Karst Sagea Halmahera: Antara Megahnya Gua Bokimoruru dan Ancaman Rusaknya Ekosistem

  • Gua Batu Lubang Bokimoruru memiliki panjang lorong terpetakan 7.467 meter, yang menobatkannya sebagai gua terpanjang yang ada di Pulau Halmahera.
  • Gua Bokimoruru memiliki karakteristik lorong horizontal dan vertikal. Atap dan lantai gua dihiasi ragam stalaktit, stalagmit, flowstone, pilar, gourdam berukuran raksasa.
  • Pada bulan Agustus 2023, sungai Sagea sebagai hilir dari sungai bawah tanah Gua Bokimoruru mengalami perubahan warna menjadi coklat keruh bercampur sedimen tanah pekat.
  • Proses pengerukan batu gamping dan tanah oleh perusahaan pertambangan menyebabkan hilangnya lapisan epikarst yang berakibat pada aliran sungai bawah tanah

Saya mengarahkan sinar headlamp ke arah dinding dan ornamen gua. Saya tertegun saat cahaya memantulkan bayangan puncak atap gua yang saya taksir tinggi ruangannya melebihi luas sebuah hanggar pesawat!

Awal Oktober 2023 lalu, saya bersama Koalisi Save Sagea dan RRI Ternate melakukan eksplorasi gua Batu Lubang Bokimoruru yang terletak di Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah. Berbekal peta yang dibuat tim Prancis tahun 1988, kami mengeksplorasi lorong-lorong gua untuk melakukan kegiatan pemotretan dalam gua (caving photography).

Pemotretan di dalam gua membutuhkan upaya dan waktu cukup lama karena perlu mempersiapkan intensitas cahaya yang sesuai di tengah lingkungan gua yang gelap. Sudut gambar foto pun perlu diatur agar dapat menunjukkan model perbandingan antara ukuran ornamen, dan bentuk ruang gua yang ada. Ditambah dengan model kontur yang saling berjauhan dan medan gua yang sulit, tim kami pun harus bekerja sama dengan baik untuk mengatur tata letak pencahayaan.

Di luar itu semua, faktor keselamatan menjadi kunci eksplorasi ini. Gua Bokimoruru memiliki lorong panjang dan ruang (chamber) yang luas. Sebagian lorongnya berupa sungai bawah tanah berarus deras. Penelusuran di dalam Gua Bokimoruru ini menghabiskan waktu selama 15 jam dokumentasi (3 hari total waktu).

Untuk meminimalisir kecelakaan caver, setiap anggota tim dilengkapi dengan peralatan keamanan pribadi.  Helmet, sepatu, pakaian panjang, pelampung, headlamp dan baterai cadangan wajib hukumnya untuk digunakan dan dipersiapkan.

Penelusur gua dibawah ornamen stalaktit di Gua Bokimoruru. Foto: Aziz Fardhani Jaya.

Gua Batu Lubang Bokimoruru

Wilayah perbukitan di sebelah utara Desa Sagea, dimana Gua Batu Lubang Bokimoruru berada, merupakan ekosistem karst yang memiliki perkembangan karstifikasi[1] yang baik. Cirinya ditemukan bentukan ekso-endokarst seperti bukit karst, dolina, ponor/sinkhole dan gua-gua dengan ornamen serta sungai bawah tanah yang besar.

Menurut laporan tim ekspedisi Prancis tahun 1988, Gua bokimoruru memiliki panjang lorong yang terpetakan sekitar 7.467 meter, yang menobatkannya sebagai gua terpanjang yang ada di Halmahera. Gua Bokimoruru memiliki karakteristik lorong yang bervariasi, baik horizontal (bercabang) maupun vertikal (bertingkat). Atap dan lantai guanya dihiasi ragam ornamen seperti stalaktit, stalagmit, flowstone, pilar, gourdam berukuran raksasa dan berwarna putih. Tetesan air dari masing-masing ornamen menandakan proses pembentukan ornamen masih berjalan. Dengan kata lain, gua ini masih, dan terus bertumbuh, seiring tetesan air tersebut.

Sungai bawah tanah gua Bokimoruru mengalir keluar melalui mulut gua. Membentuk sungai permukaan yang diberi nama Sungai Sagea/Sageyen. Aliran sungai bawah tanahnya sangat jernih, yang mengalir sepanjang tahun dalam debit yang besar. Air sungai ini pun dimanfaatkan oleh warga di Desa Sagea dan sekitarnya sebagai sumber air utama untuk kebutuhan minum, mandi dan mencuci.

Keberadaan Gua Bokimoruru juga memiliki hubungan mitologi yang kuat dengan masyarakat asli Sagea. Selain nama kampung yang menggunakan nama sungai ini, masyarakat setempat percaya gua Bokimoruru adalah tempat leluhurnya tinggal. Kepercayaann ini yang membuat masyarakat tetap menjaga kelestarian ekosistem gua.

Kawasan mulut gua Bokimoruru saat ini telah dikelola masyarakat sebagai lokasi wisata. Air sungainya yang dingin dan warnanya yang biru jernih, membuat siapapun ingin berenang disana. Berbagai fasilitas umum seperti mushola, kamar mandi, gazebo, dan warung telah dibangun.

