Memutus Asimetris Informasi Sebagai Upaya Menyelamatkan Hutan Alam Tersisa di Provinsi Papua Barat
Keadaan Hutan Bioregion Papua
Bioregion Papua merupakan garis imaginasi biogeografi untuk wilayah timur Indonesia yang berada pada paparan sahul (sahul land). Bioregion Papua menjadi habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna khas, bahkan keberadaan mamalia berkantung seperti kanguru dan beberapa jenis burung khas Australia, mencerminkan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hal tersebut tentu tidak lepas dari keberadaan hutan alam yang masih menyediakan tempat hidup, bereproduksi, dan mencari makan. Hutan Alam juga sangat erta kaitannya dengan kehidupan manusianya.
Dalam buku yang diluncurkan FWI pada tahun 2019, bertajuk Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya, mencatat Keadaan hutan di Bioregion Papua pada tahun 2000, 2009, 2013, dan 2018. Pada tahun 2018, hutan alam di Bioregion Papua seluas 35,5 juta hektar atau sekitar 81% dari total luas daratan. Luas tersebut lebih kurang 40% sisa hutan alam Indonesia. Begitu pentingnya Bioregion Papua sebagai benteng terakhir hutan alam Indonesia bahkan dunia.
Secara periodik FWI juga menghimpun data deforestasi di Bioregion Papua yang dianalisa dari data tutupan hutan pada tahun 2000, 2009, 2013, dan 2018. Laju deforestasi pada periode waktu tahun 2000-2009 di wilayah Bioregion Papua seluas 64 ribu hektar/tahun. Laju tersebut meningkat hampir dua kali lipat pada periode tahun 2009-2013 menjadi 178 ribu hektar/tahun, dan kembali meningkat pada periode tahun 2013-2018 menjadi 184 ribu hektar/tahun. Praktis dengan laju deforestasi yang terus meningkat di setiap periode tahunnya, pada tahun 2000-2018 wilayah Bioregion Papua telah kehilangan hutan alam seluas 2,2 juta hektar atau sekitar 122 ribu hektar/tahun. Melihat kecenderungan peningkatan laju deforestasi yang ada, laju deforestasi di Bioregion Papua bisa dikategorikan ke dalam laju deforestasi sedang dan akan terus meningkat sampai pada titik tertentu. Seperti halnya hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan pada masa-masa sebelumnya.
FWI maleporkan kecendrungan pengrusakan hutan alam di Indonesia terus bergerak ke wilayah timur. Hal tersebut diakibatkan telah habisnya kawasan-kawasan potensial di Indonesia di bagian barat dan tengah. Pergerakan kerusakan hutan di Indonesia yang bergeser cepat ke arah timur menandakan penguasaan hutan dan lahan secara massif untuk kepentingan koorporasi. Hal ini justru malah berdampak buruk terhadap eksistensi masyarakat yang selama ini berada dan memanfaatkan hutan sesuai dengan kearifan nya, serta kehidupan flora dan fauna di Bioregion Papua.
Transparansi Sebagai Prinsip Perbaikan Tata Kelola Sumber Daya Alam
FWI meyakini bahwa tata kelola sumber daya alam yang baik membutuhkan sumber daya informasi yang baik pula. Transparansi merupakan prasyarat – prakondisi agar tersedianya informasi yang berkualitas sehingga memungkinkan adanya kerja-kerja partisipasi, koordinasi, akuntabilitas, dan penegakan hukum sebagai alat control terhadap kualitas kinerja dalam tata kelola. Tanpa adanya transparansi maka menggiring pada sebuah kondisi dimana adanya ketimpangan penguasaan informasi dan pengetahuan antara kelompok tertentu misal pembuat kebijakan dengan kelompok lain sebagai kelompok terdampak. Keadaan tersebut sering dikenal sebagai istilah asimetris informasi.
