Persoalan Deforestasi di Indonesia: Sebuah Polemik Berkelanjutan

Persoalan deforestasi muncul kembali ketika Mahfud MD dalam debat Cawapres Minggu, 20 Januari 2023 menyebutkan bahwa deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia telah melebihi luas wilayah Korea dan 23 kali luas Pulau Madura. Disebutkan juga bahwa selama 10 tahun terakhir luas kehilangan hutan telah mencapai 12,5 juta ha (Simanjutak, 2024). Hal ini mendapat tanggapan atau bantahan langsung dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) bahwa Mahfud telah salah membaca angka dan data deforestasi (Supriyatna, 2024).

Persoalan deforestasi bukan saat ini saja sudah terjadi puluhan tahun lalu mengacu pada penelitian yang dilakukan FAO (1990) dan World Bank (1990) yang mencatat laju deforestasi setiap tahun, yakni 300 ribu ha/tahun (1970an), 600 ribu ha/tahun (1981), dan 1 juta ha/tahun (1990). Pemerintah Indonesia telah memahami bahwa deforestasi mempunyai dampak negatif baik terhadap sumber daya hutan dan juga kehidupan manusia (Sunderlin dan Resosudarmo, 1996). Kemudian persoalan deforestasi ini terjadi juga pada saat awal pelaksanaan era otonomi daerah dengan laju deforestasinya 1996-2000 mencapai 3,51 juta ha per tahun (FWI, 2020). Deforestasi masih menjadi perdebatan dan masalah dalam pengelolaan hutan di Indonesia  hingga saat ini dengan laju tertingginya dari tahun 2001-2016 di negara-negara tropis (Gaveau et al., 2019) dan kehilangan hutan alam primer tertinggi (Margono et al., (2014).

Kehilangan hutan alam promer tertinggi menjadi sebuah polemik terkait deforestasi pernah terjadi pada pelaksanaan Conference of Parties (COP) 2014 di Lima, Peru, dimana pimpinan delegasi Indonesia menyatakan bahwa laju deforestasi Indonesia telah turun secara signifikan, namun dalam saat yang besamaan Margono et al. (2014) mempublikasikan artikel dalam jurnal online ilmiah Nature Climate Change yang berjudul “Primary Forest Cover Loss in Indonesia over 2000-2012”. Staf Khusus Presiden mengatakan dan menuduh bahwa “kajian ilmiah tersebut berbau politis” (Purnomo, 2014), kemudian dibantah oleh para penulisnya bahwa “Penelitian ini dilaksanakan tahun 2013 untuk mengukur hilangnya hutan primer di Indonesia dilakukan dalam rentang waktu tahunan, dan dalam pelaksanaanya didasarkan pada proses metodologi yang selalu berkembang dan terus ditingkatkan lewat peer-review selama 1 tahun dan diterbitkan tahun 2014”.

Polemik deforestasi terus berkepanjangan ketika KLHK menyatakan bahwa deforestasi menurun sampai ke angka 115 ribu ha pada tahun 2020 sebagai angka deforestasi terendah. Namun hasil analisa yang dilakukan Forest Watch Indonesia (FWI) dengan memadukan data tutupan hutan tahun FWI 2017 dengan data forest lost Hansen (University of Maryland) tahun 2018, 2019, dan 2020, memperlihatkan ada sekitar 680 ribu ha hutan yang hilang dengan laju rata-rata sebesar  227 ribu ha/tahun (FWI, 2020).

 Masih persoalan definisi deforestasi juga pada COP 26 yang berbeda antara Menteri LHK dengan LSM Green Peace dan WALHI dalam media sosial yang berakhir dengan rencana klarifikasi antara KLHK dengan kedua LSM tersebut. Tulisan ini hendak menjelaskan terkait (i) pengertian deforestasi, (ii) jenis-jenis kegiatan yang dikatagorikan deforestasi, (iii) konflik kepentingan antara pembangunan dengan deforestasi, dan (iv) bagaimana trade off nya. Diharapkan setelah tulisan ini terbit, maka tidak ada lagi polemik deforestasi yang berkelanjutan karena telah dijelaskan dan diuraikan secara jelas di bawah ini.

