CERITA DARI MIYAH SELATAN

cerita dari miyah selatan

Pertanyaan apa yang muncul di benak kita ketika berbicara Masyarakat adat? Bagiku sebagai gen Z yang tinggal jauh dari hutan maupun masyarakat adat, yang saya pikirkan apakah mereka sama saja dengan masyarakat yang tinggal di kampung dan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan?, apakah mereka masih berkebun/Bertani, apa yang mereka kerjakan sehari-hari, apakah mereka mendapatkan akses yang sama soal Pendidikan, Kesehatan, informasi, dll.

Di tanggal 18-21 februari ini, saya berkesempatan untuk dapat menghadiri musyawarah adat marga-marga yang tinggal di distrik Miyah Selatan, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat Daya. Meskipun pemekaran Provinsi ini tergolong baru, namun wilayah distriknya mayoritas masih sama dengan sebelum adanya pemekaran yaitu berjumlah 19 Distrik, termasuk di Miyah Selatan ini. Miyah Selatan merupakan wilayah pemekaran dari Distrik Miyah yang dihuni oleh sekitar 10 Marga. Dari 10 Marga tersebut, yang terbesar diantaranya adalah Marga Hae, Marga Momo, Marga Sedik, dll.

Perjalanan menuju distrik Miyah Selatan dapat ditempuh dengan 2 rute utama dari sorong, yaitu via jalur Sorong-makbon-sausapor-mega-bamusbama-fef-miyah-miyah selatan (rute Sorong-Tambrauw) atau via rute sorong-sorong selatan-maybrat-miyah selatan (rute trans papua Sorong-Manokwari). Kebetulan kami menggunakan rute Sorong-Tambrauw yang memakan waktu kurang lebih 8 jam perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 300 km. Rute ini dipilih karena selain jaraknya yang lebih pendek, juga sekaligus ingin melihat sejauh mana perkembangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten tambrauw paska pemindahan ibukota kabupaten dari Sausapor ke Fef.

Musyawarah adat yang dilakukan di distrik Miyah Selatan Kabupaten Tambrauw ini direncanakan berlangsung selama 11 hari terhitung sejak tanggal 20 Februari 2023 hingga tanggal 02 maret 2023, kegiatan diawali dengan upacara pembukaan musyawarah adat (musdat) atau penyambutan tamu undangan dengan tarian-tarian tradisional distrik Miyah selatan dan dilanjutkan dengan pembukaan acara musdat yang diawali dengan doa keagamaan dan sambutan dari Kepala Distrik Miyah Selatan maupun pembukaan oleh ketua panitia. Acara selanjutnya dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh beberapa NGO dan komunitas lokal, beberapa NGO dan komunitas lokal yang turut hadir dan mendukung musdat ini diantaranya BRWA, FWI, AMAN Sorong Raya, GREENPEACE, SAMDHANA INSTITUTE, dan AKA UWOUN.

sharing atau cerita materi
Gambar 1. sharing materi “Kebijakan Perizinan dan Kondisi Hutan Papua” oleh fwi

FWI berkesempatan memberikan sharing materi yang pertama yaitu tentang “Kebijakan Perizinan dan Kondisi Hutan Papua”. Hal ini cukup penting mengingat meskipun wilayah tambrauw mayoritas merupakan hutan lindung dan konservasi, namun tetap tak luput dari ancaman konsesi perizinan. Di Wilayah Miyah selatan terdapat dua konsesi tambang yaitu PT Alam Papua Nusajaya, dan PT Papua Metalindo yang memiliki luas hampir 90 ribu hektare. Kedua konsesi tambang ini sangat mungkin tumpang tindih dengan wilayah adat dari beberapa marga yang ada di distrik Miyah Selatan. Serta ancaman-ancaman yang akan datang tentunya akan lebih banyak lagi,  mengingat wilayah Miyah Selatan dilewati akses jalan trans Papua yang menghubungkan Sorong-Manokwari.

Melanjutkan apa yang disampaikan Forest Watch Indonesia, BRWA berkesempatan menyampaikan materi mengenai “Proses Percepatan dan Pengakuan Wilayah Adat”. BRWA mengingatkan pentingnya mengetahui kelengkapan dan kekurangan data, peta dan informasi lainnya terkait dengan keberadaan masyarakat dan wilayah adatnya serta dengan adanya data dan informasi yang terstruktur mempermudah penyampaian baik kepada pemerintah pusat dan daerah dalam upaya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya.

