Oleh: Dr Arman Anwar, SH, MH, penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon. Artikel ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Universitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.
Sejak emas ditemukan di Gunung Botak, Desa Dafa, Kecamatan Waelata pada tahun 2011 wajah Pulau Buru mulai terusik. Emas tak hanya ditemukan di Gunung Botak, tetapi juga di berbagi lokasi lain di Pulau Buru.
Pada puncak penambangan emas, yaitu antara 2011 hingga 2015, diperkirakan ada 20 ribu orang yang mencoba mengadu nasib dan peruntungan mendapatkan emas di Gunung Botak.
Awalnya para penambang skala kecil (small scale mining), hanya menggunakan alat-alat sederhana seperti wajan dan panci untuk mendulang emas, lambat laun menggunakan bahan kimia berbahaya seperti sianida dan merkuri
Meski tambang sekarang telah ditutup, warga saat ini takut mengkonsumsi air sumur, ikan, beras dan sayuran dari lokasi yang diduga tercemar sianida. Warga khawatir resapan kandungan sianida dan merkuri akan mengintrusi sumur warga dan sumber air warga lainnya.
Rahim menghentikan laju kendaraan, gestur tangannya menunjuk ke arah sekumpulan pemuda yang sedang duduk-duduk di warung kopi di tepi jalan Dusun Wamsait, Desa Waelata, Kabupaten Buru, Maluku.
“Bapak tertarik wawancarai mereka?” tanyanya kepada saya yang duduk di sebelah kursi pengemudi.
Kami saat itu sedang ada di lokasi Gunung Botak. Lokasi yang dalam beberapa tahun belakangan ini pernah sohor sebagai lokasi penambangan emas rakyat.
Rahim asli putra Buru. Dia supir sekaligus pengantar saya. Orangnya ramah dan hafal medan. Sudah berulangkali dia antarkan tamu untuk berkunjung ke beberapa lokasi penambangan emas di Gunung Botak dan sekitarnya.
Saya mengiyakan ajakan Rahim. Kami lalu menghampiri tiga pemuda itu, Sandi (34), Andi (31) dan Ardi (24) semuanya pendatang asal Bombana, Sulawesi Tenggara.
Dari awalnya ngobrol-ngobrol lepas, akhirnya mereka mulai terbuka tentang tujuan mereka datang ke Pulau Buru, mengadu nasib dengan mencari emas di Gunung Botak.
“Hasilnya lumayan, bisa buat hidupi keluarga,” sebut Sandi. Dia bilang sejak 2013 sudah merantau ke Pulau Buru.
Sandi sebut, dia sempat pulang ke Bombana, Tapi saat dengar kabar penambangan emas di Gunung Botak akan dibuka kembali, dia memutuskan kembali ke Buru bersama rekan-rekannya. Menambang memang sudah jadi jalan hidupnya.
“Kalau nambang emas di Gunung Botak, bisa dapat emas 10 gram dalam 12 hari. Kalau dijual ke pembeli harganya sekitar Rp425-450 ribu.”
Kawan Sandi yang lain, Andi bilang mereka tertarik datang jauh-jauh ke Maluku. Alasannya karena di Bombana, – meski penambangan emas juga ada, mereka tak diizinkan mengolah karena lokasi sudah masuk kawasan konsesi sebuah perusahaan.
Tak ada lagi masyarakat setempat yang bisa kerja nambang di sana tuturnya.
“Saya dulang emas tanpa sianida dan merkuri, pakai cara-cara alami,” tutur Ardi, salah seorang penambang itu menambahkan.
Saat ditanya lebih lanjut, apakah dia pernah menggunakan sianida dan merkuri saat menambang, Ardi lalu menjawab diplomatis.
“Kalau tak pakai sianida atau merkuri, emas tak akan diperoleh, pak.” Dia bilang para penambang lain pun selalu pakai kedua bahan kimia itu.
Menurut Ardi, bahan kimia seperti sianida dan merkuri disediakan oleh para tauke, pemilik tromol penggilingan emas. Alat tromol dibawa langsung para tauke dari Sulawesi Tengah. Alat itu disewakan seharga Rp50 ribu, itu sudah termasuk bonus bahan sianida dan merkuri.
Penjelasan Ardi membawa pikiran saya terbayang sudah berapa banyak cemaran limbah yang dihasilkan oleh praktik penambangan emas di Pulau Buru. Lalu apa dampaknya bagi manusia dan lingkungan Pulau Buru ke depan?