Definisi Deforestasi

Menurut FWI (2020) deforestasi secara harfiah dapat diartikan sebagai kehilangan hutan dan menjadi sangat penting untuk mendudukkan kembali definisi hutan sebagai dasar dalam memahami deforestasi. Istilah deforestasi mulai populer ketika muncul program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation-REDD+) yang dimunculkan dalam COP 13 di Bali sebagai upaya untuk melaksanakan mitigasi dan adaptasi atas dampak perubahan iklim.

Seringkali istilah deforestasi secara keliru digunakan sebagai sebuah kerusakan atau penggundulan hutan. Menurut Susetyo (2021) pengertian deforestasi yang berbeda-beda antar lembaga negara berdampak pada besaran angka deforestasi yang selalu tidak sama. Sementara itu, KLHK masih belum secara terbuka merilis angka deforestasi secara kumulatif dari tahun ke tahun. Subarudi (2018) telah berhasil mengidentifikasi 10 (sepuluh) definisi deforestasi dari berbagai sumber pustaka baik secara institusi maupun secara personal atau individual.

Sebagaimana diketahui secara luas bahwa hutan adalah karunia dan amanah Tuhan YME yang dianugerahkan kepada bangsa ini dan dikuasai oleh Negara untuk dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Hutan juga merupakan suatu eksositem yang kompleks yang saling pengaruh mempengaruhi terhadap unsur yang ada di dalamnya dan apabila terjadi deforestasi dan degradasi hutan maka akan berdampak kepada bencana hidrometereologis dalam skala lokal dan nasional, maupun internasional.

Secara international, deforestasi dimaknai sebagai kehilangan Kawasan hutan yang berubah menjadi Kawasan non hutan. Pemaknaan ini diperkuat oleh definisi deforestasi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang dengan tegas menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.

Sebagaimana diketahui KLHK punya definisi yang banyak terkait dengan deforestasi, yaitu deforestasi terencana (planned deforestation), deforestasi tidak terrencana (unplanned deforestion), deforestasi bruto (gross deforestation) dan deforestasi netto (netto deforestation). Deforestasi terencana adalah pembabatan hutan melalui izin konsesi hutan alam, hutan tanaman industri, atau konversi hutan untuk tujuan lain, seperti perkebunan, pertambangan, infrastruktur, lumbung pangan. Sementara deforestasi tak terencana berasal dari penggundulan hutan seperti pembalakan liar atau kebakaran hutan dan lahan. Contoh deforestasi terencana adalah pemerintah Indonesia merencanakan deforestasi atau penggundulan hutan seluas 325.000 ha per tahun hingga 2030. Angka ini terdapat dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC)  pemerintah yang dikirimkan ke PBB pada akhir Juli 2021 (Redaksi FD, 2021).

Jika mengacu pada Peraturan Menteri LHK No. 70 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation, Role Of Conservation, Sustainable Management Of Forest And Enhancement Of Forest Carbon Stocks, deforestasi didefinisikan sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan. Kemudian deforestasi ini dibagi menjadi Deforestasi Gross dan Deforestasi Netto. Deforestasi Gross adalah perubahan secara permanen tutupan hutan alam tanpa memperhitungkan pertumbuhan kembali (regrowth) dan atau pembuatan hutan tanaman. Deforestasi Netto adalah perubahan secara permanen tutupan hutan, dengan memperhitungkan pertumbuhan kembali (regrowth) dan/atau pembuatan hutan tanaman. Sedangkan degradasi hutan didefinisikan sebagai penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu (FWI, 2020).

