Oleh: Belseran Christ. Penulis adalah pewarta di Tabaos.id, berdomisili di Ambon, Maluku. Artikel ini didukung oleh FWI, Universitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.
SENIN 3 Juni 2013, sekitar pukul 17.00 WIT mungkin adalah hari yang tidak bisa dilupakan oleh sebagian warga Gane Dalam. Hari itu serombongan polisi bersenjata laras panjang menggeruduk desa yang berada di Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara ini.
“Polisi datang dari jalur laut dan jalur darat dari kotaKecamatan Saketa.Tujuh belas warga Gane pun dibawa ke Kantor Polres di Labuha, Ibukota Halsel, di Pulau Bacan.”
Jika dirunut, cerita itu bermula beberapa hari sebelumnya, Sanusi Wahab (43), seorang warga mengabarkan kebunnya telah digusur perusahaan sawit PT Gelora Mandiri Membangun (PT GMM), anak usaha Korindo Grup di Kecamatan Gane Barat.
“Pada waktu saya kaget ketika melihat lahan dan kebun saya telah digusur oleh alat berat milik perusahan untuk membuat tempat penampungan kayu,” kata Sanusi.
Foto: Sanusi Wahab, warga gane dalam yang dipenjara karena menolak masuknya perkebunan sawit. (Belseran Christ)
Empat hari kemudian, sekitar 70 orang warga Gane Dalam melakukan pemalangan kebun dari aktivitas perusahaan.Aksi itu sempat didatangi oleh polisi, namun warga tetap kukuh melanjutkan berjaga di kebun.Dalam aksi itu, Sanusi memegang kertas bertuliskan “Save Gane”.
Lanjutan kisahnya, beberapa waktu kemudian polisi mendatangi Gane, sekitar 50 orang diperiksa polisi tiga hari secara maraton. Namun 20 orang termasuk Sanusi belum diperiksa. Hingga paa akhirnya, takperlu menunggu lama, surat dari Polres Labuha pun dilayangkan kepada dia dan sejumlah warga lainnya.
“Saya kaget ada surat panggilan dari polisi, padahal kami tidak menghalangi kerja mereka kami palang kebun kami sendiri agar perusahan tidak serobot lahan kami,” ungkap Sanusi, pria lulusan Universitas Khairun Ternate ini.
Hingga hari Senin tanggal 3 Juni itu, Sanusi termasuk 17 warga yang dibawa ke Polres.
“Saat itu Kapolres bilang kami tidak mengindahkan mereka, karena panggilan pertama dan kedua yang dilayangkan tidak datang, sehingga kami terpaksa harus dijemput,” ucap Sanusi sambil menirukan pernyataan Kapolres saat itu.
Dari 17 yang ditangkap, 13 orangkemudian ditetapkan sebagai tersangka.
“Saya [Sanusi Wahab], Abdulah Rabi, A Gani Sadek, Lutfi Bote, Gani Karim, Harsoyo A. K. Daud, Alwi Abubakar, Jambrud Mahdi, Irham Nas, Irfan Mansur, Hafel Hi Kabir, Ade Toloa, Jalil Ome,” jelas Sanusi menuturkan nama-nama yang saat itu jadi tersangka.
Saat itu, kasus ini jadi perhatian di tingkat nasional. Komnas HAM menyerukan pada pihak Polda Maluku Utara untuk “memulihkan hak-hak masyarakat yang diduga dilanggar” dan agar PT GMM “memastikan bahwa segala tindakan yang direncanakan dan dilakukan tidak akan membahayakan dan melanggar HAM.”
Selang dua bulan dipenjara, para tersangka dinyatakan bebas murni oleh pengadilan.Di dalam proses pengadilan, para tersangka baru tahu bahwa mereka ditangkap karena ada sembilan warga desa pendukung perusahaan yang melaporkan mereka.
“Nama-nama[pelapor] ini terungkap di pengadilan. Jadi bukan perusahaan yang melaporkan kami,” cerita Sanusi.
Penangkapan warga adalah puncak dari eskalasi konflik yang menyeret perusahaan, warga yang pro dan kontra sawit di Gane Dalam.
Awal Masuknya Sawit di Halmahera Selatan
KECAMATAN Gane Barat Selatan, secara administratif luas wilayahnya 25.255 hektar, terbagi menjadi delapan desa, yaitu: Doworo, Sekely, Yamly, Gane Dalam, Jibubu, Awis, Palele, dan Tawa.
Berdasarkan data statistik BPS 2016, Desa Gane Dalam berpenduduk 1.315 jiwa, mayoritas warga menggantungkan hidup dari bekerja sebagai petani dan buruh.
Dengan modal izin lokasi perkebunan, PT Gelora Mandiri Membangun(PT GMM) anak usaha Korindo Group yang bergerak dalam usaha perkebunan sawit masuk di wilayah ini.Di tahun 2012 mereka mulai buka lahan.
PT GMM mengantongi izin dari Menteri Kehutanan saat itu, MS Kaban, melalui SK Menhut Nomor SK.22/Menhut-II/2009 tertanggal 29 Januari 2009 tentang lokasi pelepasan sebagian kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Adapun pertimbangan pelepasan kawasan hutan itu berawal dari surat pemohonan PT GMM nomor 01/GMM/6/2007 untuk usaha budidaya perkebunan sawit. Pertimbangan itu disesuaikan dengan Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit pada 24 Juni 2008.
Hutan yang dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit di Halsel luasnya 11.003,9 hektar, lokasinya selain di Desa Gane Dalam dan Yamli, juga berada di Desa Gane Luar, hingga perbatasan Desa Sawat, Sekli, Jibubu, Awis hingga Pasipalele, yang masuk di wilayah Kecamatan Gane Timur Selatan, Gane Barat Selatan, dan Kecamatan Kepulauan Joronga.
Korindo sendiri adalah sebuah perusahaan konglomerat swasta yang didirikan pada tahun 1969 oleh pengusaha asal Korea Selatan, Eun-Ho Seung.Bisnis utamanya yaitu pembalakan kayu, kayu lapis dan terakhir mereka mulai bermain di perkebunan sawit.