Asimetris Informasi akan menggiring pada sebuah kondisi pengelolaan sumber daya alam yang carut marut. Aktor, regulasi, dan praktek pengelolaan sumber daya alam yang bisa dikategorikan sebagai komponen perubahan terhadap pengelolaan sumber daya alam sedang menunjukan pada kualitas yang buruk. Kondisi yang tertutup memungkinkan tidak adanya ruang bagi publik untuk berperan aktif memberikan preferensi dan aspirasi terhadap sebuah tindakan pengelolaan. Sehingga dampak-dampak dari asimetris informasi dapat menggiring pada situasi pengelolaan sumber daya alam yang penuh ketidakpastian, konflik tenurial, praktek illegal logging yang marak, ketidakpatuhan pemanfaatan hutan dan lahan terhadap hukum, dan menyebabkan kerugian negara. Sebaliknya, transparansi akan menggiring penguatan di level kompenen perubahan untuk menciptakan sebuah kondisi atau harapan akan adanya kepastian tenurial, manajemen hutan yang sesuai, penatagunaan lahan yang tepat, serta meningkatnya pendapatan negara dari sektor sumber daya alam. Maka dari itu, transparansi sebagai jalan utama untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan lestari.
Kami memotret beberapa kejanggalan dalam pengelolaan sumber daya alam yang tertutup[1]:
Pertama, statistik resmi mengenai produksi kayu dan konversi hutan tidak mencatat seluruh kayu yang sebenarnya ditebang. Menurut statistik resmi, produksi kayu komersial dari hutan alam di Indonesia selama tahun 2003–2014 secara keseluruhan mencapai 143,7 juta m3 . Sementara hasil kajian KPK (2015) menunjukkan bahwa total produksi kayu yang sebenarnya selama tahun 2003–2014 mencapai 630,1 sampai 772,8 juta m3. Angka tersebut mengindikasikan bahwa statistik dari KLHK hanya mencatat 19–23% dari total produksi kayu selama periode tersebut. Dampaknya, nilai komersial domestik untuk produksi kayu yang tidak tercatat selama periode tersebut, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp.598,0– 799,3 trilyun, atau Rp. 49,8– 66,6 trilyun per tahun.
Kedua, dari waktu ke waktu industri tambang di Indonesia tumbuh subur dan berkembang, baik pada skala luasan konsesi tambang yang diserahkan kepada perusahaan maupun laju produksi bahan mentah tambang. Bila melihat izin yang telah diberikan pada perusahaan tambang, hingga April 2014 dari ratusan izin yang ada di seluruh Indonesia kini mencapai 7.468 IUP dengan luas 34,72 juta hektare. Dari luas areal tambang tersebut, 25,98 juta hektare diantaranya berada di kawasan hutan. Bahkan data terbaru menyebutkan, hingga Agustus 2015 terjadi lonjakan signifikan izin usaha pertambangan (IUP). Dalam periode ini izin tambang mencapai 10.827 IUP, dan 57,85 persen diantaranya tidak masuk dalam kriteria clean and clear. Hal ini lagi-lagi mengindikasikan adanya kerugian negara yang tidak sedikit.
Ketiga, perluasan perkebunan sawit juga turut mendorong kerusakan hutan. Sepanjang tahun 2010-2013, setidaknya telah terjadi pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sekitar 579 ribu hektare, dan paling luas terjadi di Kalimantan mencapai 195 ribu hektare. Menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat (2015), potensi kerugian negara sektor perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat saja diperkirakan sebesar 4,1 Triliun Rupiah. Kerugian tersebut disebabkan oleh praktek-praktek gelap yang dilakukan dalam pemberian izin di sektor perkebunan.
Keempat, laju kerusakan SDA yang tinggi membawa dampak kerugian yang besar, baik bagi masyarakat adat, masyarakat tempatan, maupun bagi flora-fauna. Kerusakan aset ekonomi masyarakat seringkali beriringan dengan terjadinya konflik sosial dan tenurial. Tingginya kasus konflik SDA ditengarai karena semakin meningkatnya jumlah pemegang izin pengelolaan berskala luas pada suatu kawasan yang menyebabkan tertutupnya akses masyarakat terhadap hutan. Target penguasaan lahan oleh perusahaan- perusahaan ekstraktif berskala besar hampir selalu menghalalkan segala cara, termasuk dengan penyuapan dan korupsi, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah dengan melalui praktik pecah-belah di kelompok-kelompok masyarakat.