Penulis setuju, jika bicara deforestasi terencana ada jangka waktu yang tetap misalnya 5 tahun dan sudah jelas untuk sektor pembangunan mana dan berapa alokasinya yang tepat. Jika ada usulan baru untuk pelepasan kawasan hutan (deforestasi) di luar yang direncanakan, maka hal ini harus berani dikatakan sebagai deforestasi tidak terencana. Hal menarik adalah contoh pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang tidak masuk dalam nawacita (2014-2019) dan (2019-2024) ternyata dimasukkan sebagai deforestasi terencana seluas 60.000 hektar. Jadi wajar kalau setiap orang bicara deforestasi pasti akan muncul reaksi dan polemik dari kalangan KLHK sendiri karena harus memastikan definisi mana yang digunakan dari empat definisi yang ada, yaitu deforestasi terencana, tidak terencana, bruto dan netto. Hal ini harus menjadi catatan tersendiri bagi para penulis atau mahasiswa yang mengkaji tentang sistem deforestasi di Indonesia.

FWI (2021) secara gamblang menjelaskan deforestasi sebagai berikut: “Luas hutan alam di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, Indonesia masih memiliki 106 juta ha hutan alam. Jumlah tersebut berkurang menjadi 93 juta ha pada tahun 2009, 88 juta ha pada tahun 2013, dan 82 juta ha pada tahun 2017. Hutan-hutan alam yang hilang dari tahun ke tahun tersebutlah yang dinamakan sebagai deforestasi”.

Jenis-Jenis Kegiatan Yang Dikatagorikan Deforestasi

Sebagaimana telah dijelaskan terkait definisi deforestasi, maka jenis-jenis kegiatan yang dapat dikatagorikan deforestasi adalah kegiatan sektoral yang termasuk kelompok deforestasi terencana dan bukan yang tidak terencana. Jenis-jenis kegiatannya dapat mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan dan PP No. 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan.

Pada awalnya (PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan) menyebutkan bahwa Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH) dilakukan untuk: (i) pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen; (ii) menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan; atau (iii) memperbaiki batas kawasan hutan. Jenis pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen akan ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait. PKH hanya dapat dilakukan pada HPK dengan ketentuan: (1) tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30%, kecuali dengan cara TMKH, (2) HPK baik dalam keadaan berhutan maupun tidak berhutan. Sedangkan Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) dilakukan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.

Jenis kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan ditetapkan oleh Menteri dan permohonan PKH diajukan oleh pemohon kepada Menteri dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Jenis kepentingan pembangun non kehutanan ini dijelaskan dalam Permen LHK No. P.96/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan HPK. Permen LHK ini menyebutkan bahwa kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan termasuk sarana penunjangnya meliputi: a. penempatan korban bencana alam; b. fasilitas pemakaman; c. fasilitas pendidikan; d. fasilitas keselamatan umum; e. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; f. kantor Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; g. permukiman dan/atau perumahan; h. transmigrasi; i. bangunan industri; j. pelabuhan; k. bandar udara; l. stasiun kereta api; m.terminal; n. pasar umum; o. pengembangan/pemekaran wilayah; p. pertanian tanaman pangan; q. budidaya pertanian; r. perkebunan; s. perikanan; t. peternakan; u. sarana olah raga; atau v. tempat pembuangan akhir sampah.

Penerbitan PP No. 104/2015 merupakan PP yang mencabut PP No. 10/2010 Jo PP No. 60/2012. PP No. 104/2015 ini menyatakan bahwa deforestasi terencana dilakukan melalui perubahan peruntukan kawasan hutan yang didefiniskan sebagai perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan dengan proses TMKH dan PKH. TMKH adalah perubahan kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) dan/atau Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi bukan Kawasan Hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan Kawasan Hutan dan/atau HPK yang produktif menjadi kawasan Hutan Tetap. Sedangkan PKH adalah perubahan peruntukan Kawasan HPK menjadi bukan Kawasan Hutan. 

