badan publik (termasuk pimpinan maupun mereka yang memberi perintah) tidak lagi semena-mena dan mempertanggungjawabkan tindakan pidananya.”

(Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D, Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Ada tiga alasan mendasar mengapa data Hak Guna Usaha (HGU) penting. 1). Sebagai pembongkar ketimpangan struktural agraria; 2). Sebagai pembongkar “sulap regulasi” masalah agraria; dan 3). Pemantik inspirasi dan efek domino informasi asimetris (Eko Cahyono/Tempo, 21/03).

Dengan demikian, desakan untuk membuka HGU telah sejak lama dilakukan oleh masyarakat sipil dalam rangka untuk mengurai ketimpangan struktural (kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, distribusi dan akses) atas sumber-sumber agraria yang telah lama menjadi persoalan mendasar masalah agraria di negeri ini. Salah satunya yang telah diupayakan oleh LBH Papua.

Keberadaan hutan tropis di Papua terus menerus menyusut seiring dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang ada di wilayah Papua. Data Pemerintah Provinsi Papua, menyebutkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Papua saat ini adalah 958.094,2 ha (belum termasuk Papua Barat). Dari luasan ini dikuasai oleh 79 perusahaan perkebunan kepala sawit yang tersebar di berbagai daerah seperti Merauke, Jayapura, Boven Digoel, Keerom, Sarmi, Waropen, Yahukimo, Nabire, Mimika dan Mappi. (Sawit Watch: 2018).

Untuk mengetahui secara detail mengenai data-data perusahaan sawit yang beroperasi di Papua tersebut, LBH Papua mengajukan sengketa informasi publik terhadap Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Papua (Kanwil BPN Provinsi Papua) atas informasi data HGU 31 (tiga puluh satu) Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit. Pada akhir 2018, LBH Papua memenangkan sengketa informasi publik tersebut. Dalam Putusan Nomor: 004/III/KI-Papua-PS-A/2018, tertanggal 28 Mei 2018, majelis hakim memutusakan: “Menyatakan informasi yang dimohon Pemohon berupa Dokumen Hak Guna Usaha (HGU) 31 (tiga puluh satu) Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Papua sampai dengan tahun 2016-2017 yang memuat rincian informasi, meliputi: Nama Pemegang Izin HGU, Tempat atau Lokasi, Luas HGU yang diberikan, Jenis komoditi, Peta areal HGU yang dilengkapi titik koordinat, adalah informasi yang bersifat terbuka”. Selanjutnya, dalam amar putusan paragraph 6.3 berbunyi, “Memerintahkan Termohon untuk memberikan informasi publik sebagaimana tersebut dimaksud dalam paragraph [6.2] kepada Pemohon paling lambat 14 Hari Kerja sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde);

Namun, walaupun demikian, hingga saat ini, informasi data HGU tersebut belum juga diberikan kepada LBH Papua selaku pemohon. Perihal yang menjadi alasan Kanwil BPN Provinsi Papua tidak juga melaksanakan eksekusi putusan komisi informasi dikarenakan masih mengacu kepada ketentuan Pasal 12 ayat 4 huruf i Perkap BPN RI No. 6 Tahun 2013 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan BPN RI. Regulasi ini mencantumkan beberapa informasi yang dikecualikan, salah satunya “Buku tanah, surat ukur dan warkahnya”. Selain itu di tingkat pusat, Menteri ATR/BPN, Syofyan Djalil menyatakan menolak untuk membuka data HGU dengan alasan membahayakan kepentingan nasional, dalam hal ini melindungi industri sawit.

Menyikapi hal tersebut, Pada tanggal 11 Maret 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah mengirimkan surat somasi kepada Menteri ATR/BPN untuk membuka informasi data HGU tersebut. Tidak hanya itu, pada tanggal 14 Maret 2019, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Buka Data HGU melakukan siaran pers yang pada intinya menyayangkan pernyataan Menteri ATR/BPN, Syofyan Djalil, yang menyatakan menolak membuka data HGU dengan alasan membahayakan kepentingan nasional tersebut.

Sejak adanya Putusan final sengketa informasi HGU yang menyatakan informasi HGU merupakan informasi terbuka, maka seharusnya Menteri ATR/BPN tunduk dan melaksanakan putusan tersebut. Pasal 11 ayat (2) UU KIP juga menyatakan bahwa informasi yang dinyatakan terbuka sebagai hasil sengketa maka otomatis menjadi informasi yang dapat diakses publik dalam kategori wajib disediakan setiap saat. Badan Publik yang dengan sengaja tidak mau memberikan dan atau menerbitkan informasi publik yang harus diberikan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dapat dipidana menurut Pasal 52 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal 52 UU KIP menyebutkan bahwa “Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Dengan demikian, terhitung sejak tanggal dikirimkannya somasi yang dialamatkan kepada Menteri ATR/BPN, hingga saat ini sudah lebih dari satu minggu namun Menteri ATR/BPN tidak juga memiliki i’tikad baik untuk membuka data HGU tersebut yang senyatanya telah menjadi informasi publik berdasarkan Putusan Komisi Informasi yang telah berkekuatan hukum tetap. Untuk itu, demi menjaga tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Advokasi Buka Data HGU melaporkan Menteri ATR/BPN kepada BARESKRIM MABES POLRI karena diduga kuat telah melanggar ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 52 UU KIP.

Pelaporan ini sebagai bentuk kekecewaan masyarakat atas ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi konflik agraria di tanah air yang terus mengalami eskalasi yang signifikan. Ruang-ruang dialog yang diharapkan dalam mewujudkan penyelesaian konflik yang berkeadilan seakan ‘ditutup’ ketika perjuangan masyarakat dalam rangka memperjuangkan hak atas tanahnya seringkali berujung ‘kriminalisasi’. Hal tersebut salah satunya yang dialami oleh Masyarakat Desa Perkebunan Sungai Lyu, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang. Karena memperjuangkan tanah tempat tinggalnya yang dianggap oleh PT. Rapala merupakan bagian dari objek HGU Perusahaan, 22 Warga yang satu orang diantaranya merupakan kepala desa, dikriminalisasi menggunakan Pasal 6 jo Pasal 5 Perppu No. 51 Tahun 1960. Kasus ini hanya sedikit dari sekian banyak kasus yang menimpa masyarakat dalam memperjuangkan ha katas tanah.

KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK ADVOKASI BUKA DATA HGU

YLBHI, Eknas WALHI, FWI, KPA, Sawit Watch, Greenpeace, HuMA, TuK Indonesia, Auriga, AMAN, ICEL, ELSAM, JATAM, Perwakilan Korban dari Aceh, LBH Papua, LBH Banda Aceh

  1. Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI (081210322745)
  2. Asep Komarudin, Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia (081310728770)
  3. Ronal M. Siahaan, Manager Hukum Lingkungan dan Litigasi, Walhi (087775607994)
  4. Beni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Reforma Agraria (085363066036)
  5. Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM, AMAN (081218791131)
  6. Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia 085783517913
  7. Vera Falinda, Program Officer TuK Indonesia (082177889183)
  8. Mega Dwi Yulyandini, Staf Advokasi dan Kampanya HuMa (081217135686)
  9. Muhammad Busyrol Fuad, Staf Advokasi Hukum ELSAM (085655004863)
  10. Wida Nindita, Staf Pengelola dan Analisis Data Sawit Watch (087873904204)
  11. LBH Papua
  12. LBH Banda Aceh

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top