Hingga tahun 2013, Pulau Papua masih memiliki hutan seluas 29,4 juta hektar atau 35% dari total 82 juta ha luas hutan alam di Indonesia (FWI 2014). Gencarnya rencana pemerintah dalam pembangunan infrastruktur di Papua berimplikasi dengan semakin tingginya peluang terjadinya deforestasi di pulau tersebut. Menyadari hal ini, FWI bersama Jaringan Pemantau Independen Kehutan (JPIK) dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bekerja sama dengan NGO lokal Papua Belantara, mengadakan acara pelatihan pemantauan hutan Papua. Acara yang mengundang kader muda Masyarakat Adat Papua, memberikan pelatihan agar masyarakat dapat menjadi Pemantau Hutan.
Pelatihan yang berlangsung dari tanggal 2-4 Februari 2016, diikuti oleh masyarakat adat dari Kota Sorong, Sorong Selatan, Kabupaten Sorong, Maybrat, Tambrauw dan Raja Ampat. Acara pelatihan yang diisi oleh FWI, JPIK, dan JKPP memberikan materi mengenai Keterbukaan Informasi, Pemetaan Partisipatif, dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Menurut Soelton Nanggara, Wakil Direktur FWI, “Papua masih memiliki sumber daya alam yg besar, pasti incaran dari perusahaan dan investor besar sekali, karena potensinya sangat besar.”
Para pemantau hutan yang telah menyelesaikan pelatihan diharapkan dapat mempraktikan hasilnya untuk terus menjaga hutan alam di Papua. Deforestasi yang terjadi akibat pembangunan infrastruktur dan investasi berbasis hutan dan lahan akan menimbulkan dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat. Dampak negatif yang ditimbulkan dapat berupa hilangnya hutan alam, berkurangnya sumber air bersih, terenggutnya wilayah masyarakat adat, dan masih banyak lagi.
Pelatihan selama 3 hari di Hotel Paparise Manise, Kota Sorong, Papua Barat, tidak bermaksud mengajak para pemantau hutan tidak mendukung pembangunan infrastruktur di Papua. Pelatihan dimaksudkan agar masyarakat dapat lebih memahami potensi dan ancaman yang terdapat di daerah mereka. “Pemantauan ini bersifat umum, jadi kawan-kawan bisa bukan hanya melihat dan menjaga kondisi hutan, tapi juga sumber daya alam yang ada di dalamnya,” jelas Soelton lagi.
Selama acara pelatihan berlangsung, pemantau hutan yang mengikuti pelatihan aktif bertanya dan menceritakan permasalahan yang dialami oleh peserta di wilayah masing-masing. Seperti cerita bahwa di Kota Sorong sudah tidak memiliki hutan, dan hanya hutan mangrove yang tersisa. Hutan mangrove tersebut lah yang kemudian berusaha masyarakat jaga dan lindungi. Pada akhirnya, pelatihan kader muda masyarakat adat tidak hanya mengayakan pengetahuan peserta, tapi juga fasilitator, tentang bagaimana potret keadaan hutan Papua saat ini. (ARO)