Deras Kerukan Tambang dan Nasib Sungai Waleh di Halmahera Tengah

Oleh: Rian Hidayat Husni. Penulis adalah pewarta di lpmmantra.com, berdomisili di Ternate, Maluku Utara. Artikel ini didukung oleh FWIUniversitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.

Hiruk-pikuk aktivitas tambang di Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara, telah menjadi pangkal pencemaran lingkungan hidup masyarakat. Hilangnya tutupan hutan akibat laju deforestasi kian menuai risiko ancaman ruang hidup dan protes masyarakat terhadap daya rusak bentang alam yang disebabkan oleh maraknya penambangan industi ekstraktif.

Pada tahun 2017, Korsup Minerba milik KPK, melaporkan setidaknya terdapat 66 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sedang mengepung daratan Halmahera Tengah. Perusahaan-perusahaan itu mengantongi izin operasi dengan luas sebesar 142,964,79 hektare. Jumlah luasan operasi ini diperkirakan terus bertambah seiring dengan pembebasan lahan warga yang terus dikeruk perusahaan-perusahaan itu.

Sementara, perusahaan pemegang izin yang sudah melakukan operasi di antaranya adalah PT. Takindo Energi, PT. Weda Bay Nickel (WBN), PT. First Pasific Mining, PT. Zong Hai, dan PT. Bakti Pertiwi Nusantara (BPN), juga proyek pembangunan smelter dan PLTU milik PT. Indonesia Weda Industrial Park (IWIP).

Aktivitas penambangan dan pembukaan lahan hutan secara besar-besaran ini sewaktu-waktu dapat memberi ancaman berupa kerusakan lingkungan hidup serta dapat mengganggu kehidupan berbagai jenis ekosistem. Hal ini membuat sebagian masyarakat yang berada dalam lingkaran tambang, setiap saat, merasakan kekhawatiran luar biasa karena ancaman atas lingkungan hidup mereka makin memperihatinkan.

Medio Juni 2020, menjadi bukti nyata bagaimana warga Trans Waleh, Weda Utara, Halmahera Tengah, mulai dihantam dampak limbah perusahaan yang mencemari aliran sungai mereka. Pencemaran tersebut disebaban karena adanya aktivitas tambang nikel sebuah perusahaan yang tengah beroperasi di dekat hulu Sungai Waleh.

Sekitar 200 Kepala Keluarga di Trans Waleh memanfaatkan sungai ini sebagai sumber air utama yang menyangga kebutuhan mereka sehari-hari saat terjadi periode musim kemarau. Aliran sungai memang cukup dekat, hanya berjarak sekitar 50 meter dari pemukiman warga.

Dengan bermata pencaharian rata-rata sebagai petani, sungai tersebut juga dimanfaatkan warga Trans Waleh sebagai aliran irigasi lahan pertanian sawah. Kondisi sungai yang tidak biasa itu terjadi pada awal Juni 2020. Hingga kini, muara sungai tersebut masih tampak berwarna coklat. Keadaan sungai itu, lantas menyulut keluhan sejumlah warga.

tambang maluku
Potret warga di hulu Sungai Waleh, Weda Utara. Foto: Rian/Mantra

Dede Efendi (42), warga Trans Waleh, mengaku merasa perihatin melihat kondisi sungai yang tiba-tiba berubah warna menjadi coklat. Selain curah hujan di hulu sungai sebagai penyebab keruhnya air, Dede mengakui, fenomena tersebut juga disebabkan karena ulah perusahaan tambang yang sedang beroperasi di sekitar hulu sungai.

“Kalau bulan juni lalu, warna air merah, sekarang sudah agak mending. Apalagi di atas ada aktivitas tambang” katanya. Bagi dia, pencemaran itu tak mengeherankan lagi, pasalnya sebagian besar hutan di Weda Utara memang sudah digunduli sejumlah perusahaan tambang yang terus mengeruk sumber daya alam daerah tersebut.

Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat total deforestasi di Halteng pada periode tahun 2000-2017 mencapai 48.388 hektare. Lokasi terjadi deforestasi di Halmahera tengah, secara umum, tersebar di beberapa titik seperti area tambang seluas 16.232 hektare, area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) seluas 3.510 hektare. Deforestasi juga terjadi pada lahan yang tumpah tindih seluas 8.723 hektare dan pemanfaatan lahan di luar izin seluas 19.923 hektare.