PKH dilakukan pada HPK yang tidak produktif dengan catatan dikecualikan pada provinsi yang tidak tersedia lagi Kawasan HPK yang tidak produktif  untuk kegiatan: a. proyek strategis nasional (PSN); b. pemulihan ekonomi nasional; c. pengadaan tanah untuk ketahanan pangan (food estate) dan energi; d. pengadaan tanah untuk bencana alam; e. pengadaan tanah obyek reforma agraria; dan (f) kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki izin di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya UU No 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (UUCK), dapat dilakukan pada kawasan HPK dan/atau Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP). PKH pada HPK dan HP dilakukan setelah Penelitian Terpadu (PP No. 104/2015).

Cara perhitungan deforestasi sebenarnya mudah tinggal melakukan paduserasi terhadap luas areal kawasan hutan sekarang (2024) dengan areal hutan tahun lalu (2023) dan jika terdapat perubahan bisa dilacak dijadikan apa dan berapa luasnya kawasan hutan tersebut. Hasil ini disebut sebagai angka deforestasi tahunan (2023-2024). Angka deforestasi tahunan ditambahkan dengan angka deforestasi tahunan selama 5 tahun terakhir (2019-2020; 2020-2021; 2021-2022; 2022-2023; 2023-2004) dan kemudian dibagi dengan angka 5 akan menjadi laju deforestasi yang dihitung sebagai rata-rata deforestasi per tahun selama 5 tahun. Contoh perhitungan deforestasi tahun 200 dapat dilihat pada Tabel 1.

Konflik Kepentingan Antara Pembangunan Dengan Deforestasi

Konflik kepentingan dimanapun terjadi khususnya antara pembangunan dan deforestasi yang dijadikan isu perdebatan antar partai politik pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden (Capres/Cawapres). Cawapres, Mahfud MD, menjelaskan bahwa perbedaan angka deforestasi karena dia menggunakan metode pembacaan data yang berbeda dengan Kementerian LHK (KLHK) dalam membaca data deforestasi. Data deforestasi dikutip dari data milik Global Forest Watch yang memotret hilangnya tutupan hutan dalam waktu tertentu.  Sementara itu, KLHK memakai data deforestasi neto yang dihitung berdasarkan jumlah deforestasi bruto dikurangi reforestasi (penghutan kembali) (Simanjutak, 2024).

Menteri LHK merespon angka deforestasi sebagai bantahan terhadap Prof Mahfud dengan menjelaskan secara tidak runut, misalnya angka deforestasi sebesar 0,73 juta ha (2013), 0,40 juta ha (2014). 1,09 juta ha (2015), 0,63 juta ha (2016) dan 0,48 juta ha (2017), 0,44 juta ha (2018), 0,46 juta ha (2019), 0,114 juta ha (2020), 0,104 (2021), 0,104 juta ha (2022) (CNN Indonesia, 2024) dan kekurangan data dipenuhi dari berbagai sumber untuk tahun 2014 (FWI, 2020), tahun 2020 (Anugrah, 2023), dan tahun 2022 (Arief, 2023), sehingga total deforestasi 10 tahun terakhir (2013-2022) sebesar 4,579 juta ha atau 36,6% dari luas deforestasi (12,5 juta ha) yang disebutkan Prof Mahfud.

Menurut FWI (2020)  terjadi perbedaan dan ketidaksesuaian data antara tutupan hutan dan lahan dengan data produksi kayu dari hutan tanaman industri, namun data tutupan lahan yang dikeluarkan oleh KLHK tidak bisa diuji akuntabilitasnya oleh publik, karena data spasial tutupan lahan ini bukan merupakan bagian dari informasi publik sebagaimana Surat Menteri LHK No.  SE.4/Menlhk/PKTL/KUM.1/11/2016 tentang Pemberian Data dan Informasi Spasial Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Seharusnya keterbukaan atas informasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan, agar kebenaran informasi tentang hutan dan perubahan tutupannya tidak didominasi oleh klaim pemerintah.

