HADIRKAN INKLUSI: Ketimpangan Penguasaan Hutan dan Lahan, Transparansi Kunci Perwujudan Keadilan di Wilayah Timur Indonesia

Jakarta, 15 Februari 2024 – Isu keadilan dan ketimpangan penguasaan hutan dan lahan selalu menjadi komoditas politik dalam setiap momen pergantian pemerintahan. Baik pada momen pemilu 2019 antara Prabowo Subianto vs. Joko Widodo, juga pada debat capres terakhir pada Minggu, 04 Februari 2024, yang mengangkat tema Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi.

Pasca pemilihan umum yang diselenggarakan oleh KPU kemarin tanggal 14 februari 2024, tentunya tantangan bagi pemimpin kedepan adalah mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan menyelesaikan ketimpangan penguasaan hutan dan lahan di Indonesia agar tidak hanya menjadi komoditas politik semata.

Apakah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan dalam setiap debat hanya sebatas serangan bagi lawan politik atau memang fakta sesungguhnya yang menunjukan asimetris informasi bahwa kekayaan Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang saja?

Sebagai contoh, Paslon 01, Anies Baswedan, menyoroti masalah ketimpangan yang perlu menjadi fokus perbaikan di negara ini. Menurutnya, persoalan tertinggi di Indonesia adalah adanya ketimpangan, ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Bahkan di bidang perekonomian segelintir orang menguasai sebagian besar perekonomian Indonesia.

Paslon 01 dengan yakin menginginkan persatuan dengan ditopang keadilan,  karena kesatuan itu tidak mungkin terjadi dalam ketimpangan, persatuan membutuhkan rasa keadilan.

“Misi kami, tegas, mewujudkan bangsa yang sehat, cerdas, sejahtera, berbudaya dan bersatu. Komitmen kami, fokus pada pembangunan manusia Indonesia, menghadirkan kesetaraan, keadilan sehingga ada persatuan dan perubahan,” Ujar Anies.

Paslon 02, Prabowo Subianto, memaparkan strategi transformasi nasionalnya yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kualitas hidup masyarakat. Melalui strategi ini, Prabowo berkomitmen untuk mengatasi berbagai permasalahan, seperti tingginya angka kematian ibu dan anak, masalah gizi buruk, kemiskinan ekstrem, serta peningkatan produksi pertanian. Ia menargetkan peningkatan kualitas hidup masyarakat sebesar 1,5 hingga 2 persen.

“Musuh kita adalah kelaparan, musuh kita adalah kesulitan rakyat, kita harus atasi, kita bangun Indonesia kuat, adil, makmur, aman untuk semua, adil untuk semua,” Kata Prabowo.

Paslon 03, Ganjar Pranowo, memberikan tiga janji berupa taat kepada tuhan, patuh kepada hukum dan keadilan, dan setia kepada rakyat. Menurutnya, janji ini adalah jawaban dari berbagai keluhan rakyat yang sudah seringkali dikecewakan oleh para pemimpinnya.

“Kita tidak boleh lagi membiarkan kekecewaan itu terulang dan kemarahan rakyat kemudian muncul, lalu mereka menjadi apatis. Dan kali ini, beri suara Anda kepada calon yang konsisten, yang visioner, yang mampu mendengarkan rakyat, negarawan, reformis, dan tidak punya persoalan,” Ucap Ganjar.

Ganjar juga menyoroti kekhawatiran masyarakat terhadap praktek nepotisme di kalangan pejabat publik, yang mengedepankan kepentingan keluarga diatas segalanya, termasuk kepentingan rakyat.

Pada penutupan debat, setiap calon pasangan menyuarakan prinsip keadilan bagi masyarakat Indonesia dan urgensi kehadiran negara dalam menangani setiap persoalan di tingkat tapak.

Potret Penguasa Tanah di Wiliyah Timur Indonesia

Janji-janji manis berseliweran mengenai perwujudan keadilan dan kesejahteraan rakyat demi mencapai tujuannya, yaitu memimpin Indonesia. Ketimpangan ekonomi, monopoli lahan, dan privatisasi sumber daya alam memang merupakan indikator utama masalah kesejahteraan sosial di Indonesia.  Kasus nyata telah terjadi, dimana data informasi dalam ketimpangan penguasaan hutan dan lahan terjadi secara asimetris. Publik dibuat bingung dengan dijadikannya data dan informasi seputar hutan dan lahan sebagai komoditas politik.

Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, mengatakan bahwa point pentingnya adalah transparansi mengenai data dan informasi penguasaan hutan dan lahan yang cenderung tidak merata atau hanya dikuasai segelintir oknum. Transparansi menjadi kunci mewujudkan keadilan dalam mengurai permasalahan ketimpangan penguasaan hutan dan lahan.

Dalam konteks ini, menjadi jelas bahwa pernyataan yang disampaikan terhadap publik belum dapat memastikan kebenaran sesungguhnya.

Hal ini terpotret pada keadaan hutan di Wilayah Timur Indonesia, yang meliputi tanah dan perairan di Maluku dan Papua. Timur Indonesia menjadi benteng terakhir dalam pelestarian sumber daya alam Indonesia. Selain itu, wilayah ini juga merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat yang telah menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati yang ada selama berabad-abad.