***
Di zaman Orde Baru, Pulau Buru lebih banyak dikenal sebagai tempat “rehabilitasi” tahanan politik yang dikaitkan dengan peristiwa G30S PKI. Dalam perjalanan waktu, -dengan lahannya yang subur, Buru ditetapkan sebagai lokasi transmigrasi pada tahun 1970-an.
Dengan masuknya para transmigrasi Buru pun bergeliat menjadi sentra penghasil beras. Ratusan ton padi berkualitas baik telah dihasilkan. Wajah pulau pun berubah menjadi kawasan daerah agraris.
Dua orang Presiden RI pernah berkunjung ke Buru. Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2006, dan Joko Widodo di tahun 2015. Keduanya menghadiri panen raya padi, Pulau Buru lalu diberi predikat sebagai Lumbung Pangan Nasional. Presiden dalam sambutannya, bertekad terus mengembangkan Buru sebagai lumbung beras Indonesia.
Namun benarkah semua berjalan secara sempurna dan baik-baik saja?
Sejak emas ditemukan di Gunung Botak, Desa Dafa, Kecamatan Waelata pada tahun 2011 wajah Buru sebagai penopang ketahanan pangan mulai terusik. Emas tak hanya ditemukan di Gunung Botak, tetapi juga di berbagi lokasi lain, seperti Gorgorea, Gunung Nona, Lea Bumi, Darlale/Metar dan Waeputih/Waedanga.
Tak butuh waktu lama, area yang dulunya hutan, sekejap berubah jadi penambangan emas ilegal yang ramai penambang. Apalagi jarak Gunung Botak hanya sekitar 2 jam (47 km) berkendaraan darat dari Ibukota Kabupaten Buru, Namlea.
Di masa jayanya, antara 2011 hingga 2015, diperkirakan ada 20 ribu orang yang mencoba mengadu nasib dan peruntungan mendapatkan emas di Gunung Botak. Awalnya mereka, para penambang skala kecil (small scale mining), hanya menggunakan alat-alat sederhana seperti wajan dan panci untuk mendulang emas.
Seiring waktu, penambangan emas tradisional mulai beralih dan mengikuti metode penambangan dan peralatan yang digunakan para penambang dari Bombana, Kendari, dan Makasar.
Penambangan emas secara intensif dengan alat modern pun didatangkan para penambang dari luar Buru. Metode trommel, ton, bak rendaman, ton dan mesin domfeng digunakan dalam pengikatan dan pemisahan logam emas. Merkuri dan sianida pun tak luput turut diperkenalkan.
Penambangan emas berskala masif pun terjadi, akibatnya kerusakan hutan, daerah aliran sungai, dan pencemaran sungai terjadi. Belum ditambah dengan ‘penyakit sosial’ dan kriminalitas yang merebak di lokasi pertambangan emas ilegal itu.
Mengacu pada isi laporan ‘Brief Maladaminitrasi Pertambangan Emas Gunung Botak’ yang diterbitkan Komisi Ombudsman Perwakilan Provinsi Maluku, posisi Gunung Botak tepat berada di hulu area persawahan.
Akibatnya, merkuri bercampur sianida yang dibuang terbawa oleh arus sungai ke hilir sepanjang 30 kilometer. Ia memasuki areal persawahan masyarakat hingga perairan dan muara Teluk Kayeli.
Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) akibat penambangan emas ilegal pun tak terelakan. Pulau Buru sendiri terdiri dari 53 DAS yang umumnya tergolong kecil sampai sedang (Dirjen BPDAS-PS, 2013). Dengan bentuk pola aliran sempit, dendritik (menurun), paralel, trellis, rektangular, dan radier menuju pantai.
Sedangkan di bagian timur pulau terutama di sekitar Sungai Waeapo merupakan daerah elevasi rendah dengan jenis lereng landai sampai agak curam (RPJIM bidang PU/Cipta Karya. 2011). Tentu saja memburuknya kondisi DAS, menyebabkan area ini rawan erosi dan longsor. Tentu saja aktivitas pertambangan turut memberi dampak yagn signifikan.
Dalam laporan Yusthinus T. Male dari FMIPA UNPATI (2012) yang dikutip dalam laporan Ombudsman itu disebut akibat pertambangan ilegal, tak hanya masalah kerusakan DAS secara fisik yang terjadi, namun kandungan merkuri di dalam air sungai pun telah melebihi ambang batas.
Sampel yang diambil di beberapa lokasi titik sungai menunjukkan jika kadar merkuri tertinggi 9 miligram (mg) per 1 kilo gram (kg) lumpur. Di pesisir Teluk Kayeli konsentrasi merkuri sebanyak 3 mg per 1 kg lumpur. Padahal ambang batas merkuri tidak boleh lebih dari 0,1 mg per 1 kg lumpur.