Konflik kepentingan apakah itu lingkungan atau politik terjadi juga dalam kasus pembangunan food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah yang dinakhodai oleh salah satu Capres yang sedang bertarung. Sudah banyak kritikan terkait pembangunan food estate tersebut yang katanya mau ditanami jagung dan singkong, tetapi yang terjadinya jagung-jagung itu ditanam dalam pilibag. Memang dirasakan aneh dan irrasional terkait pembangunan food estate diserahkan ke Menteri Pertahanan yang memang bukan bidangnya, seharusnya itu tugas dari Menteri Pertanian. Lebih aneh lagi kok semua mendukung kebijakan yang “keliru” dan terasa “dipaksakan” tersebut dengan memberikan sumbangan alat-alat berat, penyediaan lahan, pembibitan dan sarana produksi lainnya.

Sebenarnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah banyak kebijakan yang mendukung untuk Pembangunan kehutanan dari mulai menyediakan kawasan hutan untuk program Perhutanan Sosial (PS) seluas 12,7 juta ha, Tanah dan Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 4,2 juta ha, Kawasan Hutan Dengan Pengelolan Khusus (KHDPK) seluas 1,12 juta ha di Pulau Jawa, pelepasan hutan untuk Perkebunan kelapa sawit yang sudah terbangun dan sekarang tersisa 3,3 juta ha untuk diputihkan serta dukungan terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN). Program PSN ini tidak hanya menyasar pada Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), tetapi dukungan terhadap program hilirisasi industri melalui pembangunan dan perluasan industri pertambangan (smelter).  Pemberian alokasi lahan untuk PS dan TORA sudah banyak kritik, diantaranya pemberian lahan tersebut dilakukan tergesa sehingga menimbulkan konflik di lapangan. Demikian juga kebijakan KHDPK dikeluarkan tanpa terlebih dahulu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Izin Hak Perhutanan Sosial (IHPS) yang diluncurkan tahun 2019 melalui Permen LHK No. P.39 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Perhutanan Sosial di Kawasan Perhutani.

Sebagai contoh Pembangunan IKN sebagai salah satu PSN memerlukan perubahan kawasan hutan dalam dua tahapan, yaitu (i) perubahan dari Kawasan hutan produksi tetap menjadi Kawasan HPK dan (ii) perubahan dari Kawasan HPK menjadi areal penggunaan lainnya. Perubahan kedua dapat dikatakan sebagai deforestasi sesuai PP No. 104/2015. Jadi tahun 2002 KLHK telah melepaskan areal HPK menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) untuk IKN seluas 60.000 ha melalui pembentukan dan pelaksanaan Tim Terpadu sesuai SK Menteri LHK Nomor: 4606/2022.

Semua pihak yang terkait dengan program PSN menjadi begitu reaktif dan responsif Ketika salah satu Capres mengemukakan bahwa kebijakan PSN itu tidak murni untuk kepentingan negara dan hanya sebagai proyek titipan saja. Komentar ini mendapat beragam tanggapan yang pro dan kontra terhadap program PSN tersebut. Untuk klarifikasi ini sebaiknya dilakukan penelitian yang mendalam dan independen terkait apakah proyek PSN itu benar-benar menguntungkan negara atau hanya mendukung kepentingan para pengusaha yang tergabung dalam oligarki.

Upaya Trade Off Antara Pembangunan Versus Deforestasi

Sebenarnya sudah menjadi sejarah panjang perdebatan antara pembangunan versus deforestasi sehingga memunculkan anggapan bahwa sektor kehutanan menjadi penghambat Pembangunan sebagaiman pernyataan Guru Besar IPB (Gunawan, 2023). Sebenarnya 5 tahun lalu sudah muncul pernyataan yang sama dalam rapat di Bappenas.  Hal ini sudah ditepis oleh Dr. Wahyudi Wardoyo dan penulis dalam rapat tersebut bahwa doktrin rimbawan atau kehutanan adalah bagaimana mepertahankan kawasan hutan yang ada dengan segala upaya karena tanpa upaya mengerem perubahan kawasan hutan, maka bencana hidrometeorologis pasti akan terjadi. Akhirnya semua peserta rapat diam dan memahami doktrin rimbawan Indonesia.