Umumnya pengunjung melakukan aktivitas wisata seperti berenang, paddle boat, dan bersantai di tepi sungai. Bahkan ada wisatawan yang masuk ke dalam gua, -yang sayangnya, tidak dilengkapi oleh peralatan caving yang memadai. Yang perlu diwaspadai, Gua Bokimoruru memiliki potensi bahaya tinggi.  Aliran sungai bawah tanahnya yang deras sewaktu-waktu bisa meluap karena dipengaruhi cuaca sekitarnya. Beberapa bagian lorongnya berupa lumpur yang licin dengan bebatuan yang tajam.

Jika aktivitas caving akan dilakukan sebagai kegiatan minat khusus, maka pengelolaannya harus dilakukan secara ketat dan selektif agar tidak terjadi kecelakaan. Tidak kalah penting, tentunya aspek kelestarian lingkungan yang mendukung keberlanjutan wisata alam.

sagea
Sinar headlamp penelusur gua memperlihatkan ruangan Gua Bokimoruru yang sangat luas. Foto: Aziz Fardhani Jaya
Galeri batu putih salah satu bagian lorong gua Bokimoruru yang dipenuhi ornamen-ornamen besar dan putih. Foto: Aziz Fardhani Jaya

Ekosistem Karst Sagea: Ancaman Antropogenik

Pada bulan Agustus 2023 lalu, sungai Sagea sebagai hilir dari sungai bawah tanah Gua Bokimoruru mengalami perubahan warna menjadi coklat keruh bercampur sedimen tanah pekat.  Kondisi ini tentunya tak bisa dilepaskan dengan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS).

Penelusuran Forum Koordinasi DAS Moloku Kie Raha, menyebut penyebab keruhnya air sungai Sagea disebabkan oleh faktor antropogenik. Interpretasi citra satelit memperlihatkan adanya bukaan lahan pada bagian DAS menjadi pit tambang dan hauling road[2].

Temuan Forum DAS diperkuat investigasi langsung ke hulu DAS Sagea yang dilakukan Forest Watch Indonesia. Dalam laporannya, FWI menjumpai bahwa di wilayah DAS telah terjadi deforestasi akibat pembukaan jalan hauling tambang dan pembuatan camp eksplorasi perusahaan. Kondisi kelerengan hulu DAS Sagea yang curam menyebabkan sedimen tanah pembukaan lahan tererosi jatuh ke dalam aliran sungai saat hujan, yang membuat aliran air sungai Sagea menjadi keruh.

tambang halmahera
Kondisi sungai Sagea yang coklat dan keruh di bulan Agustus 2023 lalu. Dok: Save Sagea

Peristiwa kekeruhan ini sekaligus mengungkap fakta jika DAS yang ada di sungai-sungai bawah tanah wilayah karst Sagea saling terhubung. Namun kondisi terkini, sebagian besar wilayah DAS ini telah dibebani izin usaha pertambangan yang mulai beroperasi.

Seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan kepada PT First Pasific Mining (konsesi 2.080 hektar), PT Karunia Sagea Mineral (1.225 hektar), dan PT Gamping Mining Indonesia (2.538 hektar). Ketiganya adalah perusahaan tambang nikel dan batu gamping yang memasok industri semen dan nikel di sekitarnya.

Secara ekologi, aktivitas pertambangan ini akan merubah lanskap ekosistem karst. Proses pengerukan batu gamping dan tanah akan menyebabkan hilangnya lapisan epikarst sehingga proses karstifikasi tidak dapat terjadi karena adanya run off atau aliran air permukaan[3]. Pada akhirnya hal tersebut akan mengurangi debit sungai bawah tanah, serta berkurangnya mata air yang diakibatkan oleh berkurangnya simpanan air pada ekosistem karst.

Penelusur gua menggunakan padleboat untuk menyusuri lorong sungai Gua Bokimoruru. Foto: Aziz Fardhani Jaya

Gua Bokimoruru dan Ekosistem Karst Sagea memiliki keunikan geologi yang layak untuk dilindungi. Terlebih fungsinya sebagai penyerap dan penyimpan air alami telah memberikan manfaat jasa lingkungan yang bisa dinikmati oleh masyarakat.

Mengacu pada PERMEN ESDM Nomor 17 tahun 2012, wilayah Karst Sagea sebenarnya telah memenuhi kriteria kawasan bentang alam karst (KBAK) yang fungsinya harus dilindungi.

Pemerintah seharusnya melakukan peninjauan kembali terhadap izin-izin pertambangan yang ada di wilayah tersebut. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan kawasan karst harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian.  Jika ekosistem karst rusak, ekosistem tersebut tidak dapat dipulihkan layaknya hutan. Lebih dari itu, rusaknya karst Sagea akan berdampak pada kehidupan masyarakat sekitarnya.

 

[1] Karstifikasi ialah proses permbentukan bentuk-lahan karst yang didominasi oleh proses pelarutan batuan. Umumnya terjadi pada batuan dolomit atau batugamping.

[2] Dokumen Berita acara rapat pengurus Forum Koordinasi DAS Moloku Hie Raha terkait hasil kunjungan lapangan ke DAS Ake Sagea pada tanggal 15 September 2023.

[3] Cahyadi, Ahmad. (2017). Pengelolaan Kawasan Karst Dan Peranannya Dalam Siklus Karbon Di Indonesia. 10.31227/osf.io/8gh6d

*Aziz Fardhani Jaya. Penulis merupakan penggiat di Forest Watch Indonesia

*Tulisan ini juga dimuat di mongabay inidonesia

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top