Sementara itu, luas tutupan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ake Waleh (Sungai Waleh) sendiri sampai dengan tahun 2017 memiliki luas 19.622 hektare, dengan laju deforestasi seluas 4.540 hektare (2000-2017). Kabupaten Halmahera Tengah memang memiliki luas daratan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan luas daerah lautan secara keseluruhan. Luas daratan Halteng adalah 2.276,83 km² atau 27 persen, sedangkan luas lautan mencapai 6.104,65 km² atau sekitar 73 persen dari luas wilayah secara keseluruha wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang tercatat sekitar 8.381,48 km² (sumber: SIFATARU Maluku Utara dan Papua).

Berdasarkan kondisi eksisting guna lahan, sebagian besar penggunaan lahan di Kabupaten ini adalah berupa hutan belukar dengan luas 233.140,73 hektare atau 91,82 persen dari luas secara keseluruhan, sedangkan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 27.280,92 hektare, berdasarkan data RPIJM Cipta Karya Halteng, tahun 2016.

“Kami memanfaatkan sungai ini untuk minum, mencuci, mandi, dan sebagai pusat irigasi” lanjut Mas Dede (sapaan), pada Kamis (29/10/2020). Lelaki paruh baya ini sudah menetap di Trans Waleh selama 12 tahun. Ia sering memancing di muara Sungai Waleh untuk menghilangkan rasa jenuh. “Ya, kadang dapat tapi juga kadang pulang dengan tangan kosong” ungkapnya.

Muara sungai tersebut memang menjadi jalur masuk perahu nelayan warga di Desa Waleh dan Trans Waleh. Lokasinya yang membelah dua daratan, yakni Desa Waleh dan Yeke, di Kecamatan Weda Utara, muara sungai ini juga biasa dinamai Muara Yeke. Mas Dede memberi pengakuan bahwa saat memancing, warga setempat kerap mengeluhkan keruhnya air sungai tersebut.

“Yang paling terdampak adalah warga di Tans Waleh karena kami sangat dekat dengan areal sungai. Beberapa kali juga pihak perusahaan datang dan mengecek air” ujar warga transmigrasi itu.

tambang maluku
Area sungai yang dimanfaatkan warga trans Waleh sebagai sumber air utama. Foto: Rian/Mantra

Sementara, di Pedalaman Trans Waleh, Alaudin Hi Kasim (52), bersila di teras rumahnya. Sore itu, Ia menuturkan dampak limbah perusahaan yang menjadi pusat keluhan warga. Seperti warga lainnya, Ketua Dusun 3 Trans Waleh itu memiliki pengalaman merasakan langsung dampak limbah perusahaan yang mencemari air sungai mereka sejak awal bulan Juni 2020 lalu.

Suatu hari, Alaudin hendak mandi di areal sungai. Ia mendapati hal yang tidak ia duga sebelumnya, “Pas turun ke air, saya melihat air sudah berwarna kemerahan. Lalu saya putuskan untuk tidak mandi melainkan mencuci kaki saja. Begitu pulang, kaki saya gatal-gatal”, tuturnya. Air sungai yang yang telah bersedimentasi hingga berwarna merah itu, tentu datang dari limbah perusahaan, begitu curiga Alaudin.

Menurutnya, wilayah Trans Waleh memiliki topografi yang rentan terhadap banjir jika terjadi periode musim hujan. Biasanya, kata Alaudin, banjir disebabkan oleh air sungai yang meluap keluar hingga ke rumah-rumah warga. “Bagaimana kalau limbah tersebut mengikuti aliran sungai saat banjir, ini tentu saja akan berakibat fatal” risau Alaudin, ketika dijumpai mantra di rumahnya, Kamis (29/10/20).

“Kami masih merasa resah karena sungai ini kami manfaatkan untuk minum dan mandi. Juga menjadi irigasi petani di sini” demikian kata lelaki paruh baya itu. Orang-orang di Trans Waleh masih tampak mencemaskan adanya pencemaran yang akan terulang lagi, sebagaimana pada Juni 2020. Sehingga, kata Alaudin, pihak perusahaan paling tidak harus menepati janjinya untuk tidak melakukan hal yang sama dengan membuat perjanjian secara tertulis.

tambang maluku
Nelayan di Muara Sungai. Foto: Rian/Mantra

Setelah melakukan investigasi, Dinas Pertambangan dan ESDM Provinsi Maluku Utara (Malut), melaporkan, pencemaran terhadap Sungai Waleh disebabkan karena adanya aktivitas tambang yang dilakukan PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN). Pencemaran terjadi karena bak penampung limbah (sedimend pound) yang berdekatan dengan aliran sungai bocor sehingga jatuh ke air sungai.

