Indonesia, dengan komitmennya terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca, telah meningkatkan targetnya dalam “Enhanced NDC” yang disampaikan kepada UNFCCC. Target ambisius ini menuntut transisi besar di berbagai sektor, termasuk sektor hutan dan energi. Di tengah upaya ini, Hutan Tanaman Energi (HTE) dipromosikan sebagai solusi kontroversial untuk mencapai target tersebut, dengan klaim sebagai terobosan dalam pengurangan emisi dan peningkatan energi terbarukan yang nol emisi.
Namun, di balik klaim tersebut, terdapat kekhawatiran besar terkait dampak HTE terhadap hutan alam. FWI (2023) mencatat bahwa pembangunan HTE telah mengakibatkan deforestasi sebanyak 55 ribu hektare dan mengancam 420 ribu hektare hutan alam tersisa di dalam 31 konsesi perusahaan. Pembangunan HTE juga ditengarai sebagai modus perusahaan kehutanan Hutan Tanaman Industri untuk melanggengkan penguasaan lahan.
Pembangunan HTE disinyalir akan menjadi driver deforestasi baru hutan alam Indonesia kedepan. Saat ini sudah ada 13 provinsi yang implementasi, dan 1 di antaranya di Jambi. Ironisnya, alih-alih menjadi solusi, HTE justru dimanfaatkan perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk memperpanjang cengkeraman mereka atas sumber daya hutan dan lahan. PT HAN merupakan satu-satunya perusahaan kehutanan yang saat ini terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai perusahaan HTE di Jambi.
PT HAN mengantongi izin konsesi HTE seluas 32.620 hektar berbekal SK.183/Menhut-II/2013. Lokasi konsesi PT HAN terletak di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun yang terbentang pada tiga blok, yakni Tabir, Nalo Tantan, dan Sarolangun. PT HAN tergolong pada investasi Penanaman Modal Asing. Sejak perusahaan ini dibangun dana operasional dan pembangunan usaha berasal dari Korea Selatan. PT HAN merupakan bagian dari proyek energi terbarukan Korea Selatan di Indonesia.
Untuk mendukung ambisi tersebut, PT HAN membangun hutan tanaman energi berupa biomassa kayu. Diketahui sejak awal didirikan, perusahaan ini memang dirancang untuk memenuhi kebutuhan biomassa kayu ke Korea Selatan dalam bentuk wood pellet, bukan untuk Indonesia. Hasil perhitungan FWI, PT HAN hanya melakukan penanaman lahan sengon seluas 64,5 hektare. Sementara rencana penanaman energi PT HAN hingga tahun 2024 seluas 18.087 hektar.
Saat ini secara official operasionalisasi PT HAN sudah berhenti sejak 2022 dan 2023. Diketahui bahwa PT HAN kehabisan modal usaha setelah aliran dana terputus dari Korea Selatan pasca meninggalnya pemilik perusahaan. Sudah tidak ada lagi staff lapangan dan staff kantor yang bekerja untuk PT HAN saat ini, kecuali staff keamanan lapangan sebanyak 2 orang.
Melanjutkan pembangunan HTI/HTE oleh PT HAN yang sudah terhenti merupakan layaknya mimpi yang sulit diwujudkan. PT HAN pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa untuk kembali bangkit dan membangun hutan tanaman energi setelah kehabisan modal dan meninggalkan polemik negatif di lingkungan masyarakat desa sangatlah tidak realistis.
Operasionalisasi izin oleh PT HAN untuk membangun hutan tanaman energi dan melakukan ekspor ke Korea Selatan itu seumpama “jauh panggang dari api”. Laporan BPHL terkait Hasil Monitoring dan Evaluasi Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) PT HAN secara resmi menyatakan bahwa PT HAN sudah tidak aktif sejak April 2023. Dalam laporan tersebut disebutkan juga bahwa:
- Sampai dengan saat ini PT HAN belum menyusun dokumen RKUPH periode tahun 2024-2034 dan RKTPH periode tahun 2024.
- Pada periode RKTPH Tahun 2021, 2022, dan 2023 tidak ada rencana dan realisasi kegiatan pengadaan bibir, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.
- PT HAN belum menyampaikan laporan kegiatan bulanan, progres tata batas, kemitraan, sertifikasi, keuangan, penanaman, produksi, dan tenaga kerja.
- PT HAN belum melaksanakan Pemanfaatan hasil Hutan Kayu dengan sistem silvikultur sesuai dengan kondisi hutan.
- Belum melaksanakan kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat.
- Sejak April 2023 PT HAN sudah tidak aktif melakukan aktivitas pemanfaatan hutan (camp, tenaga kerja, alat-alat operasional, dan sarana prasarana yang menunjang kegiatan pemanfaatan hutan sudah tidak ada pada areal kerja. PT HAN terindikasi meninggalkan areal kerja.
- PT HAN memiliki izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hasil Hutan (PBPHH) sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Nomor: 230/Menlhk/Setjen//HPL.3/5/2021 tanggal 18 Mei 2021 dengan jenis dan kapasitas izin produksi berupa veneer, KGG, dan wood pellet.