Walhi Maluku Utara dalam laporannya “ Malapetaka: Korindo, Perampasan Tanah, dan Bank” menyebut Korindo adalah konglomerat keluarga yang terkendali erat dengan entitas bisnis yang terdaftar setidaknya di tujuh negara. Adapun pembiayaan dan kepemilikannya terdaftar di British Virgin Islands (BVI).
“Saat ini, PT GMM/Korindo ingin menguatkan usaha investasinya di wilayah Gane dengan membangun pabrik kelapa sawit (PKS).Mereka memperluas wilayah usahanya dengan mengambil alih tanah pertanian masyarakat dan hutan alam,” jelas Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Walhi Maluku Utara, (21/11/2020).
Terkait pembukaan lahan, Walhi dalam laporannya menyebut PT GMM/Korindo terlibat dalam pembakaran hutan tidak jauh dari Desa Gane Dalam dan Sekely pada tahun 2014-2015.
Warga menyatakan api berasal dari tumpukan kayu yang disusun oleh pekerja dan siap untuk dibakar. Walhi mengklaim mereka memiliki bukti-bukti citra satelit tentang lahan yang dibakar oleh PT GMM.
Menanggapi tudingan ini, Korindo melampirkan surat yang ditandatangani per tanggal 16 Februari 2016 dari Dinas Kehutanan yang menyatakan pembukaan lahan di area kerja PT GMM “dilakukan secara mekanis dengan menggunakan alat berat dan tidak ada pembukaan lahan yang dilakukan dengan api.”
“Kami tidak pernah melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Kami juga tak pernah gusur lahan warga, yang kami kerjakan adalah lahan yang sudah dijual warga Gane Dalam dan sekitarnya,” jelas Mizwar Mustafa, Humas Lapangan PT GMM saat dikonfirmasi pertengahan November lalu.
Sawit Masuk, Persaudaraan Warga Terkoyak
SEMENJAK perkebunan sawit masuk di Gane Dalam, dampaknya secara sosial mulai meruncing.Warga terpecah menjadi dua kubu, pro dan kontra sawit.Hubungan persaudaraan yang berjalan baik selama ini, tiba-tiba renggang dan bermusuhan.
Warga yang kontra ada 42 keluarga, sedangkan yang pro investasi sekitar 412 keluarga. Mereka yang pro sebagian besar telah menyerahkan lahan kelola yang berisi kelapa, cengkih maupun lahan kosong (jorame) biasa untuk tanaman bulanan.
“Tak hanya dapat intimidasi dari aparat, tapi juga harus berhadapan antar sesama warga. Gara-gara sawit ini, hubungan keluarga hingga urusan keagamaan jadi ikut renggang,” kata Sanusi.
Singkat cerita, bendera perang terpasang.Tak hanya dengan aparat kemanan, warga yang menolak pun harus berhadapan dengan sesama warga Gane dalam.
“Kehidupan kami tak seperti dulu lagi. Bayangkan, kakak beradik atau sepupu bisa saling adu ke polisi,” sebut Sanusi.
Konflik sosial, antar warga ini berimbas sampai pada urusan silaturahmi. Semisal tahlilan, keluarga yang meninggal tak lagi saling mengunjungi. Saat momen Idul Fitri dan Idul Adha, antar saudara yang berseteru tak lagi saling berkunjung.
Seakan memperkuat rasa perseteruan, di Desa Gane Dalam ada dua mesjid dari dua kubu yang berbeda.
Satu mesjid, Masjid Tahtil Arsi adalah mesjid yang digunakan warga pro sawit, mesjid kedua, Mesjid Perjuangan adalah mesjid dari para penolak kebun sawit, yang dibangun setelah 13 warga dinyatakan bebas dari tahanan.
“Kami bangun mesjid perjuangan itu setelah kami bebas.Ada 42 keluarga penentang perusahaan yang bersepakat membangun mesjid sendiri.”
Tak hanya ibadah dan masjid, sengketa antarwarga gara-gara kehadiran sawit, juga berimbas pada proyek listrik PLN masuk Desa Gane Dalam.Proyek ini secara sepihak ditolak warga pro perusahaan.
Penolakan pemancangan tiang listrik akibat Umar Hanafi, -ketua tim penolakan perkebunan sawit ditunjuk pihak PLN untuk mengakomodir warga Gane Dalam untuk pemasangan listrik.Warga pro sawit tak terima dengan penunjukan ini.Beruntung setelah serangkaian sosialisasi,warga akhirnya bisa menerima.
Dalam kurun hampir delapan tahun ini, kerenggangan hubungan di masyarakat terasa antara pihak kontra dan pro.Meskipun, kini tensi konflik mulai reda.
“Mungkin setelah gempa melanda desa kami, semuanya sudah sadar bahwa orang lain tidak bisa menolong kami.Hanya kami sendiri sesama saudara,”jelas Sanusi.Dia menyebut peristiwa alam yang terjadi di tahun 2019 lalu.
Gane Dalam merupakan salah satu desa terparah yang dilanda gempa magnitude 7,2 SR.Selain menghancurkan puluhan rumah warga, seorang warga meninggal akibat tertimpa bangunan rumah.
Saat Hama Merebak, Sungai pun Tercemar
UMAR Hanafi (60), ketua tim penolakan perkebunan sawit mengatakan sejak PT GMM masuk di Gane, alih-alih membawa kesejahteraan dan bikin nasib warga tambah baik, kehadirannya malah datang membawa nestapa.
Umar resah karena sejumlah tanaman di kebunnya rusak. Dia menuding ratusan tanaman kelapanya mati akibat hamaserangga yang berasal dari perkebunan sawit.
Hama serangga yang dia maksud adalah Sexava sp.sejenis belalang yang sering menyerang kelapa.Awalnya serangga ini memakan daun tua, daun muda hingga buah muda. Walhasil jika seluruh bagian tanaman ini habis, buah-buah pun akan berguguran.
“Kelapa itu mati seperti tiang listrik, ujungnya buntung karena di makan hama,” kata Umar.
Cerita Umar pun mirip dengan apa yang disampaikan Bakir Abdul Hair (71). Saat dijumpai dia terlihat lemas, langkahnya perlahan saat hendak memegang kursi dekat tempat tidurnya.
