Uang atau Rakyat?

Cat_FW_27Nov20151_Sepanjang jalan hanya terlihat danau bekas tambang dan perkebunan sawit membentang luas ditengah jalan menuju Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur, lahan tambang bekas galian batubara mulai ditinggalkan akibat lesunya dipasaran internasional. Para investor alih-alih menjadikan lahannya untuk perkebunan kelapa sawit karena dinilai lebih menjanjikan. Peluang ekonomi kelapa sawit terlihat semakin nyata dengan adanya wacana pemerintah mengembangkan 1,8 juta hektare didaerah perbatasan Kalimantan untuk perkebunan kelapa sawit.

Sejarah perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah kolonialisme barat, dalam hal ini kolonialisme belanda. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur sumatera (Deli) dan aceh dengan luasan mencapai 5.123 Ha. Semenjak tahun 1919 dibawah pemerintahan kolonial Belanda perkebunan kelapa sawit maju pesat hingga menggeser dominasi ekspor negara Afrika pada waktu itu, hingga sampai saat ini perkembangan perkebunan kelapa sawit terus berkembang menjadikan Indonesia sebagai eksportir kelapa sawit terbesar di dunia dan memberikan kontribusi kepada negara sebesar US$ 23.711.550.465 pada tahun 2014.

Kelapa sawit terus dikembangkan pemerintah sehingga menarik investor baik dalam maupun asing, namun pemerintah cenderung hanya memikirkan keuntungan finansial tanpa mengindahkan dampak yang terjadi akibat eksploitasi lahan untuk dijadikan perkebunan. Sudah tak asing lagi ditelinga kita dampak buruk akibat perluasan perkebunan kelapa sawit, masyarakat lokal lah yang paling terkena dampak buruknya mulai dari perampasan hak atas tanah, hak atas pangan dan hak-hak lainnya yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat lokal.

Konflik dan sengketa lahan terjadi antara masyarakat lokal dengan perusahaan, masyarakat menuntut hak atas tanahnya yang sudah turun temurun mereka tanami tanaman palawija bahkan sebelum kelapa sawit hadir, kini mereka harus perjuangkan demi kelangsungan hidup anak cucu mereka. Perlawanan masyarakat terpaksa menghentikan alat-alat berat milik perusahaan yang sedang beroperasi meratakan tanah diatas tanah milik masyarakat lokal, masyarakat telah melakukan upaya hukum dalam penyelesaian konfliknya dengan perusahaan, masyarakatlah yang memenangkan sengketa tersebut, perusahaan tidak mau tinggal diam perusahaan menggugat balik putusan tersebut dengan alasan ketidakabsahan legal standing masyarakat (penggugat). namun Masyarakat tidak gentar, masyarakat menggugat balik (pidana) perusahaan karena telah melakukan pembohongan publik.

Cat_FW_27Nov20152_

Penulis:
Rizka Yunikartika
rizkayunikartika @ fwi.or.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

1 Comments

  • yudhi
    Posted Januari 25, 2016 10:58 am 0Likes
    Thank you for your vote!
    Rating 0 from 5

    permintaan pada hukum: “tanduskan semua hutan di Indonesia!”; atau “jaga dan pertahankan kelestarian hutan yang masih tersisa di Indonesia!”

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top