Selain sungai, sejumlah biota laut di Teluk Kayeli sudah terindikasi terkontaminasi merkuri. Kandungan merkuri pada udang, ikan, kerang-kerangan, dan kepiting yang diambil dari muara Teluk Kayeli mengandung konsentrasi merkuri pada 30 persen sampel yang diambil.
Jumlahnya mengejutkan, ia telah melampaui batas atas menurut standar nasional yang hanya diperbolehkan 0,5 miligram per 1 kilo gram sampel. Pada udang, kandungan merkuri tiga kali dari standar, ikan tujuh kali, kerang-kerangan enam kali, dan kepiting dua kali.
Kandungan merkuri juga ditemukan pada sejumlah sayuran seperti kacang panjang dan terong budidaya masyarakat. Penelitian lanjutan di tahun 2014, menemukan merkuri sudah masuk ke tubuh manusia, baik melalui udara maupun rantai makan.
“Ini tentu saja jadi ancaman serius,” ungkap Hasan Slamat. Dia Ketua Komisi Ombudsman Perwakilan Provinsi Maluku.
Dia menjelaskan, di Desa Waelata, akibat cemaran merkuri dan sianinda, banyak ternak sapi milik warga Dusun Wamsait, Desa Dava dan Desa Waelata yang mati, saat minum air rendaman pengolahan emas yang tercemar.
Hasil temuan Ombudsman Perwakilan Provinsi Maluku mengidentifikasikan bahwa sawah masyarakat di Unit transmigrasi 15, 16, dan 18 di Kecamatan Waelete Kabupaten Buru, -yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Lumbung Pangan Nasional di Maluku, juga terjadi pencemaran limbah merkuri.
Itu pula yang membuat Komisi Ombudsman merekomendasikan Pemda untuk menutup lokasi tambang-tambang ilegal di Pulau Buru.
Setelah beberapa kali gagal untuk mencoba menutup tambang emas ilegal dengan cara-cara persuasif, akhirnya pada tahun 2015, Pemda Maluka menggunakan tindakan represif pengosongan paksa lokasi penambangan emas illegal, yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Berkurangnya luas tutupan hutan ini, tentu saja amat berpengaruh terhadap daya tahan ekosistem dan DAS pulau Buru yang luas daratannya sekitar 950 ribu hektar ini.
***
Saya berdiri di depan bekas tambang Gunung Botak. Kondisinya amat sepi, lengang dan mencekam. Sejak penutupan tambang di tahun 2015, tak tampak lagi aktivitas hiruk pikuk para penambang.
Aktivitas penambangan emas menyisakan keprihatinan. Masih banyak bekas-bekas lubang galian tambang ilegal yang menganga. Tak tampak adanya pengaman, kita pun harus berhati-hati saat akan melewatinya.
Lubang tambang yang ditinggalkan para penambang ini diduga menjadi sebab jatuhnya korban jiwa dua remaja kakak beradik, yaitu Jamaludin Tekandar (13 tahun) dan Yusril Muksin (umur 17 tahun). Mereka berdua disebut-sebut jatuh terperosok.
Berjalan di seputar lubang galian, tampak bekas tumpukan tanah galian yang berserakan dengan karung-karung plastik bekas pakai yang mulai melapuk ditutupi rumput liar. Air Sungai Anahoni pun tampak dangkal dan kering berkerikil.
Banyak tampak pohon-pohon sagu yang kering kerontang tertutup lumpur bekas limbang tambah. Lumpur itu mencapai setengah dari pokok batang sagu.
“Dulu di sini tempat ratusan tenda biru berdiri,” ujar Rahim.
Saya membayangkan, sejauh mata memandang dari atas puncak bukit, dapat terlihat ratusan tenda-tenda biru saling sesak berjejalan, menjadi saksi bisu ribuan orang penghuninya.
Ketika malam hari tiba, bunyi jangkrik kalah bersaing dengan bunyi generator listrik. Cahaya kunang-kunang redup ditutupi sinar lampu-lampu pijar. Saat itu, Gunung Botak terlihat bagaikan kota di tengah hutan yang gemerlap di malam hari. Namun kini bagaikan hutan hantu yang menyeramkan di siang hari.
Di Gunung Botak pepohonan ditebangi. Limbah tambang bercampur sianida dan merkuri dialirkan ke sungai dan mengendap bersama sedimen lumpur. Sementara, air sungai yang tercemar itu menjadi sumber air irigasi yang mengalir ke sawah-sawah, turun sampai ke muara Teluk Kayeli.
