“Ada jutaan hektar lahan kawasan hutan yang saat ini sudah diambil kayunya, tetapi tak segera dibuat lahan perkebunan. Jika tidak juga digarap, izinnya akan saya cabut,” kata MS. Kaban dalam keterangannya pada Harian Kompas (23/02/2005). Sementara Gubernur H. Suwarna AF, di Kalimantan Timur, menyebutkan bahwa ada +146 perusahaan dengan luas 2,5 juta hektar areal hutan, berpura-pura membangun perkebunan kelapa sawit, setelah menebang habis pohon kayunya tidak menanam pohon kelapa sawit, (KalTimPost Hotline, September 2004).
Berdalih Sawit, Memasok Kayu
Era Otonomi Daerah pada awal tahun 1999, pembalakan kayu yang berdalih pembangunan perkebunan kelapa sawit, dilakukan. Era OTDA, adalah salah satu arena baru sosial politik pejabat Negara untuk menunjukkan proses pertumbuhan pembangunan di daerahnya. Salah satu alternatif pertumbuhan ekonomi adalah pendapatan dari sektor Nonmigas (kayu dan kelapa sawit).
Mendengar rencana besar Gubernur H. Suwarna, AF untuk menggenjot perkebunan Kelapa Sawit 1 juta hektar, pemerintah kota dan kabupaten di Kaltim menyambut dengan antusias. Dalam waktu singkat, 186 izin usaha perkebunan sawit dikeluarkan pada areal seluas 2,6 juta hektar atau tiga kali lipat dari luas areal yang direncanakan, yang sebelumnya hanya 800.000 hektar, dimana perkebunan kelapa sawit sudah produksi seluas + 200.000. hektar.
Namun, setelah izin dikeluarkan, ternyata sebagian besar dari perusahaan tersebut hanya menjadikan perkebunan Sawit sebagai dalih untuk mengincar kayu. Setelah izin dikantongi dan kayu hutan dibabat habis, investasi di sektor perkebunan sawit tak kunjung dilakukan.
Kini perusahaan yang mengantongi izin tinggal 166 perusahaan. Namun, dari perusahaan sebanyak itu pun hanya 33 perusahaan yang masih aktif sehingga diberikan hak guna usaha (HGU). Dilihat dari aktivitasnya, hanya empat perusahaan yang masuk kategori “baik” dan “baik sekali”, delapan perusahaan masuk kategori “sedang”, 15 perusahaan masuk kategori “kurang”, dan enam perusahaan masuk kategori “kurang sekali” dalam arti belum melakukan aktivitas apa pun selain membabat hutan.
Jika diperhitungkan secara keseluruhan, perusahaan yang berpura-pura membuka berbagai jenis usaha perkebunan namun setelah membabat hutan tak kunjung melakukan investasi, di Kaltim jumlahnya lebih besar lagi. Areal hutan yang dibabat sekitar 2,5 juta hektar, yang dikelola 146 perusahaan perkebunan yang tersebar di Kabupaten Kutai Timur, Kutai Barat, Bulungan, Kutai Kartanegara, Nunukan, Berau, dan beberapa kabupaten lainnya.
