Dimana Letak REDD ?

Oleh: Hariadi Kartodihardjo

Kebijakan dan kegiatan pengelolaan hutan di Indonesia dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh hasil-hasil pertemuan internasional atau ide dari lembaga-lembaga donor, misalnya dikembangkannya sertifikasi hutan, perhutanan sosial, program kehutanan multipihak, konservasi hutan yang bernilai tinggi, pemberantasan illegal logging, sertifikasi legalitas kayu, serta pengurangan emisi gas rumah kaca dari pengurangan kegiatan deforestasi dan degradasi hutan REDD).

Berbagai inisiatif tersebut seolah-olah telah menjadi arus utama pembangunan kehutanan selama ini. Ide-ide pembaruan lainnya, terutama yang digagas oleh pemerintah dan konstituen lokalnya, tidak pernah menjadi percaturan pembicaraan kehutanan secara nasional, misalnya pengembangan silvikultur intensif, hutan tanaman untuk rakyat, maupun pembangunan organisasi pengelolaan hutan (KPH) di tingkat tapak/lapangan. Termasuk gagasan mengenai penyelesaian masalah-masalah hak dan akses atas kawasan hutan negara, tidak pernah menjadi prioritas nyata dalam pembangunan kehutanan.

Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa “fakta kehutanan” yang sama, difahami dengan cara yang berbeda-beda dan kemudian dicari masalah dan ditetapkan cara menyelesaikan masalahnya. Maka, setiap orang atau lembaga memberi gagasan yang berbeda-beda atas masalah yang berbeda-beda pula. Kemudian mereka mengusung gagasannya itu melalui berbagai jaringan internasional dan nasional untuk mendapat legitimasi. Dengan lambatnya penyelesaian persoalanpersoalan kehutanan –yang ditunjukkan oleh rendahnya pelaksanaan ide-ide di atas hingga saat ini– kemungkinan yang terjadi bahwa program yang sudah tepat tidak mendapat sumberdaya cukup untuk dijalankan dan dikembangkan, sedangkan program yang tidak tepat mendapat dukungan secara memadai. Alasan lainnya, seluruh program di atas berupa potongan tertentu, sedangkan potongan lainnya tidak mendapat sentuhan apa-apa. Misalnya, setelah unit usaha kehutanan disertifikasi, tidak juga ada program untuk memperbaiki kinerjanya, ketika diketahui perolehan nilainya buruk.

Berdasarkan kenyataan seperti itu, memahami fakta kehutanan tidaklah semudah seperti yang diucapkan oleh banyak orang: baik para birokrat, pelaku ekonomi kehutanan, juga para akademisi dan LSM, termasuk ahli-ahli asing yang banyak berdatangan ke Indonesia. Pada umumnya kehutanan dibaca secara parsial, kemudian dari situ dikenali sebab akibat yang kemudian menjadi dasar asumsi mengenai kehutanan, ditelusuri masalah yang kemungkinan itu hanya sebagai anggapan tentang masalah atau bukan masalah yang sebenarnya, kemudian ditentukan program dan kegiatan untuk menyelesaikan “masalah” itu. Seperti menjawab pertanyaan yang keliru. Bukankah REDD terjebak dalam situasi seperti itu?

ooo

Apabila REDD diletakkan dalam sistem pengelolaan hutan nasional, nampak REDD bukanlah program yang memberikan solusi secara langsung atas persoalan kehutanan. REDD yang diletakkan pemerintah dalam kerangka ijin, sebagaimana pelaksanaan bentuk ijin-ijin lainnya, terbentur oleh mahalnya transaksi untuk mendapat ijin dan pelaksanaan ijin, kemungkinan konflik lahan, serta hambatan hubungan dengan masyarakat yang harus dilakukannya. Apabila REDD berbentuk ijin bagi masyarakat lokal –dengan bercermin pada pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Industri, dan Hutan Desa– pada umumnya Pemerintah mendukung secara politik, tetapi kebanyakan Pemerintah Daerah berbuat sebaliknya, serta tidak mendapat sumberdaya cukup dalam implementasinya. Oleh karena itu, dalam konteks sistem pengelolaan hutan nasional bukan REDD yang harus diperdebatkan, namun berbagai syarat agar REDD dapat berjalan yang perlu dicari solusinya.

Bukankah REDD dapat mendatangkan dana dari luar dana pemerintah yang semakin langka? Persoalan dana inipun bukan menjadi yang terpenting, ketika diketahui bahwa –sebagai analogi– dana untuk rehabilitasi hutan yang telah digunakan trilyunan rupiah, juga tidak banyak membawa hasil. Terkait dengan persoalan ini, semestinya dana pemerintah bukan untuk melaksanakan rehabilitasi, tetapi untuk memecahkan persoalan rehabilitasi. Sebagaimana kesiapan (readiness) pelaksanaan REDD oleh pemerintah tentu bukan sekedar dokumen, melainkan segenap rencana dan pengorganisasiannya. Apabila organisasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah status quo, padahal tantangan penyelesaian masalahnya berbeda, dapat diduga kepentingan ini lebih banyak menjadi perhatian secara administratif, bukan berbasis perbaikan kinerja di lapangan.

