Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan ujung tombak tata kelola hutan di tingkat tapak di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara konseptual kehadiran KPH menggeser porsi pengelolaan hutan dari forest administrator menjadi forest manager sehingga diharapkan mampu mengurai permasalahan yang selama ini dibenturkan antara para aktor (masyarakat, negara, perusahaan). Misalnya, kasus tumpang tindih perizinan dan konflik sosial. KPH dalam konteksnya sebagai mandat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan seharusnya mampu memberikan perlindungan hukum bagi siapapun termasuk melindungi hak-hak masyarakat adat, yang telah lebih dulu hidup dan melakukan pemanfaatan kawasan hutan jauh sebelum konsep pengelolaan hutan itu sendiri ada.
Pembangunan KPH Dalam Rangka Perbaikan Tata Kelola Hutan
Proses pembangunan KPH mengalami beberapa hambatan dalam satu dasawarsa terakhir. Misalnya saja pembentukan wilayah KPH di masing-masing provinsi yang membagi kawasan hutan menjadi wilayah KPH tidaklah sepenuhnya diterima masyarakat. Potret hasil kajian FWI di 5 provinsi menunjukan bahwa, mandeknya pembangunan KPH bermula dari proses penataan batas kawasan yang cenderung memenuhi kebutuhan administratif saja. Legitimasi masyarakat seringkali menjadi sisi lain yang sengaja dilewatkan, sehingga menjadi beban masa lalu bagi KPH yang pertama perlu diselesaikan.
Hingga tahun 2014 sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, terhitung efektif diimplementasikan pada tahun 2016 akhir, yang isinya memerintahkan untuk menarik seluruh kewenangan pengelolaan hutan oleh KPH ke Pemerintah Provinsi. Dibalik alotnya proses pelimpahan personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D) yang membuat lambatnya pembentukan kelembagaan KPH di tiap provinsi, menyebabkan vakumnya pengelolaan hutan bahkan diberhentikannya staff lapangan karena ketidakmampuan Pemerintah Provinsi membayar tenaga kontrak. Sejak proses limbungnya pembangunan KPH pasca diimplementasikannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dilewati, setidaknya terhitung awal tahun 2017 kelembagaan KPH mulai dibentuk kembali oleh Gubernur di setiap provinsi dengan wilayah pengelolaan yang mengalami penggabungan dan pemisahan.
Di dalam buku Panduan Penilaian Kinerja Pembangunan dan Pelaksanaan Pengelolaan Hutan di Wilayah KPH versi 2.0 disebutkan bahwa terdapat 9 kriteria, 28 indikator, dan 62 elemen kualitas yang menjelaskan faktor penting pengelolaan hutan yang seharusnya terinternalisasi dalam setiap rencana dan realisasi pembangunan dan pengelolaan hutan di wilayah KPH yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah.
Mengingat pentingnya kehadiran KPH dalam pengelolaan hutan di Indonesia, setidaknya selama tahun 2015 sampai 2019 FWI telah melakukan penilaian terhadap kinerja pembangunan KPH pada 8 wilayah KPH. Tiga diantaranya merupakan Unit KPH yang potret pengelolaannya dibahas dalam publikasi ini, yaitu KPHL Bukit Barisan Sumatera Barat, KPHL Unit I Aceh, dan KPH Keerom Papua. Ketiga KPH ini dinilai memiliki karakteristik unik ditinjau dari aspek kewilayahan, kondisi sosial ekonomi, kelembagaan, wewenang pemerintahan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.