Berdasarkan Laporan Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, dalam kurun waktu 2001 – 2003, kerusakan hutan mencapai lebih dari 3 juta hektar disebabkan kebakaran hutan, illegal logging, perambahan hutan dan pengusaha industri kehutanan yang tidak mengikuti azas kelestarian hutan. Sementara, menurut data yang dihimpun oleh Padi Indonesia, ada sekitar 82 perusahaan perkebunan Kelapa Sawit yang mendapatkan konsesi lahan melalui IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) perkebunan dengan luas lahan 1.148.585 hektar, tidak diketahui nasibnya atas ijin pengelolaan perkebunan kelapa sawit, tetapi luas lahan tersebut hanya diambil kayunya untuk dipasok ke industri-industri kayu seperti: plywood, papan partikel, bubur kertas dan lainnya di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Malaysia Timur, Sumatera dan Pulau Jawa dalam bentuk log dan kayu setengah jadi. Artinya, kerusakan hutan disumbang oleh pelaku industri kehutanan yang memiliki konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan kelapa sawit, IPK untuk perkebunan kelapa sawit. Perusahaan-perusahaan besar industri kehutanan di Kalimantan Timur juga diindikasikan kuat menampung kayu-kayu hasil tebangan IPK, seperti: PT. Sumalindo Group, PT. Kiani Kertas, PT. Intaca Tarakan, PT. Surya Dumai Group (PT. SDG) 1* (1*PT. SDG, Divisi East Kalimantan, memiliki anak perusahaan sebanyak 33 perusahaan, mendapatkan konsesi IPK mulai dari 7.000 sampai 20.000 hektar. Dari sekian jumlah perusahaan, hanya 2% saja lahan yang ditanaminya, lainnya hanya mengambil kayunya saja. Selain industri kehutanan di Kalimantan Timur, industri kehutanan di Malaysia Timur (Sabah) menampung kayu-kayu hasil pembalakan secara intensif. Menurut hasil laporan investigasi Padi Indonesia, Telapak dan EIA, ditemukan kayu-kayu ilegal dari Kalimantan Timur yang di perdagangkan di wilayah Malaysia Timur (Sabah, Tawao, Sandakan, Labuan), baik berupa kayu log maupun kayu bantalan (Balok bermacam ukuran), dari kayu tropis Kalimantan Timur sampai Kayu Ebony (SulTeng) dan Merbau dari Papua.
Praktik-praktik perdagangan kayu berdalih perkebunan Kelapa Sawit, perjanjian perdagangan lintas negara, melibatkan unsur-unsur birokrasi, aparat penegak hukum di daerah-daerah dan ibukota negara. Beberapa pertanyaan yang berkembang atas proses perdagangan kayu ini adalah:
- Bagaimana para pengusaha mendapatkan ijin konsesi areal hutan atas dalih perkebunan menjadi perdagangan kayu?
- Bagaimana para pengusaha mendapatkan surat dan adminsitrasi perjalanan kayu hasil tebangan(ekspor log)?
- Bagaimana para pengusaha melakukan pencucian kayu ilegal menjadi legal?
- Bagaimana negosiasi antara pemasok dan pembeli atas perdagangan kayu ilegal yang dilegalkan ini?
- Bagaimana situasi sosial politik aparat birokrasi, legislatif, aparat penegak hukum membantu perdagangan kayu ilegal yang dilegalkan?
- Apa dampak yang diterima masyarakat lokal dan situasi hutan tropis Kalimantan masa depan?
Dari data hasil monitoring Padi Indonesia, yang dikumpulkan berbagai kasus illegal logging, jenis kayu log dan bantalan ke Sabah – Tawau Malaysia tahun 2000, jenis kayu bulat sebesar 673.020 meter kubik, jenis kayu bantalan (gergajian) sebesar 17.896 meter kubik. Pada tahun 2001, jenis kayu bulat sebesar 3.190,65 meter kubik, kayu gergajian sebesar 3.390,44 meter kubik. Terjadi penurunan pasokan kayu dari tahun 2000 ke tahun 2001. Besarnya pasokan kayu tahun 2000, dibarengi dengan dimulainya proses pemberian IPK, IPPK (Ijin Pemungutan Pemanfaatan Kayu), IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu = maksimal 50.000 hektar) kepada perusahaan-perusahaan perkebunan Kelapa Sawit, perusahaan HPH yang memperpanjang waktu penebangan dengan membuat perusahaan baru di wilayah Nunukan, Malinau, Bulungan dan Berau.
Sedangkan selama tahun 2000 – 2001, terdapat sebanyak dua puluh sembilan perusahaan dan perorangan terlibat penggelapan kayu ke Malaysia. Dari kedua puluh sembilan pemilik tersebut, semua kayu berasal dari hasil land clearing perkebunan Kelapa Sawit. Bukan itu saja, kayu log sebesar 120.940,79 meter kubik dan bantalan sebesar 16.927 meter kubik, hasil tebangan (land clearing) diselundupkan ke Malaysia melalui perairan laut Kaltim, pelabuhan Tawau, Labuan, Sandakan sampai ke RRC dan Singapura, berasal dari wilayah Kabupaten Berau, Bulungan, Malinau, dan Nunukan.
