Enam Tahun Memperbaiki Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Dalam upayanya mengurangi gangguan terhadap hutan yang berdampak pada meningkatnya emisi gasrumah kaca, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% dari BAU (Business As Usual) pada tahun 2020 dengan sumber daya keuangan dalam negeri1 (atau sebesar 41% dengan bantuan internasional). Komitmen ini pertama kali diumumkan di Pittsburgh dalam sebuah pertemuan negara-negara yang tergabung dalam G20, pada September 2009. Komitmen tersebut ditegaskan kembali dalam pidato kenegaraan di acara Pertemuan Puncak Perubahan Iklim di Copenhagen, Desember 20092. Dalam pidato kenegaraan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan untuk tetap mempertahankan hutan dari kegiatan penebangan”Keep the trees up than chop them down… the only dogma is human survival”. Sebagai negara yang hampir 80% emisinya bersumber dari deforestasi dan perubahan peruntukan lahan hutan (Land Use, Land Use Change and Forestry/LULUCF), komitmen ini merupakan awal dari sebuah langkah maju dalam memperbaiki tata kelola hutan dan ekosistem gambut.
Komitmen penurunan emisi Indonesia tersebut mendapat sambutan baik,tidak hanya dari Negara-negara anggota G20 dan dunia internasional, bahkan juga dari negara donor terutama Norwegia, untuk membantu terwujudnya penurunan emisi. Menindaklanjuti hal tersebut, pada tanggal 26 Mei 2010, pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Norwegia menandatangani Surat Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) tentang REDD+ 3 . Berdasarkan LoI ini, Indonesia sepakat untuk melakukan beberapa tindakan, antara lain: menyusun Strategi Nasional tentang REDD+; menetapkan badan khusus untuk menerapkan strategi REDD+, termasuk sistem pemantauan, pelaporan dan pembuktian (Monitoring, Reporting and Verification/MRV) atas pengurangan emisi dan instrumen keuangan untuk penyaluran dana; dan mengembangkan dan menerapkan instrument kebijakan serta kemampuan untuk melaksanakannya, termasuk penundaan selama dua tahun bagi pemberian izinbaru untuk konversi kawasan hutan alam dan lahan gambut untuk penggunaan lainnya.
Hampir setahun setelah penandatanganan LoI tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Mei 2011 menerbitkan INPRES No. 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. INPRES tersebut kemudian diperpanjang dengan INPRES No. 6 Tahun 2013 dan INPRES No. 8 Tahun 2015.