Kepala Dinas Pertambangan dan ESDM, Provinsi Maluku Utara (Malut), Hasyim Daeng Barang, membenarkan adanya bukti pencemaran yang dilakukan perusahaan bernomor SK: 540/KEP/253/2012 itu. Hal itu diakui setelah pihaknya turun melakukan investigasi pada akhir bulan Juni hingga awal Juli 2020.

BPN sendiri merupakan satu di antara banyaknya perusahaan tambang nikel yang mengantongi izin operasi di Halmahera Tengah dengan luasan wilayah operasi sekitar 1. 232 hektare, berdasarkan data ESDM wone map. Aktivitas perusahaan yang berkomoditas nikel ini menjadi pangkal pencemaran Sungai Waleh di Weda Utara.

Selain areal sungai, pencemaran juga tersebar di sepanjang pesisir pantai Desa Waleh, yang berdekatan dengan bagian hilir atau muara sungai. Motif terjadi pencemaran disebabkan karena bak penambung limbah perusahaan jebol hingga mengalami kontaminasi dengan air. Terlebih, lokasi penambangan nikel PT. BPN yang cukup dekat dengan DAS Sungai Waleh, yang sewaktu-waktu, tentu membuat ekosistem yang hidup di areal tersebut terus mendapatkan ancaman.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Maluku Utara, Ahmad Rusydi Rasjid, penempatan limbah tailing di darat beperluang menimbulkan kontaminasi tanah dan air bawah tanah oleh unsur logam. Selain itu, pelarutan logam berat oleh air hujan yang teroksida oleh udarah juga akan memperluas lahan cemaran. Kondisi tempat pembuangan tailing baik limbah padat maupun limbah cair seperti limbah B3, umumnya, sangat rentan terhadap kestabilan lereng terutama yang dipicu oleh fenomena alam seperti gempa bumi, longsor dan banjir.

“Karena itu, pengolahan limbah akhir seperti slag nikel yang tergolong limbah B3 sesuai pasal 146-170 dan PP nomor 101/2014, di daratan pulau-pulau kecil seperti di Halmahera Tengah sangat berisiko mencemari tangkapan air di sekitar areal pertambangan tersebut yang diketahui menjadi pasokan air utama bagi perkampungan di sekitar, di dalam hutan, maupun pesisir” jelasnya (dilansir fajarmalut.com).

Merujuk laporan advokasi Walhi Nasional, ada beberapa hal serius yang dapat mengakibatkan kerusakan ekologi yang disebabkan oleh aktivitas tambang maupun paska tambang. Seperti;

1) Perubahan bentang alam dengan teknik open pit (bukit menjadi daratan bahkan menjadi kubangan, aliran sungai terputus bahkan menjadi);

2) Menyebabkan kekeringan lahan pertanian karena sumber air dikuasai oleh perusahaan tambang, dan juga pengaruh debu yang dihasilkan dari aktivitas pertamangan;

3) Erosi semakin meningkan karena berkurangnya areal serapan air;

4) Pencemaran terhadap aliran sungai, baik karena sedimen maupun limbah beracun;

5) Struktur tanah menjadi labil dan bisa menyebabkan terjadinya longsor;

6) Berkurangnya areal resapan air, juga bisa menyebabkan banjir saat musim penghujan;

7) Berkurangnya populasi dan habitat satwa-satwa endemik karena kerusakan ekosistem kawasan dan degradasi kawasan hutan;

8) Pencemaran limbah beracun juga sangat tinggi di titik lokasi pembuangan tailing untuk pertambangan mineral, sedangkan untuk pertambangan batubara pada proses distribusi dan sangat rentan mencemari sungai, muara sungai dan laut;

9) Menyisahkan lahan kritis paska perusahaan tambang selesai beroperasi (sumber: pontianak.tribunnews “9 dampak lingkungan akibat tambang”).

Fenomena pencemaran Sungai Waleh yang terjadi pada Juni 2020 itu, kemudian menyulut protes warga setempat. Protes terhadap PT. BPN dilakukan oleh sejumlah warga hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halmahera Tengah. DPRD Halteng juga melakukan rapat dengar pendapat bersama Dinas ESDM Malut pada Kamis (18/6/20), rapat itu bertujuan membahas indikasi pencemaran di Sungai Waleh sebagai bentuk pelanggaran terhadap lingkungan hidup.