Kemudian AMAN Sorong Raya berbicara mengenai “Masyarakat Adat dan HAM” karena menurut filosofi masyarakat adat sendiri bahwa hutan atau wilayah adat, adalah Mama/Ibu bagi Masyarakat Adat. Mengapa disebut Mama? Karena wilayah adat memberikan kehidupan bagi masyarakat adat dan memberikan semua hal yang masyarakat adat butuhkan. Lalu ditutup dengan penyampaian materi dari Greenpeace mengenai “Strategi Kampanye Hutan untuk Masyarakat Adat”. Materi ini berbagi tentang pentingnya membawa isu pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat ini ke dunia internasional.

Dalam pemberian materi yang disampaikan oleh beberapa narasumber pada Senin, 20 Februari 2023 sejak pukul 14.30 WIT sampai 20.00 WIT masyarakat distrik Miyah Selatan sangat antusias dan mengajukan beberapa pertanyaan dan pernyataan diantaranya, sepaham dengan tujuan pentingnya pengakuan dan perlindungan wilayah adat mereka, sangat menolak jika tanah mereka diambil atau digunakan untuk izin-izin industri ekstraktif, apa yang harus dilakukan jika ada ancaman masuknya investasi tersebut, bahkan apa manfaat yang mungkin didapat masyarakat adat jika wilayah mereka diakui oleh pemerintah / negara?

tarian adat dari miyah selatan
gambar 2. tarian adat distrik miyah selatan

Lalu timbul pertanyaan apa yang masyarakat adat harapkan dari para NGO dan target apa yang ingin dicapai dan diperjuangkan oleh masyarakat adat?. Tentunya masyarakat adat distrik Miyah Selatan mengharapkan pendampingan dan pengawalan penuh dari NGO-NGO dalam kegiatan musyawarah adat sampai adanya pengakuan wilayah adat dan adanya SK hutan adat. Adapun proses musdat ini diharapkan dapat menginisiasi terbentuknya dan terdokumentasikannya struktur dan kepengurusan marga, adanya aturan marga, profil marga, terbentuknya silsila marga, adanya peraturan marga yang di tingkat distrik, verifikasi dan melengkapi data hingga ke depan diharapkan menghasilkan pengakuan terhadap wilayah adat dan hutan adat.

perwakilan masyarakat adat dari miyah selatan
gambar 3. perwakilan masyarakat adat distrik miyah selatan

Lalu apa saja yang sudah dilakukan dalam mencapai itu semua ? sebelumnya masyarakat adat sudah melakukan konsolidasi terlebih dahulu mengenai informasi-informasi yang perlu disiapkan untuk pembahasan batas marga (diskusi pra musyawarah adat). Serta dari pihak NGO, mendampingi atau membantu masyarakat untuk mempersiapkan musyawarah adat, serta memberikan pengetahuan terkait pentingnya pengakuan dan perlindungan hutan adat, potensi ancaman investasi terhadap hutan adat. Langkah-langkah dalam mempersiapkan serta melengkapi prasyarat pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Kabar baiknya adalah di Kabupaten Tambrauw sendiri, sudah ada perda Pengakuan dan Perlindungan MHA (Perda 6/37/2018), Perdasus Papua Barat No 9 dan 10 tentang pedoman pengakuan, perlindungan, pemberdayaan MHA dan Wilayah Adat serta Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat, dan Pergub Papua Barat No 25 tahun 2021 tentang Tata Cara penetapan Pengakuan MHA dan Wilayah Adat.

Tentunya musdat ini hanya menjadi awalan dari perjuangan panjang masyarakat adat khususnya masyarakat adat di Distrik Miyah Selatan untuk memperjuangkan ruang hidup, hutan serta wilayah adatnya.

Jalan panjang ke depan akan semakin sulit karena selain butuh energi, waktu, dan pikiran yang punya pemahaman yang sama tentunya masyarakat adat juga butuh bantuan dan semangat dari kita-kita yang mungkin hidup jauh dari persoalan konflik lahan dan sebagainya.

Satu pesan yang mungkin bisa saya simpulkan dari Musdat ini adalah, “Bicara masyarakat adat berarti bicara tentang wilayah adat, bicara wilayah adat berarti bicara tentang tanah. Manusia tercipta dari tanah, hidup di tanah dan akan kembali ke tanah, maka pertahankanlah itu kita punya tanah. Jangan sampai wilayah adat yang kita miliki dipetakan oleh orang lain, jangan sampai kita punya sejarah tapi diceritakan oleh orang lain, jangan sampai kita punya tanah di ambil oleh orang lain”.

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top