Selama PT HAN berjalan, pembabatan hutan yang dilakukan perusahaan menimbulkan kerusakan sumber daya hutan yang parah. PT HAN terbukti hanya memanfaatkan kayu yang berasal dari hutan alam. Berdasarkan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) jumlah produksi kayu bulat sejak tahun 2021 sampai 2023 sebanyak 7.014 m3. Sementara itu berdasarkan SKSHHK PT HAN sejak tahun 2021 sampai 2023 telah mengangkut kayu bulat dengan total volume 14.851 m3 (TPK Hutan dan TPK Antara).
Temuan di lapangan deforestasi justru memicu terjadinya konflik dengan satwa liar, seperti Harimau Sumatera. Sejak operasionalisasi PT HAN pada tahun 2019 aktivitas land clearing mulai aktif digalakan. Setelah itu masyarakat di sekitar area PT HAN mulai sering melihat Harimau Sumatera turun ke perkampungan desa. Hutan yang rusak menjadikan Harimau Sumatera kehilangan habitatnya. Hal ini diperkuat dengan temuan FWI bahwa kerusakan hutan di PT HAN hampir mencapai 4 ribu hektar sejak 2017-2023.
Pembangunan HTI/HTE memang identik dengan penebangan hutan alam, dan masyarakat setempat sudah terlanjur ditarik ke dalam kepentingan perusahaan. Pada tahun 2019, PT HAN menjajaki desa-desa dan menawarkan kerjasama dengan iming-iming rupiah kepada Pemerintah Desa Nalo Gedang salah satunya, termasuk masyarakat yang memiliki kebun-kebun yang masuk ke dalam konsesi PT HAN. Pemerintah Desa dan Masyarakat dijanjikan mendapatkan kompensasi dari aktivitas pemanenan kayu hutan alam, penanaman dan pemanenan kayu tanaman, dan termasuk dari transaksi pengalihan penguasaan kebun masyarakat ke PT HAN.
PT HAN menjanjikan skema bagi hasil. Setiap kubik kayu hutan alam yang berasal dari lahan/kebun masyarakat akan dibayarkan Rp25.000 kepada masyarakat dan Rp50.000 kepada desa per-kubiknya. Sampai saat ini Pemerintah Desa hanya menerima nilai Rp. 100 juta. Padahal total penebangan kayu hutan alam mencapai 14.851 m3. Bahkan masyarakat sampai saat ini menantikan bagi hasil yang sempat dijanjikan PT HAN dari pemanen tanaman Sengon yang nihil realisasi. Hingga laporan ini ditulis di tahun 2024 PT HAN terbukti tidak memenuhi janjinya meskipun komitmen dan kesepakatan bersama baik PT HAN dengan Pemerintah Desa dan dengan masyarakat sudah dibuat.
Masyarakat sama sekali tidak mengetahui bagaimana kelanjutan kerjasama mereka dengan PT HAN akan berujung manis atau pahit. Namun yang pasti hutan sudah kadung rusak, kayu sudah habis ditebang dan diangkut keluar. Selama ketidak hadirannya di lapangan, PT HAN melakukan kerjasama dengan pihak ketiga untuk melakukan pemanenan kayu hutan alam. Hal ini memungkinkan potensi kerugian negara karena adanya peluang tidak tercatat atau selisih terhadap yang dilaporkan ke dalam SIPUHH dan SIPNBP. Di sisi lain, masyarakat selalu dirugikan dengan kayu yang habis ditebang namun tidak ada keuntungan bagi masyarakat. Masyarakat hanya akan menikmati kemungkinan terjadinya bencana hidrometeorologis kedepan jika tidak ada perbaikan kualitas lingkungan.
Kesimpulan
Pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) di Indonesia, yang dimaksudkan sebagai langkah untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca, menimbulkan berbagai permasalahan yang kompleks. Inisiatif ini ternyata langkah kontroversial dalam mengurangi emisi dan menangulangi krisis iklim. HTE justru menimbulkan masalah deforestasi dan dampak negatif lainnya pada lingkungan dan kehidupan bermasyarakat. Pembangunan HTE hanya akan mengantarkan Indonesia pada hutang-hutang emisi akibat hilangnya hutan alam dalam praktek pemenuhannya.
Fakta PT HAN, salah satu perusahaan yang mengantongi izin konsesi HTE di Jambi, lebih mementingkan suplai biomassa ke Korea Selatan dari pada memenuhi kebutuhan energi biomassa di Indonesia.
Di sisi lain, HTE memperparah situasi penguasaan ruang. Diketahui izin PT HAN berlaku hingga 25 Maret 2073. Populasi yang terus meningkat tidak sebanding dengan luas lahan yang tersedia bagi masyarakat. Sementara peningkatan investasi berbasis hutan dan lahan seringkali berujung pada kerusakan sumber daya alam.
Sejauh ini, masyarakat lokal seringkali menjadi korban dari sistem dan implementasi yang tidak adil dan tidak memberikan manfaat ekonomi seperti yang telah dijanjikan. Distribusi aset kepada masyarakat adat dan lokal di Jambi menjadi penting dan sebuah keharusan untuk menciptakan wilayah kelola rakyat yang berdaulat, bermartabat, dan mandiri.
Anggi Putra Prayoga
Jalan Sempur Kaler Nomor 62 Kelurahan Sempur, Bogor, Indonesia
+62 857-2034-6154
KORESPONDENSI WALHI JAMBI
Dwi
Jl. Wijaya Kusuma Jalan Jambi – Muara Bulian No.5, Kota Jambi, Jambi 36125
+62 821-8030-4458