Namun demikian, apabila REDD diletakkan sebagai bagian dari kasus penyelesaian masalah, dapat diharapkan mempunyai daya guna, sepanjang penanganan kasus tersebut sejalan dengan persoalan-persoalan di lapangan yang sedang dihadapi. Kebijakan dan berbagai kegiatan taktis di lapangan, meskipun dapat tidak didukung sepenuhnya oleh peraturanperundangan, seringkali justru menjadi harapan banyak pihak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kenyataan demikian itu banyak dijumpai, sebagai akibat penetapan peraturan-perundangan itu sendiri yang sangat parsial dan lebih memenuhi proses administrasi kewenangan pemerintahan daripada memberi jalan berusaha bagi masyarakat. Hal demikian itu biasa disebut sebagai “logis tidak terpakai”, yakni pendekatan deduksi yang tidak pernah diuji kebenarannya dan dianggap sebagai pendekatan sahih, akibat hubungan-hubungan struktural dalam memproduksinya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang cenderung tunduk pada suara yang lebih keras atau pada kekuasaan yang lebih tinggi daripada tunduk pada akal sehat.

ooo

Berangkat dari berbagai ide pembaruan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan kehutanan di lapangan, termasuk REDD, nampak berakhir pada suatu solusi bahwa ide itu tidak dapat memenuhi harapan untuk memperbaiki sistem kehutanan secara mendasar. Ia akan berguna pada konteks dan situasi tertentu, sebagaimana pelaksanaan sertifikasi unit usaha kehutanan, pemberantasan illegal logging dan lain-lain speerti disebutkan di atas. Pelaksanaan sertifikasi mau-tidak mau mengukuhkan sistem kehutanan yang sedang berjalan beserta ketidak-adilannya, namun dalam konteks tertentu –seperti yang telah dilakukan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia– dapat diarahkan sebagai dasar pengukuhan keberadaan hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Juga demikian halnya, bahwa pemberantasan illegal logging tidak seluruhnya menghukum kejahatan kehutanan jika kebijakan itu berakhir dengan menghukum sekelompok orang yang tinggal di hutan yang by design tidak pernah diberi kesempatan ikut memanfaatkan sumberdaya hutan. Hal-hal seperti itu membawa implikasi baik bagi pelaksanaan politik kehutanan, perdebatan akademis pelestarian hutan maupun advokasi kebijakan kehutanan.

Bagi politik kehutanan perlu diarahkan untuk terus-menerus memperbaiki kebijakan kehutanan secara fundamental, baik menyangkut kepastian kawasan hutan maupun tata kepemerintahan kehutanan. Kedua agenda itu disamping terkait wujud keadilan manfaat sumberdaya hutan juga efisiensi penyelenggaraannya, dan dapat digunakan untuk menapis hal-hal baru seperti REDD. Bagi perdebatan akademis pelestarian hutan, menunjukkan bahwa aliran klasik pelestarian hutan yang cukup dilakukan dengan mengatur jumlah hasil hutan yang dipanen sesuai dengan kemampuan hutan untuk tumbuh, secara empiris tidak lagi memenuhi harapan. Kata “lestari” tidak lagi dapat diletakkan dalam lingkaran sistem biologi di dalam hutan karena sistem sosial ekonomi-politik secara nyata telah mengambil peran. Oleh karenanya, perlu ada perubahan cara memandang hutan dari apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Bagi advokasi kebijakan kehutanan perlu dipelajari kerangka pikir (policy narrative) yang dewasa ini berkembang dalam pembuatan kebijakan, yang pada umumnya telah cukup basi untuk tetap dipergunakan. Para pembaharu kebijakan ditantang untuk dapat menyajikan argumen mengapa tidak lagi dapat melihat kehutanan dengan cara pandang lama; mengapa bergayut pada peraturan perundangan yang ada saat ini semata, semakin jauh dari realitas yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Berbagai pengaruh pembaryan kebijakan kehutanan akan terus mengalir dari waktu ke waktu. Diharapkan di masa depan, pembaharu kebijakan kehutanan bukanlah gerakan glamour di permukaan yang hanya menampilkan representasi kepentingan tanpa ada substansi mendasar yang diperjuangkannya. Para pemangku kepentingan kehutanan ditantang untuk dapat melihat kenyataan di lapangan dengan berbagai sudut pandang secara memadai dengan kerangka pikir baru dan mencari solusinya. Kerusakan dan ketidak-adilan kehutanan mungkin hanyalah simbol belaka dari kerusakan dan ketidak-adilan yang sebenarnya di dalam akal pikir kita.

Penulis adalah Pengajar di Fakultas Kehutanan IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB dan UI dan Anggota Forest Watch Indonesia

Thank you for your vote!
Post rating: -3.3 from 5 (according 2 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top