Pria beranak lima ini memang telah lama sakit, sehari-harinya kebanyakan dia habiskan dengan berbaring, sesekali duduk di teras rumahnya.
Semenjak perkebunan sawit membuka lahan, tanaman kebunnya diseranghama, dan itu terus terjadi selama bertahun-tahun.
“Pendapatan saya berkurang, sebagian tanaman saya mati karena hama sawit. Di awal pohon pala besar 25 pohon dan tanaman kelapa mati. Yang kedua ini cengkih, langsa, duku, coklat, nangka habis semua,” cerita Bakir, matanya berkaca menahan tangis.
Klaim tentang merebaknya hama juga disampaikan Yani (60). Dia bilang sebelum sawit dibuka, tak pernah dijumpai hama dalam jumlah banyak menyerang tanaman warga. Selain serangga, jenis-jenis ular berukuran besar dan tikus jadi sering muncul.
“Ada hama, dia makan kita pe kelapa. Kita juga tidak bisa berkebun dan tidak bisa bertanam karena banyak tikus.”
Selain serangan hama, warga juga mengeluhkan bentuk terasering lahan perkebunan sawit yang disebut wargarawan longsordi saat musim penghujan. Sedimennya kerap masuk menutupi perkebunan warga melalui sungai.
“Sawit masuk, dia pe tutup kita pe kali yang besar itu sehingga kali tidak ada lagi karena sudah kering. Terus dia pe air itu, sudah masuk di kita pe tanaman kelapa dan tanaman pala.Sawit ini kasih mati kita pe tanaman. Dari 100 persen, tinggal 25 persen saja.”
[“Perkebunan sawit buat sungai yang besar itu tertutup dan kering. Air sungai itu tidak lagi berada pada jalurnya sehingga menerobos masuk ke kebun kelapa dan juga tanaman pala.Sawit ini mematikan tanaman kita.Dari 100 persen sisa 25 persen saja,”] tutur Bakir.
Bakir sebut, sebelum perusahan datang ada beberapa sungai besar yang mengaliri tanah Gane.Sungai-sungai ini jadi andalan konsumsi masyarakat tatkala mereka ada di kebun.
Namun sekarang kondisinya tak lagi sama dengan dulu. Waya Bakusili sudah tak lagi mengalir karena aliran sungai ditutup perusahan, Waya Wali yang merupakan sungai besar juga tak terlihat lagi,hilang tertutup timbunan tanah.
Kondisi serupa juga terjadi pada Waya Marsogili. Masih ada air yang mengalir namun sudah keruh bercampur sedimentasi tanah bawaan hasil land clearing. Padahal dulu sungai ini jernih, banyak udang dan ikan air tawar.
“Dulu torang biasa tar bawa air kalau pigi kobong, karena biasa ambe di kali ini. Tapi sekarang su tara bisa. Air su warna coklat baru su jadi tampa karyawan cuci dong pe alat-alat pupuk,” ucap Bakir.
Kini dia hanya bisa parah dengan kondisi yang terjadi.“Mau apa lagi, torang ini tar bisa biking apa-apa.”
Warga lain, Ama pun bingung meski jelas-jelas banyak aturan lingkungan yang dilanggar oleh perusahaan, tapi pemerintah tampaknya tidak ambil tindakan.
“Kita sebagai warga bingung karena dalam SK Bupati disebut tanaman sawit harus ada jarak 200 sampai 500 meter dari tepi sungai. Yang kami heran itu, sungai sudah tertutup oleh tanah karena tertimbun dan juga kayu,”paparnya.
“Kalau hujan air meluap, air juga berubah jadi coklat akibat pembukaan lahan di daerah hulu yang berdampak sampai ke daerah hilir.”
Selain warga yang kebunnya rusak, ada juga yang terpaksa jual kebunnya. Misalnya Arifin warga Desa Yomen, dia memilih angkat kaki dari kampung. Sekarang dia pindah ke Kota Tidore.
Arifin menjual kebun miliknya seluas 10 hektar, padahal sudah ada ribuan batang kelapa dan pala di dalamnya.Kebunnya dia jual seharga Rp185 juta kepada salah satu warga Desa Gane Dalam, Arifin menolak menjual kebun ke pihak perusahaan.
“Dia tak punya pilihan lain, kecuali menjual,” kata Ruslan Mahmud, Ketua BPD Desa Sekeli kawan Arifin.
Rusaknya kebun-kebun warga akibat hama juga berdampak pada para pedagang hasil bumi, salah satunya Abubakar Ali, seorang pengepul kopra, coklat, cengkeh dan pala. Dia menyebut hasil kebun warga Gane Dalam semakin berkurang sejak masuknya perkebunan sawit.
“Sebelum perusahaan masuk wilayah Gane, hasil komoditi kopra warga itu bisa mencapai 1-2 ton sekali panen, namun setelah perusahan masuk rata-rata hasil komoditas warga seperti kopra hanya mencapai 200-300 kg sekali panen,” sesalnya.
Kegiatan perusahaan juga turut menghancurkan kegiatan ekonomi masyarakat yang ada dan meninggalkan dampak permanen terhadap sosial dan lingkungan.
“Kasus seperti hama serangga menjadi salah satu contoh akibat salah satu mata rantai ekosistem yang hilang. Sehingga organisme-organisme yang biasa hidup di dalam hutan itu akhirnya keluar menyerang tanaman pertanian warga,”sebut Rasyid, Direktur Walhi Maluku Utara
Subhan Kasuba, Kabid Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Selatan saat dijumpai menyebut belum ada data terinci tentang kerusakan tanaman akibat hama Sexava sp.
“Tahun 2019, kami sudah mencoba bantu warga untuk membasmi hama pohon kelapa. Kami dari dinas langsung turun ke lapangan,” jelasnya(20/11/2020).
Subhan mengakui, hama yang menyerang tanaman pangan terutama kelapa di Desa Gane Dalamterjadi akibat penebangan hutan untuk jadi lahan baru.
“Jadi secara ilmiah, hama itu terjadi bila ada pembongkaran untuk mencari tempat yang baru agar lebih aman,”katanya.
