Gimik Transisi Energi Dalam Perdebatan Cawapres

Jakarta, 5 Februari 2024. Respon masyarakat terhadap debat calon wakil presiden (cawapres) terus mengalir,  khususnya terkait transisi energi yang terkesan gimmick dan menjadi sorotan pada Minggu (21/1/2024) malam. 

Seiring dengan dukungan terhadap langkah-langkah menuju energi bersih, juga muncul keprihatinan terhadap kebijakan yang diusulkan para cawapres karena seakan mengutarakan janji manis dan bagaimana menjalankan transisi energi menjadi tidak jelas.

Meskipun persoalan transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan dibahas dalam debat malam itu, perhatian masyarakat selama lebih dari sepekan lebih terfokus pada gestur dan etika kandidat di media sosial, terutama seiring munculnya kontroversi seputar green flation.

Dilansir dari Trendasia.org, dijelaskan bahwa transisi energi berkeadilan yang berulang kali disebut para kandidat cawapres tidak menyinggung demokratisasi energi secara substansial atau hak masyarakat untuk menentukan sumber energi yang mereka butuhkan.

Ketiga kandidat juga tidak menyampaikan komitmen menghentikan perizinan PLTU baru di kawasan industri atau tidak adanya kejelasan soal komitmen nol deforestasi, padahal PLTU adalah bentuk eksploitasi lingkungan yang menyebabkan deforestasi. Ketergantungan pada batu bara juga menjadikan beberapa wilayah rentan terhadap bencana ekologis.

Dilansir dari betahita.id, masalah batu bara ini akan terus berlanjut karena istilah EBT terkhusus istilah energi baru yang berkali-kali disebut oleh para cawapres juga masih memuat pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi dalam bentuk gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan, batubara tergaskan, hingga PLTU co-firing (pencampuran batu bara dengan kayu untuk bahan baku PLTU).

Berdasarkan sains dan riset, transisi energi memang menjadi jalan terbaik untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim, terutama pemanasan global. Tantangannya, transisi energi memerlukan investasi yang signifikan.         

Namun, alih-alih menciptakan solusi terkait permasalahan ini, seharusnya calon wakil presiden (Cawapres) dalam debat tersebut memfokuskan perhatian pada dukungan terhadap energi terbarukan dan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama dengan menunjukan keberpihakan terhadap inklusifitas transisi energi di Indonesia pada kelompok-kelompok marjinal.

Transisi Energi: Pengurangan Jumlah Kendaraan Berbasis BBM 2040?

Pada saat ini, Indonesia masih bergantung pada energi berbasis fosil, baik untuk sektor kelistrikan maupun transportasi. Pemenuhan kebutuhan listrik masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, sementara sektor transportasi masih sangat bergantung pada energi fosil. Itulah mengapa transisi energi menjadi salah satu janji dari para calon pemimpin 2024.

Namun, dilansir dari Liputan6.com, akibat transisi energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi adanya pengurangan jumlah kendaraan berbasis BBM kedepannya. Bahkan, pada 2040 mendatang, hanya tersisa 40 persen dari jumlah total kendaraan yang ada. Salah satunya peralihan dari kendaraan bertenaga BBM, internal combustion engine (ICE) ke kendaraan listrik berbasis baterai.

Manajer Kampanye Intervensi Kebijakan dan Media FWI Anggi Putra Prayoga menyatakan bahwa transisi energi sebagai bentuk pengurangan emisi dari sektor energi seharusnya dengan betul-betul meninggalkan ketergantungan kita pada komodifikasi sumber daya alam yang berbasis hutan dan lahan. Setidaknya sampai 2030 Indonesia masih akan menggunakan teknologi pembakaran di PLTU dengan mencampur biomassa kayu yang berasal dari eksploitasi hutan.

Program biodiesel juga meninggalkan permasalahan dalam upaya pengurangan emisi dari sektor energi. FWI (2023) mencatat perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menerima dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setidaknya tercatat melakukan pengrusakan hutan di dalam konsesi mereka dengan total luas 3811 hektare untuk membangun kebun energi berupa kelapa sawit. Energi yang dihasilkan dari deforestasi jauh dari energi bersih dan keberlanjutan. Namun ini masih dipercaya sebagai upaya pengurangan emisi dalam proses transisi energi dewasa ini, jelas Anggi.

Elektrifikasi kendaraan listrik di Indonesia juga masih diwarnai catatan buruk terhadap operasionalisasi pertambangan nikel di Indonesia yang notabene menempati wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Program hilirisasi nikel meninggalkan banyak permasalahan seperti meningkatkan laju kerusakan hutan, pencemaran sungai dan laut, menurunnya sumber daya perikanan tangkap, menghilangnya ruang hidup masyarakat adat di Maluku Utara serta ruang pangan masyarakat. FWI (2023) mencatat bahwa deforestasi yang ditimbulkan akibat program hilirisasi nikel dan pertambangan nikel di Indonesia total mencapai 58,76 ribu hektare. Ini kinerja yang buruk dari hilirisasi nikel yang perlu diaudit.

Narahubung:
Media Forest Watch Indonesia (0857-2034-6154)
Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top