Walaupun demikian, upaya pemerintah kabupaten untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan investasi untuk kebutuhan pasokan bahan baku kayu terus meningkat di Kalimantan Timur. Hal ini ditandai oleh adanya kerjasama 3 Kepala Daerah Kabupaten (Nunukan, Malinau dan Bulungan) untuk membangun perkebunan Kelapa Sawit 1 juta hektar dengan pihak investor Malaysia. Salah satu investor Malaysia yang sudah mendapat konsesi lahan seluas 30.000 hektar tahap pertama adalah PT. Sabah Forest Industri (PT.SFI) yang akan membangun perkebunan Kelapa Sawit Kabupaten Malinau. Konsesi HGU PT. SFI berada di sekitar kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang, yang juga mendorong isu investor Malaysia mendorong percepatan pembangunan jalan di perbatasan Indonesia – Malaysia di wilayah Kabupaten Nunukan dan Malinau dengan panjang jalan 100 km, lebar 3 km. Jumlah ini mencapai 300.000 hektar areal hutan alam produksi untuk bangun jalan dan perkebunan Kelapa Sawit. Selain itu, sudah ada 5 perusahaan Malaysia yang akan memegang konsesi areal hutan untuk Kelapa Sawit di 3 kabupaten tersebut.
…selama tahun 2000 – 2001, terdapat sebanyak dua puluh sembilan perusahaan dan perorangan terlibat pengelapan kayu ke malaysia. Dari kedua puluh sembilan pemilik tersebut, semuanya kayu-kayu berasal dari hasil land clearing perkebunan kelapa sawit. …
Masyarakat Lokal, Sudah Jatuh – Tertimpa Tangga
Kondisi masyarakat lokal di Kalimantan Timur, sejak awal tahun 1967 sampai 1990-an, dituding sebagai perambah hutan dan perusak hutan. Padahal, masyarakat memiliki hak-hak atas pengelolaan sumberdaya alam hutan yang cukup jelas dari sejarah dan teritorialnya. Tetapi itu semua dirampas oleh negara dan diberikan kepada pemegang HPH. Di era otonomi daerah (Otda) hak-hak masyarakat dirampas pula, melalui penguasaan lahan hutan melalui IPK, IPPK sekala kecil oleh para cukong kota yang merupakan kepanjangan tangan industri kehutanan di Kalimantan Timur. Situasi masyarakat secara tegas telah dimiskinkan secara periode atas legalisasi negara dalam pengelolaan hutan.
Situasi yang berkembang saat ini dampak dari kegiatan pembalakan ilegal yang dilegalkan oleh sistem birokrasi pemerintahan daerah dan pusat adalah bahwa kegiatan pembalakan hutan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Artinya masyarakat melakukan penebangan-penebangan hutan secara membabi buta di hutan-hutan. Situasi ini juga dipertegas dengan banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai penebang kayu dan tertangkap oleh aparat penegak hukum di lokasi penebangan atau sedang melakukan kegiatan angkutan. Padahal, kondisi tersebut adalah bagian dari dampak kegiatan pembalakan hutan ilegal yang dilegalkan, yang didorong oleh para pembeli kayu, baik pembeli besar maupun pembeli lokal (kecil-kecilan).
Situasi terburuknya, kondisi masyarakat yang telah diabaikan dari hak-haknya atas pengelolaan hutan yang dilakukan sejak turun temurun, menjadi kambing hitam secara berkelanjutan atas kerusakan hutan tropis di Kalimantan Timur. Sementara, cukong, pembeli kayu (yang beralaskan pemilik industri kayu, atau pemasok kayu) dengan tenangnya tidak tersentuh hukum. Walaupun pemerintahan SBY telah melakukan upaya gebrakan 100 hari dengan Operasi Hutan Lestari di Kalimantan Timur, tetapi tidak banyak membuahkan hasil penyelesaian kasus-kasus pembalakan ilegal. Operasi ini hanya dapat memberikan informasi kepada publik melalui media massa (koran lokal) bahwa sekian banyak kayu tertangkap dan sekian banyak cukong tertangkap. Tetapi tidak ada upaya penyelesaian secara jelas.
(Koesnadi Wirasaputra)
Bekerja pada Biro Litbang dan Kerjasama Regional Padi
Indonesia di Kalimantan Timur
Intip Hutan, Februari 2005