“[Tapi] berdasarkan pengalaman saya di daerah lain tanaman yang berdekatan dengan sawit biasanya subur dan sehat,” kata dosen Sekolah Tinggi Pertanian (STP) Kabupaten Halmahera Selatan ini.
Saat dihubungi terpisah Guru Besar Kehutanan Universitas Pattimura, Prof Dr Agus Kastanya (56) memiliki pandangan sendiri tentang merebaknya hamakelapa ini. Dia melihat ada rantai ekosistem yang hilang di Halsel.
“Kalau burung di situ banyak, dia akan makan sexava, tapi karena sudah tidak ada pohon dan ada pembukaan lahan, burung pun berkurang,” jelas Agus.
“Dampak penyemprotan [pestisida dan insektisda] juga dapat berujung mematikan satwa lainnya seperti burung, sehingga keseimbangan juga rusak sehingga setiap waktu populasi hama ini dapat meledak.”
Pihak PT GMM tidak memungkiri jika hama kelapa menyerang tanaman warga yang diduga sebagai akibat pembukaan lahan sawit. Namun mereka bilang faktor alam juga turut mendukung.
“Terkait keluhan warga pada tahun 2015 terkait dengan hama, kami dari PT GMM sudah punya tim pemantau lingkungan. Cuaca di tahun 2015 itu memang ekstrim, curah hujan minim.Hama ini tidak suka panas, jadi sembunyi di kelapa,” jelas Mizwar.
Lalu apa upaya perusahaan?
“Kita taruh ada satu alat antara kebun sawit dengan kebun masyarakat, jadi ketika serangga mencium itu akan masuk ke [alat] situ,” ungkapnya
Tudingan Pelanggaran oleh PT GMM
TERKAIT dengan permasalahan yang timbul di tingkat masyarakat saat ini, Walhi Maluku Utara mencurigai PT GMM melakukan pelanggaran dengan tidak menjalankan semua tahap proses perizinan.
“Jadi setelah AMDAL disetujui oleh komisi teknis, perusahaan perkebunan baru bisa mengajukan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Setelah IUP diterbitkan, maka dalam jangka waktu paling lambat dua tahun pihak pemegang izin harus memiliki tanah melalui penerbitan Hak Guna Usaha (HGU),” jelas Ahmad Rusydi.
“Fakta hukumnya, PT GMM telah memiliki IUP tahun 2006 tanpa melakukan AMDAL terlebih dahulu ataupun pelibatan masyarakat Gane yang terkena dampak dari rencana pembangunan perkebunan,” sambungnya.
Walhi Maluku Utara dalam laporannya mensinyalir, adanya pemalsuan dokumen AMDAL yang dilakukan oleh perusahan PT GMM/Korindo. Dokumen tersebut kemudian digunakan perusahaan untuk memalsukan klaim dukungan masyarakat terhadap proyek perkebunan sebagai bagian dari pengajuan AMDAL perusahaan.
Walhi sendiri, menurut Ahmad beberapa kali mendampingi warga terdampak di Gane untuk melaporkan dugaan penyalagunaan tanda tangan untuk perizinan itu.
“Walaupun korban terduga penyalahgunaan tanda tangan sudah melapor kepada polisi, sampai saat ini belum ada penyidikan,” sebutnya.
Walhi juga menyoroti tentang ilegalitas lahan HGU PT GMM. Berulangkali saat diminta, perusahaan menolak untuk memberi informasi yang jelas.
“Walau HGU adalah dokumen publik, Korindo menolak mengklarifikasi apakah HGU sudah diterbitkan dan kapan diterbitkan. Analisis satelit menunjukkan PT GMM telah membuka wilayah di luar batas usulan HGU-nya, termasuk diantaranya tanah seluas 231 hektar dekat Desa Sekely pada tahun 2015,” papar Ahmad Rusydi.
Saat diminta konfirmasi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Halmahera Selatan menjelaskan luas lahan milik PT GMM di tahun 2016 adalah 6.124 hektar.
“Itu izin baru sebagian, mungkin seluruhnya luasannya 9000-an hektar lebih. Termasuk pelabuhan,dan juga pabrik perusahan,” kata Machfud Efendy, Kepala BPN Halsel.
Sejak tahun 2019 Korindo memang merencanakan untuk membangun pabrik pengolah sawit untuk memproses produksi kebun mereka. Namun hingga kini rencana ini belum terlaksana.
Jika merujuk pada data Forest Watch Indonesia (FWI) maka di Kabupaten Halmahera Selatan hanya ada satu izin perkebunan kelapa sawit, yaitu PT GMM pada lahan seluas 10.500 hektar.
FWI mencatat, adanya peningkatan laju deforestasi di area konsesi perkebunan sawit di Halmahera Selatan dari tahun 2000 hingga 2017 yang mencapai 8.351 hektar.
Mizwar Mustafa, membenarkan bahwa perusahaan telah membuka lahan secara masif pada periode 2012 hingga 2017, tapi membantah telah merusak alam. Dia sebut lahan yang saat ini sudah dikerjakanadalah 5.500 hektar.
“Kalau izin yang kita punya sesuai HGU itu adalah 8.400 hektar. Kalau soal penambahan lahan kita kembali ke pemerintah pusat karena ada moratorium pembebasan lahan.,” kata Mizwar.
Dia menegaskan, konflik antarwarga dan kerusakan ekosistem yang terjadi bukan karena aktivitas penyerobotan lahan warga dan hutan alam menjadi perkebunan sawit.
“Lahan hutan yang dibuka berdasarkan lokasi yang berada dalam areal HGU. Artinya daerah itu milik kita dan sudah punya izin, sehingga wajib kita melaksanakan kegiatan land clearing sesuai dengan prosedur.”
Terhadap kebun warga, selagi tidak masuk dalam areal perkebunan sawit maka perusahaan tidak akanmenggusur kebun warga.
“Kita bekerja sesuai dengan HGU. Jika ada lahan yang berdampingan dengan kebun warga, tidak mungkin kita ganggu.[Terkait konflik lahan] lebih baik kita menghindar dari pada jadi masalah,”ujarnya.