Tantangan besar muncul ketika sebagian besar ruang tersebut sudah terkavling untuk perizinan dan investasi, meninggalkan sedikit ruang bagi masyarakat adat. Tanpa adanya penerapan prinsip-prinsip PADIATAPA maka sulit memunculkan narasi keadilan di Wilayah Timur Indonesia. Akibatnya, kerusakan sumber daya alam semakin meningkat dan ruang hidup masyarakat semakin terancam.

FWI mencatat perusahaan-perusahaan besar sudah menguasai tanah dan perairan di wilayah Timur Indonesia. Di Provinsi Maluku Utara, hutan dan lahannya sudah dikuasai oleh 44 izin usaha pertambangan (IUP) nikel dan 1 kontrak karya.

Total luasan lahan yang diberikan berdasarkan catatan Forest Watch Indonesia (FWI) seluas 201 ribu hektar. Puluhan izin itu terbesar di antaranya diserahkan kepada PT. Weda Bay Nickel seluas 45 ribu hektar, PT Halmahera Sukses Mineral mencapai 7.726 hektar, 1.000 hektar kepada PT Tekindo Energi, PT Karunia Sagea Mineral menguasai 1.225 hektar, dan PT First Pacific Mining seluas 2.080 hektar.

Di Papua, berdasarkan catatan FWI rata-rata grup perusahaan bisa menguasai 6 sampai 10 persen. Tercatat 6 grup perusahaan yang menguasai hutan dan lahan di Papua, yaitu KLI Group (632 ribu hektare/ 10%), RGM Group (549 ribu hektare/ 8%), Sinar Wijaya (547 ribu hektare/ 8%), Alamindo Grup (460 ribu hektare / 7%), Korindo Group (417 ribu hektare / 6%), dan Masindo Group (406 ribu hektare / 6%).

Perkebunan kelapa sawit juga menguasai Wilayah Timur di Papua, berdasarkan laporan econusa.id, beberapa Izin Usaha Perkebunan 2018 yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten maupun Pemerintah Provinsi Papua Barat, luas konsesi perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi/aktif di Provinsi Papua Barat saja mencapai seluas 759.156,6 hektar.

Stagnasi Dalam Merealisasikan Keadilan di Wilayah Timur Indonesia

Keadaan penguasaan hutan dan lahan yang terjadi di Wilayah Timur Indonesia merupakan potret ketimpangan. Oleh sebab itu masyarakat adat menegaskan hak atas sumber-sumber agraria yang berkeadilan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah berupa pengakuan. Pendekatan saat ini dinilai belum cukup memperhatikan kepentingan masyarakat adat, bahkan mengabaikan hak mereka agar dapat menentukan nasib mereka sendiri.

Berdasarkan catatan FWI, di Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku, masyarakat adat terus berjuang melawan perizinan berupa berbagai perusahaan besar yang ingin menguasai wilayah adat masyarakat. Sejarah panjang konflik tenurial menjadi sorotan, dimana masyarakat adat Aru telah lama melawan berbagai rencana  investasi lahan skala besar seperti peternakan sapi, perkebunan tebu, hingga perdagangan karbon.

Usaha perdagangan karbon seperti Melchor Group di Kabupaten Kepulauan Aru setidaknya telah memunculkan polemik dengan mengkapling tanah adat masyarakat untuk kepentingan bisnisnya. Padahal, sejak awal datang ke Kepulauan Aru di tahun 2022, Melchor Group tidak pernah melakukan sosialisasi mengenai bisnis utama mereka terkait perdagangan karbon kepada masyarakat. Pihak Melchor hanya menyampaikan tentang rencana budidaya kepiting bakau dan rumput laut di beberapa desa di kecamatan Aru Tengah, Aru Tengah Timur dan Aru Utara Timur.

Hal ini menjadi contoh konkret bagaimana kepentingan bisnis seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan berdampak pada ketidakadilan sosial dan lingkungan. Penyimpangan informasi dilakukan oleh korporasi-korporasi besar guna dapat menguasai tanah adat masyarakat.

Kesimpulan

Ketimpangan dalam penguasaan hutan dan lahan mencerminkan gambaran tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam harus didasarkan pada prinsip transparansi data dan fakta terkini, agar siapa pun yang menjadi pemimpin selanjutnya memiliki pemahaman yang lebih baik dalam mewujudkan keadilan yang merupakan esensi dari Pancasila. 

Data informasi yang berseliweran selama momen politik seringkali hanya sebagai komoditas politik dan tidak mampu menggambarkan situasi yang sesungguhnya. Transparansi menjadi kunci dalam memotret keadaan hutan dan lahan yang menggambarkan tingginya tingkat penguasaan hutan dan lahan oleh perusahaan besar yang justru merugikan masyarakat adat. Rendahnya laju pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat di Wilayah Timur Indonesia harus menjadi sorotan utama.

FWI menyoroti pentingnya transparansi dalam mengurai permasalahan ketimpangan penguasaan hutan dan lahan guna mewujudkan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Akselerasi pengakuan masyarakat adat di Wilayah Timur Indonesia salah satu bentuk nyata untuk mewujudkan cita-cita Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Thank you for your vote!
Post rating: 2.6 from 5 (according 10 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top