Limbungnya Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Pasca Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

Studi Kasus Pada KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) Sungai Wain-Sungai Manggar Kalimantan Timur, KPHL Kulawi Sulawesi Tengah, dan KPHP Model Kapuas Hulu Kalimantan Barat

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) telah mengeluarkan Rencana Strategis Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dengan terbitnya Permenhut 51/Menhut-II/2010 tentang penetapan wilayah KPH dan operasionalisasi 120 KPH Model di seluruh Indonesia. Penetapan wilayah KPH Model tersebut bertujuan untuk percepatan operasionalisasi KPH di seluruh Indonesia. Sampai dengan bulan Desember 2013, sudah ada 120 unit KPH Model yang telah ditetapkan dari jumlah total KPH sebanyak 530 unit.

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai mandat dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, diharapkan menjadi solusi untuk memperkuat kelembagaan dan implementasi tata kelola hutan di tingkat tapak. KPH sebagai unit pengelolaan hutan terkecil menjadi penting perannya untuk menjawab persoalan-persoalan akan tingginya deforestasi dan degradasi hutan. Dilihat dari perspektif tata kelola, ketidakhadiran unit pengelola hutan di tingkat tapak ditengarai sebagai salah satu penyebab utama kegagalan terhadap berbagai program kehutanan, baik dalam rangka rehabilitasi lahan kritis, perambahan hutan, penebangan liar, konflik tenurial, termasuk dalam rangka perlindungan dan pengamanan hutan.

Peran KPH akan menggeser titik tumpu peran birokrat kehutanan dari forest administrator menjadi forest manager, dan mampu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan (Kartodihardjo & Suwarno, 2014). Selain itu, keberadaan KPH juga seharusnya menjadi instrumen kebijakan “transisi” menuju desentralisasi dan devolusi (perpindahan) pengelolaan hutan di Indonesia.

Namun faktanya, pembangunan dan operasionalisasi KPH sampai saat ini masih saja harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala. Termasuk akan menghadapi tantangan dan kendala dalam bentuk lain, setelah terbitnya regulasi baru tentang pembagian kewenangan Pemerintah Daerah. UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, akan mempengaruhi perubahan kewenangan, struktur kelembagaan dan kewilayahan pengelolaan hutan oleh Pemerintah Daerah, yang selama ini telah terbangun di tingkat kabupaten dan kota.

Berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2004, di dalam UU No. 23 Tahun 2014 diatur bahwa kewenangan pengurusan hutan akan dipusatkan kembali kepada Pemerintah Provinsi dan Pusat. Sehingga memunculkan beragam respon dari para penyelenggara negara di tingkat daerah. Hal ini tidak lepas dari kesiapan daerah (kabupaten/kota dan provinsi) dalam menyikapi perubahan-perubahan pasca penerapan undang-undang ini. Perubahan relasi dan kewenangan antar pemerintah provinsi dan kabupaten dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan, menjadi salah satu titik kritis yang harus disikapi secara bijak dan cepat. Bila tidak, maka berpeluang menghambat upaya percepatan pembangunan dan operasionalisasi KPH di seluruh Indonesia yang telah dimulai sejak 7 (tujuh) tahun terakhir ini.

Dengan pemberlakuan UU No. 23 tahun 2014, implikasi perubahan pertama yang harus segera diselesaikan adalah pembaruan regulasi. Hal ini dikarenakan peraturan turunan dari UU No. 32 Tahun 2004, seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 dan Permendagri No. 61 Tahun 2010, sebagai landasan hukum pembangunan dan operasional KPH, sudah tidak bisa diacu lagi(Suwarno et al., 2016). Peraturan tersebut harus segera diganti dengan PP dan peraturan menteri yang baru, yang mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2014. Perpindahan kewenangan ini berimplikasi juga terhadap beberapa inisiatif dan proses pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)/Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang mengalami stagnasi (Suwarno et al., 2016), seperti yang dialami oleh KPHP Kampar Kiri di Provinsi Riau. Sedangkan perubahan yang paling mendasar adalah tata hubungan kerja antar instansi Pemerintah, yang menyangkut struktural, otoritas, relasi, termasuk kapasitas sumber daya yang dimiliki masing-masing pihak.

Informasi Lebih Lanjut, Silahkan Klik:

LIMBUNGNYA PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PASCA PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
 

Penyusun:
Andi Chairil Ichsan
Anggi Putra Prayoga
Soelthon Gussetya Nanggara
Christian Bob Purba

Thank you for your vote!
Post rating: 5 from 5 (according 1 vote)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top