Sebelumnya, hasil kunjungan Komisi III DPRD Halmahera Tengah ke Sungai Waleh menunjukkan adanya indikasi pencemaran di hulu Sungai Waleh, yang berlokasi di Gunung Moro-moro, Waleh, Weda Utara. Atas dasar itu, BPN disebut tidak mematuhi aturan lingkungan hidup sesuai izin dokumen lingkungan yang diberikan. DPRD Halteng kemudian mengeluarkan rekomendasi dengan nomor 170/171/DPRD-HT/2020 tentang pelanggaran lingkungan hidup.

Setidaknya terdapat 7 poin dalam rekomendasi tersebut, di antaranya meminta Bupati Halmahera Tengah, Drs. Edi Langkara, untuk memberhentikan sementara aktivitas penambangan PT. BPN karena terbukti mencemari areal sungai. Protes atas dampak pencemaran sungai ini juga dikampanyekan sejumlah pemuda di Desa Waleh, yang menuntut agar perusahaan dapat betanggungjawab atas bukti pencemaran tersebut.

Sekretaris Komisi III DPRD Halteng, Munadi Kilkoda, menilai pihak perusahaan tidak memiliki kajian yang matang sebelum melakukan penambangan. Terlebih, tidak tersedianya sistem perencanaan tambang dan studi kelayakan yang dimiliki perusahaan sebagai ikhtiar dalam proses penambangan, dinilai merupakan sebuah kelalaian terhadap keberlangsungan lingkungan hidup masyarakat.

“Apalagi beberapa sediment pond yang ada itu ternyata baru dibangun, padahal semestinya dibangun sejak tahapan konstruksi. Sedimentasi pada air sungai Waleh tersebut menunjukkan bahwa sediment pond yang disiapkan ternyata tidak memiliki kegunaan apa-apa. Nyatanya jebol,” kata Munadi, dikutip di halmaherapost.com.

tambang maluku
Muara Sungai Waleh per Oktober 2020. Foto: Rian/Mantra

Atas pelanggaran itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah kemudian melakukan pemberhentian sementara proses operasi PT BPN di Weda Utara. Pernyataan pemberhentian ini dinyatakan langsung oleh Wakil Bupati Halteng, Abdurahim Odeyani, kepada sejumlah media ketika diwawancarai.

“untuk saat ini pemda berkepentingan sementara untuk menghentikan salah satu aktivitas perusahaan nikel yang beroperasi di Wilayah Kecamatan Weda Utara Kabupaten Halmahera Tengah,” kata Politisi Nasdem itu, seperti dilansir halmaherapost.com, Senin (15/06/2020).

Sementara itu, saat menerima kunjungan Komisi III DPRD Halmahera Tengah, pada Kamis 11 Juni 2020 di Kantor BPN, Weda Utara, Halmahera Tengah, perusahaan bersangkutan mengaku telah lalai, mereka juga menyebut areal sungai Waleh memang terjadi sedimentasi, hal itu disebabkan oleh adanya aktivitas mining atau penambangan yang mereka lakukan. Meski demikian, keterangan resmi dari pihak perusahaan terkait fenomena pencemaran tersebut enggan dipublikasikan.

Selama masa pemberhentian, pemda Halteng mewajibkan 5 aturan pelaksanaan bagi PT BPN yang telah terbukti melakukan pencemaran. Pelaksanaan itu antara lain memperbaiki dan memperbanyak fasilitas pengolahan limbah di areal penambangan biji nikel serta melaporkan hasilnya melalui DLH Kab. Halteng.

Kabupaten Halmahera Tengah yang merupakan kabupaten yang termasuk luas wilayahnya terbesar di Provinsi Maluku Utara. Meskipun dianugerahi 37 pulau kecil termasuk 2 pulau tidak berpenghuni, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP), luas konsesi, dan laju deforestasi yang menggerogoti daratan Halmahera Tengah tergolong cukup tinggi. Peningkatan daya guna lahan yang akan dialihfungsikan ini diperkirakan terus mengalami pertumbuhan setiap tahun.

tulisan ini juga sudah dimuat di ipmmantra.com dan mongabay indonesia. Liputan ini merupakan keikutsertaan penulis dalam kegiatan ENVIROMENTAL CITIZEN JURNALISM PROGRAM (ECJP) – Forest Watch Indonesia 2020.

Thank you for your vote!
Post rating: 4.1 from 5 (according 12 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top