Tidak pernah surut
Berdasarkan kajian tim Forest Watch Indonesia (FWI) di lapangan, mata air desa Lorang keluar dari celah batuan karst1 yang berdiameter sekitar 40 cm. Aliran air tersebut memiliki debit 1,33 liter/detik. Secara matematis, nilai debit tersebut sangat mencukupi kebutuhan sehari-hari masyarakat Lorang yang berjumlah 58 kk. Menurut penuturan masyarakat, mata air tersebut tidak pernah surut meski saat musim kemarau. Pada saat sumur warga dan beberapa mata air di desa lain kering, mata air lorang tetap mengeluarkan airnya lalu mengalir dengan tenang tanpa terusik musim.
Geomorfologi Desa Lorang berupa bentang karst sehingga membuat desa Lorang memiliki simpanan air yang cukup. Bentang karst ini masih didukung dengan kondisi hutan alamnya yang lebat. Selain itu, di pesisirnya dikelilingi oleh hutan mangrove yang lebat, mencapai 20-100 m dari garis pantai.
Karst dikenal baik sebagai resevoir (penyimpan) air skala besar ‘raksasa’ yang dapat menyimpan dan mengalirkan air. Air hujan yang jatuh akan terserap lalu tersimpan pada bagian epikarst (permukaan karst), termasuk hutan yang berada di atas permukaan kars. Menurut Klimchouk (1997)1 epikarst adalah bagian permukaan karst yang memiliki permeabilitas2 dan porositas3 akibat pelebaran celah dari hasil pelarutan batuan penyusunnya dibandingkan lapisan lainnya.
Air yang tersimpan di permukaan akan meresap perlahan (aliran diffuse) hingga masuk ke sungai bawah tanah, lalu dialirkan dan keluar menjadi mata air (springs). Adji (2013)4 menyatakan bahwa aliran diffuse inilah yang menjadi satu-satunya sumber imbuhan saat kemarau karena air hujan yang terinfiltrasi bergerak secara perlahan. Ini salah satu keunggulan mata air karst, yaitu adanya waktu tunda yang panjang antara air hujan yang terinfiltrasi hingga air tersebut keluar menjadi mata air permukaan, sehingga beberapa mata air karst tetap memiliki debit yang besar saat musim kermarau (Haryono 2001)5. Selama hutan di atas epikarst dan karstnya terjaga dengan baik maka mata air tetap lestari.