Penulis pernah menghadiri rapat pembahasan terkait RTRWP di Bappenas sekitar 6 tahun lalu, Prof Emil Salim sebagai seorang Begawan ekonomi dan juga lingkungan marah besar karena sebenarnya UU No. 27 Tahun 2009 tentang Penataan Ruang itu konsepnya dari Menteri Negara Lingkungan Hidup yang dipegangnya waktu itu. Tetapi begitu terbit subtansinya berubah total menjadi pembangunan infrastrtukur karena Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menjadi penanggungjawab RUU tata ruang secara legal dan bukan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Sebenarnya, perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat Kawasan Hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan Hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Dalam hal ini sebenarnya sektor kehutanan telah terbuka untuk melepaskan kawasan hutan untuk Pembangunan terutama sektor Perkebunan. Kontroversi kebun kelapa sawit terus terjadi, tapi berbagai publikasi internasional sudah menjelaskan bahwa penyebab utama deforestasi kawasan hutan adalah perluasan kebun kelapa sawit. Saat ini ada sekitar 3,3 juta ha kebun kelapa sawit yang berada di kawasan hutan dan perlu pemutihan (Gunawan, 2023).

Trade off antara deforestasi dan Pembangunan non kehutanan dapat dilakukan dengan beberapa langkah penting, diantaranya:

  1. KLHK perlu menetapkan satu angka deforestasi secara resmi dan terbuka setiap tahun. Angka deforestasi ini merupakan gabungan antara deforestasi tertencana dan tidak terencana, sehingga angka ini yang akan dikutip oleh para peneliti, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, insan pers, dan atau pihak-pihak lain yang membutuhkannya.
  2. KLHK harus tetap berpegang teguh terhadap doktrin rimbawan untuk tidak begitu mudah dan murah melepaskan kawasan hutan untuk berbagai pembangunan di luar bidang kehutanan begitu saja, tanpa kajian yang mendalam, kritis dan terpadu dari kajian tim terpadu.