Dia juga klaim bahwa pasca kejadian gempa di tahun 2019, perusahaan fokus pada bantuan pemberdayaan masyarakat terdampak bencana di 9 desa.
“Sudah Rp5 milyar kita keluarkan untuk bangun infrastruktur 5 desa di Gane Barat Selatan dan Gane Timur Selatan, seperti sekolah, masjid dan mushola, air bersih, dan jalan,” jelas Mizwar.
Dia pun menambahkan bahwa keberadaan perusahaan memberi dampak positif bagi penciptaan lapangan pekerjaan di Halsel. Dari total seribu karyarwan, -yang meliputi tenaga tetap, kontrak dan harian, 800 orangberasal dari warga setempat.
Saat dihubungi, Subhan Kasuba, Kabid Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Halmahera Selatan berjanji akan mengawal proses perkembangan perkebunan sawit.
Dia menjelaskan, dampak dari investasi sesuai undang-undang wajib diberikan kepada masyarakat yang terdampak.
“Kita lihat juga secara undang-undang bahwa setiap luasan perkebunan itu wajib diberikan 20 persen plasma bagi masyarakat. Jadi kita tetap mengawal hak masyarakat yang harus diberikan. Jadi 20 persen dari luas lahan yang dimiliki oleh perusahan harus diberikan oleh perusahan untuk diberdayakan,” pungkasnya.
Perjuangan Perempuan Gane Dalam
PERJUANGAN menolak perkebunan kepala sawit tak hanya dilakukan oleh para pria desa Gane Dalam, namun juga para perempuan.
Gamar (52) bersama puluhan perempuan lain, bahu membahu, menjaga tungku perjuangan demi merebut kembali tanah leluhur mereka, seluas 11.093 hektar, dari penguasaan PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM). Perusahaan sawit ini anak usaha Korindo Grup.
Ketika berlawan, perempuan di garis depan, bergabung bersama para pria. Mereka tak gentar. Bila para suami pergi, perempuan berjaga di Baribi. Hidup di pusaran konflik seperti ini, ancaman bisa datang tanpa mereka duga. “Kenapa mau takut? Kita punya kehidupan di sini. Kalau mati, kuburkan saya di sini, depan rumah saya,” kata Gamar. “Coba bukan kita punya hak, buat apa dipertahankan?”
Saat ini menurut perempuan beranak 8 orang ini, sebagian tanaman miliknya mati. Itu tentu mempengaruhi ekonomi mereka.
“Sekarang saya punya hasil banyak mati, pala, coklat, langsa, rica (cabai), yang sudah berbuah. Sebagian rencana panen tapi mati. Termasuk kelapa. Saat ini saya sudah tidak bisa berkebun,”katanya.
Dengan mengandalkan sedikit tanaman yang masih hidup, Gamar bersama keluarganya bisa menyambung hidup mereka. “Tra (tidak) ada tanaman lagi untuk dijual seperti dulu, supaya jadi uang,” sesalnya.
Tanaman, menurut perempuan 52 tahun ini mati akibat limbah yang berasal dari perkebunan sawit. Limbah kata Gamar masuk saat hujan tiba dan menerobos kebunnya. Ini akibat sungai telah tertutup material tanah longsor dari perkebunan sawit.
“Sungai itu sudah tetutup dan jika hujan maka hujan sudah tentu menerobos masuk ke dalam kebun saya dan tanaman saya mati. Sekarang saya tidak bisa bikin kebun lagi, tanam sayur juga tidak bisa, pisang juga tidak bisa karena sudah tertutup tanah terlalu banyak mungkin ada obat, jadi sudah tidak jadi lagi tanaman saya,”tandasnya.
Melihat tanaman di kebunnya yang hampir punah, namun perjuangan penolakan Gamar dan perempuan Desa Gane tak pernah kendor. “Perjuangan saya sudah sembilan tahun. Perjuangan dari tahun 2010. Belum terlihat hasil, namun saya masih tetap semangat,”kata Gamar.
Perjuangan yang tak kenal lelah membuat Gamar bersama warga lainnya harus masuk keluar kantor pemerintah untuk menuntut hak mereka.
“Dari awal itu saya demo, sampai masuk di kantor Bupati. Ketemu pertama di kantor asisten satu, saya pertahankan hak saya dan pertahankan lahan. Selanjutnya Ketemu Bupati, saya pertahankan lahan di sana. Saya bilang untuk Bupati : Hutan di Gane Dalam itu kan kecil dan tipis hanya berjara 3 km ke arah gane luar, kearah timur, tidak seperti Kalimantan dan Sumatra jadi biar sawit itu masuk masih ada tanah yang luas. Saya kasih tahu bupati kalau Gane dalam 1,5 km dan gane luar 1,5 km. jadi kalau perusahan sudah gusur tanah itu saya mau berkebun di mana? karena mereka punya hasil survey itu masuk di kebun masyarakat, saya kasih tahu itu,” Ungkap Gamar saat itu.
Baginya, perkebunan sawit yang masuk tak bisa menggantikan tanaman yang telah diwariskan leluhurnya itu. “Saya bilang pak kalau ganti rugi, biar ganti rugi 10 atau 20 juta per hektar tapi saya akan rugi karena anak cucu saya tidak bisa menikmati lagi. Begitu prinsip saya,”
Berbagai cara telah dilakukan untuk menolak perkebunan sawit, namun saat ini Gamar bersama warga Gane Dalam harus menerima pil pahit karena aspirasi mereka tak sedikitpun didengar oleh pemerintah.
“Ternyata kita yang tidak punya uang ini biarpun perjuangan seperti itu tapi belum ada kemenangan, perusahan itu banyak uang dan begitulah masyarakat Gane Dalam. Akhirnya sekarang kita sangat stenga mati (sulit), karena hasil-hasil yang ada mati semua.
Perempuan Gane Dalam lainnya adalah Yani. Bersama Gamar, Ia menolak kehadiran investasi GMM/Korindo di Kecamatan Gane Barat Selatan.
