Tinjauan Hukum
Permohonan Informasi yang Tidak Sungguh-Sungguh dan Beritikad Baik (Vexatious Request)
Oleh: Dessy Eko Prayitno[1]
PENDAHULUAN
Sengketa Permohonan Informasi
Data sengketa informasi Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) menunjukkan bahwa dari tahun 2010 hingga 2017, KI Pusat telah menerima 2724 permohonan penyelesaian sengketa informasi. Kemudian dari 2724 tersebut, baru 901 sengketa informasi yang sudah diputus. Dengan demikian, KI Pusat masih memiliki tunggakan sengketa sebanyak 1823.
Ada hal menarik terkait dengan tunggakan sengketa informasi KI Pusat: Pertama, bahwa dari 1823 sengketa, 1209 diantaranya merupakan permohonan yang diajukan oleh Muhammad Hidayat atau lebih dikenal sebagai MHS. 1209 sengketa informasi diajukan MHS dengan menggunakan beberapa identitas, antara lain: Mata Ummat, Perkumpulan Mata Umat, Pergerakan Mata Umat, Sahabat Muslim, Sahabat Muslim Indonesia, dan Perkumpulan Sahabat Muslim. Kedua, 1209 permohonan sengketa dilakukan MHS pada tahun 2014 dan keseluruhannya dianggap tidak memiliki kepentingan langsung dengan informasi yang diminta.
Di luar data sengketa yang terekam oleh KI Pusat, pada awal berlakunya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), Perki No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik (Perki SLIP), dan Perki 2 Tahun 2011 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki PPSIP),[2] MHS pernah menggemparkan hampir seluruh badan publik di tingkat pusat (kementerian dan organisasi masyarakat sipil).
Pada awal berlakunya UU KIP dan peraturan turunannya, aksi MHS cukup membantu dalam implementasi keterbukaan informasi di tingkat nasional, banyak badan publik mulai berbenah dalam rangka memperbaiki layanan informasinya. Hal ini karena MHS selalu mengajukan sengketa informasi ke KI Pusat terhadap badan publik yang tidak memberikan informasi yang dia minta.
Namun demikian, lambat laun terdapat aksi MHS mulai dianggap meresahkan, hal ini antara lain: pertama, MHS melakukan permintaan terhadap informasi yang sama di seluruh badan publik, yaitu seluruh informasi yang diatur dalam Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 Perki SLIP. Kedua, MHS melakukan permintaan informasi dengan cara intimidatif (i.e. marah-marah, tidak sopan, dll.) kepada badan publik. Ketiga, MHS selalu menyengketakan badan publik ke KI Pusat. Keempat, MHS berlaku tidak sopan dalam persidangan di KI Pusat.
Dalam konteks peradilan, perilaku MHS merupakan bentuk contemp of court atau tidak menghormati pengadilan. Bentuk contemp of court yang dilakukan oleh MHS misalnya dengan menunjukkan secara terbuka mosi tidak percaya kepada Komisioner KI Pusat. Kelima, aksi MHS meluas hingga seluruh Indonesia, tercatat seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatera, dan Kalimantan menjadi target permintaan informasi MHS.
Perilaku MHS tersebut dianggap sebagai bentuk dari permintaan informasi yang tidak sungguh-sungguh dan beritikad baik (vexatious request). Hal ini kemudian yang menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan revisi terhadap Perki PPSIP menjadi Perki No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik, di mana dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diatur mengenai permohonan informasi yang tidak sungguh-sungguh dan beritikad baik.
Tinjauan Hukum Permohonan Informasi yang Tidak Sungguh-Sungguh dan Beritikad Baik final
[1] Peneliti Forest Watch Indonesia
[2] Perki No. 2 Tahun 2011 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik telah diubah dengan Perki No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.