  3. Hasil kajian tim terpadu harus menjadi pertimbangan utama oleh KLHK ketika memutuskan apakah sebuah kawasan hutan dilepaskan atau tidak dilepaskan, sehingga jika ada sesuatu yang terjadi karena pelepasan kawasan tersebut atau dilakukan, maka laporan tim terpadu dapat dijadikan barang bukti bagi pihak-pihak terlapor dalam proses hukum di pengadilan.
  4. Program pemberdayaan Masyarakat oleh KLHK yang dimanifestasikan melalui PS, TORA dan KHDPK perlu dilaksanakan secara hati-hati dan perlu dilakukan prakondisi terlebih dahulu di tingkat tapak dengan melibatkan para pengelola KPH secara aktif dari mulai tahap perencanaan, pengaturan, pelaksanaan dan pengawasan.
  5. KLHK bersama-sama dengan pengelola KPH melakukan terlebih dahulu langkah-langkah awal, yaitu (i) penguatan fungsi hutan yang akan dialokasikan untuk sebuah program, (ii) pembuatan tata batas terhadap alokasi kawasan hutan untuk program tersebut, (iii) penguatan kelembagaan untuk masyarakat calon penerima program harus dilakukan terlebih dahulu, (iv) pemberian luasan areal untuk kelompok tani disesuaikan dengan kemampuan dan kapasitas dari kelompok tani tersebut bukan dan bukan sebuah luasan yang berkontribusi terhadap besarnya target pencapaian program tersebut, (v) perlu disediakan pendampingan dari penyuluh kehutanan daerah dan penyuluh kehutanan swakarsa dan tenaga pengendali ekosistem hutan (PEH) dalam pelaksanaan program tersebut, dan (vi) pencarian pendanaan untuk keberlanjutan program tersebut sebagai bukti bahwa program ini tidak hanya sekedar bagi-bagi lahan semata, tetapi juga memikirkan kesinambungan dan keberlanjutannya.
  6. Persoalan pengembangan dan perluasan perkebunan kepala sawit (PKS) yang disebut sebagai penyebab utama deforestasi sudah banyak dipublikasikan dalam berbagai publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi tinggi, sehingga perlu dicarikan jalan keluarnya. Subarudi (2020) sudah menyarankan karena kontribusi PKS ini cukup tinggi bagi perekonomian nasional dan devisa negara, maka resolusi konflik PKS di kawasan hutan harus dilakukan dengan pendekatan persetujuan pinjam pakai kawasan hutan (P3KH) dan bukan dengan pelepasan kawasan hutan.
  7. Skema P3KH untuk PKS sangat memungkinkan karena usaha pertambangan saja yang secara jelas dan Nampak “mendegradasi” kawasan hutan diberikan peluang dan kesempatan melalui P3KH, seharusnya PKS juga dapat dilakukann karena PKS tidak “mendegradasi” kawasan hutan, tetapi malah menambah tutupan hutan secara umum.
  8. Penyelesaian konflik PKS seluas 3,3 juta ha di kawasan hutan atau dikenal sebagai program pemutihan telah juga banyak menimbulkan pro dan kontra, sehingga perlu dikaji ulang dengan pertimbangan utamanya adalah program pemutihan akan menambah angka deforestasi dan komitmen pemerintah untuk penurunan emisi sebagaimana tercantum dalam Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC).
  9. Pelepasan kawasan hutan untuk PSN masih perlu dikaji ulang oleh KLHK dengan membetuk tim pakar dengan menggunakan pisau analisis biaya dan manfaat, sehingga tidak serta merta semua program PSN yang diajukan oleh Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi diterima dan ditindaklanjuti. Hal ini untuk mencegah dan mengurangi laju deforestasi nasional di satu sisi, di sisi lain negara tidak dirugikan secara ekonomi dan finansial.
  10. Untuk kasus-kasus okupasi oleh berbagai pihak di kawasan konservasi, seharusnya tidak boleh dilakukan pemutihan, tetapi harus diproses hukum atas nama keadilan karena masyarakat yang merambah kawasan hutan konservasi hanya kurang dari 1 ha harus menjalani proses hukum dan hidup di hotel prodeo, sementara jika pengusaha dilakukan perdamaian dan hanya dikenakan denda administrasi semata.
Penutup

Polemik deforestasi akan terus terjadi di setiap kesempatan atau momen seminar, diskusi dan kampanye, jika tidak ada kesepakatan dan komitmen dari pemilik sumber daya hutan untuk menetapkan angka deforestasi tunggal. Angka deforestasi ini seyogyanya ditetapkan pada awal tahun sebagaimana penggunaan tahun anggaran dari setiap Kementerian atau Lembaga, yaitu dari mulai tanggal 1 Januari hingga 31 Desember tahun berjalan.

Sepuluh langkah penting dan utama sebagai sebuah trade off antara deforestasi dan pembangunan dapat dilakukan oleh semua pemangku kepentingan agar kelestarian sumber daya hutan dapat dicapai melalui pertimbangan tidak aspek penyusunnya, yaitu aspek sosial dan budaya, aspek ekonomi, dan aspek ekologi dan lingkungan. Hal ini mengingat hutan itu adalah karunia dari Tuhan YME sebagai warisan antar generasi dan juga berfungsi sebagai penyangga kehidupan manusia, flora dan fauna. Jangan sampai anak cucu kita hanya mengenal dan melihat melalui buku-buku Sejarah kehutanan secara virtual dan bukan secara faktual atau kondisi nyata di lapangan.

Sumber tulisan berasal dari tropis.co

Thank you for your vote!
Post rating: 4.8 from 5 (according 6 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top