Masalah bermunculan
Sejak tahun 1998, Muara Tae ”dikepung” perusahaan. Kawasan itu kini dikelilingi area produksi perusahaan penambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit, seperti PT Gunung Bayan, PT London Sumatera, PT Munte Waniq Jaya Perkasa (MWJP), PT Borneo Surya Mining Jaya, dan PT Kersa Gemuruh.
Masalah bermunculan. Warga merasa tanah garapannya, yang merupakan wilayah adat, dicaplok. Puncaknya, Januari 2012, sejumlah warga Muara Tae mendatangi Kepolisian Daerah Kalimantan Timur untuk melaporkan dugaan penjualan tanah adat oleh empat oknum warga Muara Ponaq. Tanah seluas 638 hektar itu dijual ke PT MWJP pada September 2011.
Saling klaim tanah berujung keluarnya Surat Keputusan (SK) Bupati Kutai Barat Nomor 146.3/K.525/2012 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Wilayah antara Muara Ponaq dan Muara Tae. SK itu menyebut lahan yang diklaim warga Muara Tae adalah wilayah Muara Ponaq.
Warga Muara Tae menggugat SK bupati itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda, tetapi gagal. Adapun laporan ke Polda Kalimantan Timur kandas dan hanya dilimpahkan ke Kepolisian Resor Balikpapan sebagai kasus perdata. Kasus ini tak urung membuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia turun ke Muara Tae, November 2012.
Di lapangan, perlawanan terjadi. Beberapa kali warga mencoba menghentikan aktivitas PT MWJP dengan memblokade alat berat. Pada Agustus 2012, perwakilan warga, didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, berunjuk rasa ke DPRD Kalimantan Timur. Pada Desember 2011, mereka menggelar aksi di depan rumah dinas Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak.
”Sudah 1.100 hektar lahan kami hilang dan sebagian ditanami sawit. Masalah kami tidak hanya itu karena PT Borneo juga mengincar 6.000 hektar wilayah kami,” kata Masrani, tokoh adat yang dulu Kepala Kampung Muara Tae, tetapi dicopot Bupati Kutai Barat.
Warga Muara Tae mengklaim tak pernah ada upaya menyelesaikan kasus ini dengan hasil yang menguntungkan. Namun, Rudianto, Kepala Kampung Muara Ponaq, menyatakan, wilayah yang diklaim sejumlah warga Muara Tae itu jelas di wilayah Ponaq.
PT MWJP, melalui Manajer Lapangan (waktu itu) Mathias, pada November 2012 pernah menyatakan, upaya mencari solusi dari perusahaan tidak ditanggapi. ”Kalau ditanya apa solusi terbaik, saya kembalikan ke warga Muara Tae,” ujarnya.
Karena semua upaya itu kandas, sumpah adat terpaksa digelar. Ini mengagetkan banyak orang sebab ritual ini sudah tidak lagi digelar selama puluhan tahun. Namun, sumpah adat itu tak melibatkan perwakilan warga Muara Ponaq, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, kepolisian, dan sejumlah pihak lain. ”Mereka tidak datang. Padahal, kami sudah mengundang mereka. Karena itu, dengan kata lain, kami menang,” ujar Petrus Asuy, tokoh adat Muara Tae.
1 Comments
putera sumut
Sedih! ini cara lain ekspresi masyarakat adat yang tanahnya dirampas, hak-haknya terabaikan. Ingat mereka sudah ada sebelum negara ini merdeka.