Kondisi di Gogerea serupa dengan Gunung Botak. Kerusakan lingkungan di sini luar biasa. Ada kolam bekas tambang emas ilegal yang luas seukuran kurang lebih lapangan sepak bola. Warna airnya keruh kehijauan, indikasi ada cemaran, kedalaman kolam mencapai 15 meter.
Saya menjumpai salah seorang pemilik lahan tambang di sini. Peni namanya. Awalnya dia sangat tertutup dan sulit saat diajak bicara.
Dia bilang awalnya para penambang hanyalah para penambang lokal. Saat menambang mereka gunakan alat-alat tradisional, tanpa mesin modern.
Peni mengakui jika penambangan emas yang dia lakukan saat ini berjalan tanpa izin alias ilegal. Dia berkilah menambang hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Dia sekarang harap-harap cemas menunggu izin penambangan yang konon akan segera dikeluarkan oleh Pemda setempat.
***
Dari lokasi pertambangan, saya menyempatkan diri berjumpa dengan Saiful Rahman, kolega dosen Fakultas Hukum Universitas Iqra Buru, Namlea. Saya menanyai dia, kondisi pasca penutupan tambang di Kabupaten Buru.
“Sekarang banyak orang resah dan takut akan bahaya merkuri dan sianida terhadap kesehatan. Banyak orang takut khawatir dengan masa depan anak-anak mereka,” jelas Saiful.
Dia bilang, selama ada aliran air maka ada kemungkinan resapan kandungan sianida dan merkuri akan mengintrusi sumur warga dan sumber air warga lainnya.
Tak hanya takut mengkonsumsi air sumur, warga juga takut mengkonsumsi ikan dan sayuran dari pasar. Juga beras yang berasal dari area persawahan di Buru yang dilewati oleh irigasi asal Sungai Waiapo yang alirannya diduga tercemar.
Pencemaran merkuri dan sianida di alam memang dapat menyebabkan persoalan kesehatan serius. Kedua senyawa zat itu, memiliki dampak berbahaya untuk manusia dan organisme lainnya apabila jumlahnya berlebihan di dalam air, tanah dan udara.
Mungkin tak tampak secara langsung sekarang, tapi dampaknya jika mengendap dalam tubuh bakal bereaksi buruk bagi tubuh di kemudian hari.
Keracunan merkuri pada tubuh pernah menjadi wabah serius di kota Minamata Jepang pada tahun 1958. Penyebabnya pencemaran teluk akibat merkuri di dalam ikan yang dikonsumsi manusia. Dampaknya, ratusan orang tewas, dan banyak yang mengalami kelumpuhan organ syaraf.
Sebut Saiful, di Buru dampak mercuri dan sianida belum terlihat pada manusia, tapi sudah mulai bisa dilihat pada satwa. Warga pernah jumpai seekor buaya yang mati di aliran sungai yang tercemar.
Sedangkan Ikan-ikan di laut menurutnya juga sudah tercemar tetap mungkin masih berada pada ambang bantas yang rendah.
Dia menduga hal ini karena kondisi laut berbeda dengan sungai. Massa air laut dan adanya perputaran arus air laut menyebabkan konsentrasi racun sianida dan mercuri berada pada level yang masih sedikit rendah dibandingkan aliran sungai.
Tetapi, dia tetap khawatirkan sedimen lumpur yang terbawa ke muara teluk pada musim penghujan. Lumpur keruh yang terbawa ke laut Teluk Kayeli berpotensi membawa cemaran bahan kimia dan masalah bagi biota laut.
***
Dalam perjalanan kembali menuju Pelabuhan Namlea ke Ambon, saya merenung, tentang bagaimana hak masyarakat atas kesehatan dan lingkungan yang baik di Buru telah direnggut. Desakan ekonomi sesaat telah membuat manusia rela menghancurkan alam.
Gunung Botak dan tempat-tempat pertambangan lain mungkin telah sepi, tetapi ancaman sianida dan merkuri masih saja menghantui. Tak hanya lumbung beras nasional yang terancam, tapi segala eksistensi kehidupan generasi saat ini dan generasi masa depan Pulau Buru pun tergadaikan.
tulisan ini juga sudah dimuat di mongabay indonesia. Liputan ini merupakan keikutsertaan penulis dalam kegiatan ENVIROMENTAL CITIZEN JURNALISM PROGRAM (ECJP) – Forest Watch Indonesia 2020.