Perempuan berusia 60 tahun itu tak mampu menyembunyikan kesedihan saat diwawancarai. Ia meluapkan kesedihannya bercampur kalimat semangat meski ia pasrah, saat hutan yang diwariskan leluhurnya itu sudah berubah menjadi kebun sawit.
Rumah Bekas Gempa tahun 2019 lalu, Yani bersama suaminya dan dua anaknya tinggal. Rumah berdinding papan itupun merupakan sisa reruntuhan gempa yang dipakai untuk mereka tinggal.
Saat ini Yani, harus menggantungkan harapannya kepada sisa tanaman yang masih ada. Hutan tempat mereka bergantung dan ragam spesies didalamnya tengah terancam kelestariannya.
Menurut ibu tiga anak, kehadiran PT Gelora Mandiri Membangun (GMM) mulai kehidupan warga Gane saat mereka membuka lahan perkebunan sawit pada 2012.
Di mata ibu tiga anak ini, Ia harus berjuang untuk disisa masa hidupnya. “ saya baru pulang dari kebun. Ini sudah seminggu, saya harus tidur di hutan kumpulkan kelapa untuk diolah menjadi kopra,” kata Yani.
Saat ini Yani masih memiliki lahan milik keluarganya di dekat pesisir Pantai Desa Gane Dalam. Lahannya itu masih utuh, hanya saja dampak perombakan hutan di sekitar membawa petaka baru, salah satunya hama kumbang.
Bersama suaminya selama seminggu di kebun, Yani mengolah Kopra untuk dijadikan uang. “hasil ini tidak seperti dulu lagi, 1-2 ton. Sekarang 200 kilogram itupun sudah untung,”tuturnya.
Singkat cerita, sejak tahun 1980, mama Yani sudah berkebun di kawasan Hutan Gane. Bersama suaminya menanam kelapa. Hasil panen kelapa dibuatkan kopra untuk menyambung hidup. “Luas kebun ini sekitar 2 hektare. Kami tanam kelapa. Sisanya (bidang lahan kosong) tanam pala,” katanya.
GMM mulai beroperasi pada 2014 dan masuk ke kebun yang ditanami warga. “Kami tidak tau kalau tanah dan kebun ini sudah masuk areal PT GMM. Waktu itu (sekitar 2014) saya melihat alat berat sudah masuk kebun dan merobohkan pohon,” ucap Yani.
Sejak saat itu warga Desa Gane Dalam mulai mengkhawatirkan masa depan mereka. Walau tak memiliki sertifikat kepemilikan, tanah dan kebun warga itu telah lama jadi sumber utama ekonomi mereka.
Yani dan warga lalu melapor ke Kepala Desa Gane Dalam dan aparat, tetapi tak satupun yang berpihak kepada mereka. Ia dan suami berupaya mempertahankan lahan, tetapi akhirnya menyerah. Mereka mengaku mendapat berbagai ancaman.
Sekitar tahun 2016, lahan yang mereka kelola dijual ke GMM dengan harga Rp15 juta per hektare. Harga itu, menurut Yani, telah ditentukan perusahaan.
Yani mengatakan, sebelum GMM datang, tak pernah dijumpai kumbang dalam jumlah banyak menyerang tanaman warga. Selain hama, hewan jenis ular berukuran besar yang belum pernah dijumpainya pun sekarang bermunculan.
Hal senada juga dilontarkan Gamar, tanaman miliknya tak lagi bisa diselamatkan akibat diserang hama kumbang.
“Ada hama seperti kumbang, dia makan kita pe kelapa, terus sungai kering. kita tidak bisa berkebun dan tidak bisa bertanam karena banyak tikus.
Dijelaskan saat masa pembibitan, tikus itu makan berbagai tanaman. Tomat, cabai, sayur mayor, terung, labu, mentimun dan tanaman lainnya seperti singkong, ubi talas, ubi jalar juga habis dimakan hama tikus,” sesalnya.
Meski begitu, mama gamal tetap berjuang untuk lahan yang masih tersisa : saya tidak mau hasil saya mereka ambil, harus semangat saja meski kebun rusak.
Pasca gempa, kehidupan Mama Gamal bersama keluarganya sangat sulit.
“Mama paling rasa stenga mati karena setelah gempa, kita mau biking kita punya tempat tinggal di tempat pengungsi kayu juga sudah susah terus disini bilang waka atau daun atap juga tidak ada kan sudah digusur pohon-pohon semua jadi setengah mati, baru katong pakai terpal itu tidak lama, hanya satu bulan karena hancur. Tapi kalau seperti waka atau kassu yang berasal dari pohon sagu jadi daunnya bisa pakai sebagai atap rumbia, tetapi semua sudah digusur jadi tidak ada,” resah ia.
Ia berharap, perjuangan panjang itu bisa direspons oleh pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
“Harapan mama meski dorang bilang sudah tipis tapi mama masih ada harapan, semua pihak kasih semangat mama untuk berjuang selamatkan lahan dari perkebunan kelapa sawit,”harapnya.
“Kami akan terus berjuang supaya perusahan itu tutup atau angkat kaki dari tanah Gane ini, namun kita ini hanya berjuang dnegan mulut, gara merek abisa keluar dari sini supaya kitong jua senang karena anak cucu jua masih banyak,” tambah wanita 52 tahun ini.
“Kalau kelapa, pala, cengkeh, coklat, walau saya sudah meninggal tapi anak cucu saya bisa makan tapi kalau perusahan yang kelola, tidak mungkin anak cucu saya dapat menikmati lagi. Jadim saya tidak mau korbankan saya punya hasilnya begitu
Bagi Gamar, perjuangan menolak perusahan PT.GMM hanya untuk menjaga warisan para leluhur, agar hutan bisa terjaga.
“Kami menyesal ketika perusahan masuk. Menyesal kebun sawit masuk tapi biasanya datang dari belakang. Hutan kita telah habis. Sebelumnya masyarakat bersuka ria. Tapi semuanya belum terlambat, masih ada kesempatan,”kata Gamar.
Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan, menyebutkan kehadiran perkebunan sawit di desa gane, tidak berpengaruh pada hasil penjualan kelapa dalam.