Improvement Implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi merupakan bagian dari jaminan terhadap setiap warga negara untuk mengetahui terhadap apa-apa yang berdampak pada kehidupan dan nasib masyarakat. Serta mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan yang dapat memengaruhi hajat hidup orang banyak. Pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Nomor 14 Tahun 2008, mainstreaming Keterbukaan Informasi Publik bertujuan untuk:
- menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
- mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
- meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
- mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
- mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
- mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
- meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Beberapa hal menjadi sorotan FWI dalam mengawali pengarusutamaan keterbukaan informasi publik di Papua dengan menggunakan 5 indikator, sebagai berikut;
-
- Mengumumkan Informasi Publik sesuai dengan Pasal 9 UU KIP, Pasal 11 Perki SLIP;
- Menyediakan Informasi Publik sesuai dengan Pasal 11, 14, dan 15 UU KIP, Pasal 13 Perki SLIP;
- Pelayanan Permohonan Informasi Publik sesuai dengan Pasal 7 dan 12 UU KIP, Pasal 4, 8 dan 9 Perki SLIP;
- Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi sesuai dengan Pasal 13 UU KIP, Pasal Perki SLIP ;
- Komitmen, Koordinasi dan Inovasi Badan Publik sesuai SK Komisi Informasi Pusat No. 3 Tahun 2018.
FWI mengawali dengan melakukan pendekatan dan pendampingan pada salah satu OPD di Provinsi Papua Barat, yakni OPD Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tambrauw. Papua Barat dipilih karena memiliki Indeks Keterbukaan Informasi Publik terendah se-Indonesia, dan Kabupaten Tambrauw dipilih karena merupakan kabupaten yang baru dimekarkan sesuai dengan mandat UU No. 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat, yang pada tahun 2022 baru melakukan pemindahan Ibu Kota Kabupaten dari Sausapor ke Fef. Berikut tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penentuan isu untuk meningkatkan performa Keterbukaan Informasi Publik, antara lain:
- Diskusi dan wawancara mengenai 5 indikator Keterbukaan Informasi Publik. Dilakukan sebanyak 2 seri dan dilakukan secara jarak jauh/daring. Diskusi ini merumuskan kebutuhan OPD DLH Kabupaten Tambrauw pada substansi yang menjadi mandat UU KIP.
- Penilaian mandiri terhadap kinerja KIP oleh OPD DLH Kabupaten Tambrauw.
FWI dan OPD DLH Kabupaten Tambrauw, kemudian menindaklanjuti dengan menyepakati melakukan improvement melalui asistensi, fasilitasi, dan pelatihan pengarusutamaan keterbukaan informasi publik. Berikut beberapa hal yang telah diselesaikan bersama:
- Periode 9-20 Agustus 2020
- Brainstorming Tugas & Fungsi DLH (penjelasan Renstra 2023-2027)
- Brainstorming urgensi KIP di DLH & OPD lainnya (Dinas PMPTSP)
- Identifikasi Daftar Informasi Publik (DIP)
- Pembuatan Medsos sebagai kanal informasi badan publik (FB & IG)
- Periode 9-18 September 2022
- Menyepakati DIP dan Manajemen File
- Memahami Peta Aktor Pengampu Dokumen
- Menyepakati Alur Pelayanan Informasi
- Menunjuk Admin PPID
- Menghubungkan DLH Tambrauw dengan Kominfo Provinsi sebagai hubungan/jalur koordinasi dan advice
- Periode 14-16 September 2022: Pendekatan Pemerintah Provinsi Papua Barat (OPD Dinas Kominfo Persandian dan Statistik)
- Koordinasi dengan Kominfo Provinsi untuk mendorong KIP di semua dinas. Termasuk PPID di semua kabupaten dan tingkat provinsi, dan website PPID.
- Meminta arahan Kominfo Provinsi untuk memperkuat KIP di Tambrauw.
- Menginisiasi Pengarusutamaan KIP di Papua Barat dan Tambrauw.
FWI sebagai organisasi masyarakat sipil berkomitmen untuk terus mendorong implementasi Keterbukaan Informasi Publik di Pemerintahan Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Kepulauan Aru sebagai bagian dari upaya penyelamatan hutan alam dan manusianya di Bioregion Papua.
[1] Policy Brief. Inisiasi Keterbukaan Informasi SDA di Sektor Kehutanan : Pentingnya Peran Kementerian / Lembaga Lintas Sektor. Pokja Tata Kelola Hutan. 2015.