Tim kami baru sampai di Desa Bobane Indah pada hari Senin setelah semalam menginap di Weda. Langit biru tidak terlihat, tapi justru berawan gelap. Ketika kami sampai di rumah satu dari kenalan kami yaitu Bung Hikmat, hujan turun, mengguyur deras. November, memang sudah masuk permulaan musim hujan. Sambil menikmati suasan hujan, kami mengobrol dan saling bercengkrama. Juga bercerita tentang pala.
Pala di Bobane Indah
Apakah kalian tahu apa itu pala? Mayoritas masyarakat mungkin mengenal pala dalam bentuk daging buah. Manisan yang dijual warna hijau, putih, merah di pinggir jalan. Atau yang suka spa dan pijat pasti tahu minyak pala, yang biasa dipakai sebagai aroma terapi. Tapi sebenarnya tidak hanya itu, pala dapat dimanfaatkan di berbagai bidang seperti industri makanan, obat-obatan, bahkan kecantikan.
Bagi masyarakat di sini sendiri, pala bisa bermanfaat dalam banyak hal. Untuk kuliah, untuk naik haji, untuk menikah, untuk belanja beras, untuk mengobati sakit batuk, bahkan untuk jajan permen di toko dekat rumah, dari pala. Kehidupan masyarakat di Bobane Indah berputar di Pala. Dari 217 kepala keluarga, 152 keluarga bertani pala (Patani Barat dalam Angka 2015). Dan seluruh keluarga yang dimaksud adalah benar-benar seluruh keluarga.
Sejak umur 3 tahun, seorang anak sudah diajak ke kebun pala untuk memanen. Dan saat anak itu sudah memasuki sekolah dasar, biasanya mereka sudah biasa ke kebun pala sendirian atau bersama teman-teman sebayanya untuk mencari uang jajan. Ya, mencari uang jajan. Karena dari hasil memunguti buah pala yang jatuh, mereka dapat menjual bijinya. Uang hasil penjualan itu menjadi miliknya sendiri. Sementara para perempuan tidak khawatir ketika ditinggal suami pergi ke kota atau tempat jauh, karena suami sudah menitipkan uang bulanan rumah tangga mereka di pohon pala. Perempuan di Bobane Indah sudah biasa ke kebun untuk memanen buah pala sendiri. Ada kesetaraan gender juga pada pohon pala.
Hari-hari kami di Bobane Indah, melihat cara pembuatan sagu roti, pembuatan tepung sagu, ibu rumah tangga yang menganyam tikar, penanaman pohon pala secara gotong royong, serta makan ikan-ikan segar yang baru saja ditangkap. Yang bau lautnya masih segar tercium, bukan amis asin ikan-ikan pasar di kota Jakarta.
Saya tidak ingin membuat pembaca bosan dengan detail bagaimana kami membuat film dan riset tentang sawit vs pala. Yang mau saya ungkapkan di sini, adalah cerita tentang pala, seluruhnya. Cerita tentang masyarakat Bobane Indah dan kaitannya dengan pala, cerita tentang sebuah peradaban yang berpondasi dari pala.
Jania Hasan, seorang ibu rumah tangga, yang dengan baik hati telah memperbolehkan rumahnya kami singgahi selama 3 malam. Pagi ini, Jania sibuk toki biji pala, atau mengupas biji pala yang sudah dikeringkan selama 3 hari. Hasil pala ini, yang hanya sekitar beberapa kilogram, akan dijual untuk membeli tiket kepulangan anaknya yang telah menyelesaikan kuliah.
Beginilah kebiasaan masyarakat di Bobane Indah, setiap ada kebutuhan yang datang, baru mereka berangkat ke kebun atau hutan untuk memanen pala. Biji-biji pala ini yang akan dijual dan kemudian uangnya dibuat memenuhi kebutuhan harian maupun keinginan. Dan kebiasaan ini tidak bisa diartikan secara negatif, karena apa pun kebutuhan dan keinginannya, masyarakat selalu bisa memenuhinya dengan menjual biji pala.
Hutan Bobane Indah
Selama ini, masyarakat selalu dapat hidup sejahtera dengan pala. Karena dengan menjaga pala, masyarakat turut menjaga hutan sebagai sumber kehidupan mereka. Secara harfiah, hutan memang sumber kehidupan masyarakat. Tidak seperti masyarakat kota yang merasa tidak perlu menjaga hutan, karena hutan begitu jauh dari jangkauan mereka, dan mereka pikir hutan tidak mempengaruhi kehidupan mereka. Makhluk urban yang egois.
Hutan menyediakan sumber air bagi masyarakat Desa Bobane Indah. Sumber air pegunungan ini digunakan masyarakat untuk minum, memasak, mencuci, dan mandi. Segala rutinitas yang membutuhkan air. Selain itu, hutan juga telah menyiapkan pohon-pohon tertentu yang ditebang masyarakat dengan sistem tebang pilih, untuk dijadikan kayu bakar ketika memasak. Kayu bakar ini membuat masyarakat tidak tergantung dengan gas pasokan dari pemerintah yang butuh waktu lama untuk mencapai desa mereka. Gas memang dipakai, tapi tanpa gas pun, masyarakat masih bisa memasak. Tidak seperti warga kota, yang membutuhkan gas untuk memasak.