Meskipun seorang pedagang dan pengepul sudah nyata-nyata membantah hal tersebut, lantaran usaha miliknya juga mengalami kerugian lantaran tak ada hasil panen warga yang dijual.
Pemerintah Halmahera Selatan juga mengklaim melakukan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat yang terkena dampak perkebunan kelapa sawit.
“Kita memberdayakan masyarakat salah satunya dengan peningkatan ekonomi masyarakat agar lebih baik. Jadi kita tidak paksaan juga karena itu kerelaan masyarakat,” kata Subhan Kasuba, Kabid Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Halmahera Selatan.
Bahkan kata Kabid Perkebunan Halsel ini, perusahan telah berniat baik membayar lahan milik warga. Hal itu terbukti dengan nota kesepakatan dan jual beli warga dengan perusahan sawit PT. GMM.
“Tidak ada penyerobotan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak baik masyarakat maupun pihak perusahan,” tandasnya.
Walhi Maluku Utara, sebagai LSM Lingkungan terus mendampingi warga, terutama kaum perempuan ditengah sulitnya kondisi perekonomian.
“Sampai dengan saat ini, Walhi masih terus mendampingi masyarakat untuk mendorong bagaimana mewujudkan pro-rakyat di komunitas gane dengan mengangkat kembali produk-produk lokal warga seperti minyak kelapa, keripik dan lainnya dimana untuk mendorong ekonomi lokal warga ditengah ketidakpastian harga komoditi utama warga yakni Kopra,” kata Direktur Walhi Maluku Utara, Ahmad Rusydi Rasjid.
Rasyid menuturkan sampai saat ini warga masih terus bertahan, ditengah ketidakpastian bantuan dari pemerintah akibat dari bencana alam 2019 lalu.
“Setelah masuknya perkebunan monokultur sawit dan gempa atau bencana alam yang terjadi tahun 2019, warga masih tetap berusaaha untuk merebut lahan mereka,”tutur Ia.
Bagi Walhi, perjuangan perempuan gane adalah bentuk perlawanan atas sikap ketidakadilan dari Negara terhadap hak hidup masyarakat Gane Halmahera Selatan.
“Perjuangan warga gane di kabupaten halmahera selatan itu bukan untuk warga gane sendiri tapi untuk maluku utara. Menyelamatkan lingkungan di gane artinya kita telah menyelamatkan ekologi di maluku utara,”jelas Ia.
Korindo dan Deforestasi
KORINDO adalah sebuah konglomerat swasta yang didirikan oleh pengusaha asal Korea Selatan, Eun-Ho Seung, pada tahun 1969. Selama tiga dekade berikutnya, Eun-Ho Seung mengembangkan Korindo menjadi salah satu perusahaan pembalakan dan kayu lapis terbesar di Indonesia.
Mitra bisnis yang penting bagi Korindo selama ekspansinya adalah Mohamad ‘Bob’ Hasan yang pernah menjadi pemilik saham dan direktur di perusahaan kertas milik Korindo, yakni PT Aspex Kumbong. Hasan adalah proksi utama yang menangani dana korupsi yang disalurkan ke Presiden Indonesia saat itu yaitu Soeharto dan keluarganya, dan di tahun 2001 dia dipenjara atas tuduhan pencurian uang negara sebesar 243 juta Dolar AS.
Meskipun telah dijatuhi vonis, Hasan tetap menjadi mitra bisnis Korindo hingga tahun 2017.
Walhi Maluku Utara dalam catatan tentang “ Malapetaka : Korindo, Perampasan Tanah, dan Bank” menyebutkan Korindo tetap menjadi konglomerat keluarga yang terkendali erat dengan entitas bisnis yang terdaftar di setidaknya tujuh negara, di mana sebagian besar pembiayaan dan kepemilikannya terpusat pada entitas Korindo yang terdaftar di British Virgin Islands (BVI). Eun-Ho-Seung merupakan Chairman grup ini dan anaknya, Robert Seung, adalah Senior Vice Chairman.
Menurut Walhi, tanpa adanya entitas yang terdaftar secara publik, konglomerat yang dikuasai keluarga ini hanya mempublikasikan sedikit informasi mengenai usaha dan keuangannya.
Alih-alih secara transparan menunjukkan keseluruhan operasi Korindo di sektor hutan, konglomerat ini justru memilih menampilkan perusahaannya saling terpisah. Sebagai contoh, perusahaannya Tunas Sawa Erma ditampilkan di laman situsnya sebagai grup kelapa sawit dengan kepemilikan yang terpisah tanpa menyebutkan sama sekali sebagai bagian dari Grup Korindo.
Grup ini menguasai konsesi kelapa sawit dengan total luasan hampir 160.000 ha yang semuanya berada di provinsi yang relatif belum dikembangkan, yaitu Papua dan Maluku Utara, dan berencana mengembangkan perkebunan karet seluas 27.000 ha di Provinsi Maluku.
Korindo mengoperasikan 94.000 ha perkebunan kayu pulp di Kalimantan Tengah dan 525.000 ha konsesi pembalakan di Papua dan Kalimantan. Korindo adalah produsen utama kayu lapis di Indonesia di mana ekspor dari grup ini mencapai sekitar 4 persen total ekspor Indonesia. Pabriknya berada di Kalimantan Timur (PT Balikpapan Forest Industries), Kalimantan Tengah (PT Ariabima Sari) dan Papua (PT Korindo Abadi) dan pasar utama kayu lapisnya adalah Arab Saudi, Jepang, Uni Emirat Arab, dan Belgia.
Walhi Maluku Utara Memaparkan dalam laporannya, berdasarkan laporan yang disusun Korindo untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hampir seperempat kayu bulat yang Korindo olah menjadi kayu lapis pada tahun 2016-2017 berasal dari pembukaan hutan, atau yang dikenal sebagai ‘kayu hasil konversi’. Kayu bulat yang ditebang pada saat pembukaan hutan untuk konsesi perkebunannya merupakan salah satu sumber kayu utama bagi pabriknya. Korindo diperkirakan telah menebang lebih dari 30.000 hektar hutan alam tropis pada periode 2013-2016 dan 23.000 hektar sebelum tahun 2013. Konsesi perkebunannya kini mencakup setidaknya 150.000 hektar hutan alam yang terancam dikonversi.
Secara keseluruhan, 71% deforestasi hutan tropis diakibatkan oleh konversi hutan menjadi lahan pertanian/perkebunan komersial, dan ketergantungan Korindo kepada kayu hasil konversi untuk pasokan kayu lapisnya menunjukkan tidak adanya keberlanjutan dalam produk kayu yang dihasilkannya.
Grup Korindo menggunakan metode pembakaran terbuka untuk membuka lahan sebelum penanaman. Metode pembakaran ini merupakan praktik ilegal di Indonesia.
Korindo juga menggunakan teknik ini dalam proyek kayu pulp-nya yang dioperasikan oleh PT Korintiga Hutani. Izin Lingkungan perusahaan ini dihentikan sementara pada tahun 2015 karena adanya pelanggaran peraturan lingkungan dan insiden kebakaran.
Kegiatan operasinya melibatkan perampasan tanah dan konflik serius dengan masyarakat, dan perusahaan ini juga terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap masyarakat adat yang ada di wilayah operasinya.
Provinsi Maluku Utara terletak di bagian timur Indonesia yang dikenal sebagai wilayah bio-geografi Wallacea yang kaya dengan flora dan fauna endemiknya, termasuk diantaranya pala, fuli dan cengkeh.
Maluku Utara mengalami kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat pertambangan berkepanjangan. Akan tetapi, tidak seperti provinsi lainnya di Indonesia, Maluku Utara belum mengalami deforestasi permanen besar-besaran sebagaimana dialami provinsi lain, dan dibandingkan luas daratannya Maluku Utara masih memiliki tutupan hutan yang paling tinggi dari semua provinsi di Indonesia.
Kehadiran investasi PT GMM/Korindo membawa ancaman berupa perampasan tanah dan laju deforestasi akibat pembukaan hutan untuk kelapa sawit di Maluku Utara .
Pada kasus di Kabupaten Halmahera Selatan, investasi PT GMM/Korindo pada perkebunan kelapa sawit ditentang secara luas oleh masyarakat Gane karena menghancurkan tanah pertanian dan hutan milik masyarakat secara paksa serta tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban hukum usaha perkebunan.
Saat ini, PT GMM/Korindo ingin menguatkan usaha investasinya di wilayah Gane dengan membangun pabrik kelapa sawit (PKS), dan memperluas wilayah usahanya dengan mengambil alih tanah pertanian masyarakat dan hutan alam.
Operasi investasi PT GMM/Korindo ini terjadi di suatu wilayah bernama Gane yang menjadi suatu contoh praktik korporat yang mencoreng tata kelola sektor kelapa sawit di Indonesia. Hal ini menunjukkan bagaimana perusahaan oportunis memanfaatkan lemahnya pemerintah daerah untuk mendapatkan akses terhadap kayu bernilai tinggi dan lahan, menghancurkan kegiatan ekonomi yang ada dan meninggalkan dampak permanen terhadap sosial dan lingkungan.
Warga Desa Gane dan aktivis lokal dari Walhi Maluku Utara mendokumentasikan pembakaran terbuka tidak jauh dari Desa Gane Dalam dan Sekely pada tahun 2014-2015. Warga menyatakan api berasal dari tumpukan kayu yang disusun pekerja perusahaan dan siap untuk dibakar.
Penyidikan mendalam terhadap proses pembukaan lahan Korindo yang dipublikasikan pada tahun 2016 juga menduga Korindo menggunakan api secara sistematis untuk membuka lahan dalam konsesi sawitnya di Papua dan Maluku Utara. Laporan tersebut juga menemukan bahwa pada tahun 2013-2015, terdapat lebih dari 894 titik api diamati dalam wilayah konsesi perusahaan Korindo.
Data satelit ini diperkuat dengan foto udara menunjukkan adanya tumpukan besar kayu dan kebakaran di dalam konsesi perusahaan. Pada tahun 2015, izin milik PT Korintiga Hutani, yang merupakan anak perusahaan kayu pulp Korindo, dibekukan sementara akibat terjadinya kebakaran.
Pembakaran terbuka menyebabkan kerugian serius terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, dan dapat dikenakan denda dan hukuman penjara.
Praktik ini menjadi penyumbang utama terhadap kebakaran dan asap selama musim kemarau, dan menyebabkan dampak besar-besaran terhadap kesehatan masyarakat di seluruh wilayah Asia Tenggara serta kerugian ekonomi lebih dari 16 miliar Dolar AS bagi Indonesia.
Menanggapi tuduhan dalam laporan ini, Korindo melampirkan surat ditandatangani tanggal 16 Februari 2016 dari Dinas Kehutanan menyatakan bahwa pembukaan lahan di PT GMM “dilakukan secara mekanis dengan menggunakan alat berat dan tidak ada pembukaan lahan yang dilakukan dengan api.
Dengan adanya bukti foto dan citra satelit kebakaran terbuka di PT GMM, Walhi Maluku Utara dalam laporannya mempertanyakan kebenaran pengecekan lapangan oleh dinas tersebut, yang menanggapi insiden dari 1-2 tahun sebelumnya.
Korindo secara terbuka menyangkal menggunakan api secara sengaja dalam operasinya dan menyatakan bahwa perusahaan tidak punya alasan atau memperoleh keuntungan dari membakar hutan. Perusahaan juga menyebutkan bahwa beberapa kejadian kebakaran di dalam wilayah konsesinya diakibatkan oleh kekeringan.
“Kami tidak pernah melakukan pembukaan hutan dengan cara, membakar hutan di kawasan Gane Dalam dan sekitarnya, yang kami gusur itu lahan yang sudah dijual warga Gane Dalam dan sekitar kecamatan Gane Barat Selatan,” jelas Mizwar Mustafa, Humas Lapangan PT GMM.
Tulisan ini juga sudah pernah dimuat di titastory.id dan Mongabay Indonesia.
Foto utama: Sanusi Wahab, warga Gane Dalam menunjuk sebagian lahan kebunnya yang telah menjadi perkebunan sawit. Foto: Christ Belseran.