EKSKLUSIFITAS PROYEK TRANSISI ENERGI DARI SEKTOR KEHUTANAN

Overview Eksklusifitas Proyek Transisi Energi dari Sektor Kehutanan

Target transisi energi Indonesia dilakukan dengan meningkatkan porsi bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan pada tahun 2050 paling sedikit sebanyak 31 persen. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Untuk memenuhi target capaian bauran tersebut, salah satunya dengan melakukan eksplorasi sumber daya, potensi dan/atau cadangan terbukti energi, yakni dari energi baru dan energi terbarukan. Kedepan, disebutkan juga dalam peraturan tersebut bahwa prioritas pengembangan energi nasional didasarkan pada prinsip memaksimalkan penggunaan energi terbarukan.

Strategi percepatan Energi Baru Terbarukan dilakukan melalui:
1. Substitusi Energi Primer/Final, dengan tetap menggunakan eksisting teknologi program B30-B50, cofiring, pemanfaatan RDF
2. Konversi Energi Primer Fosil, dengan penggantian teknologi pembangkit/konversi. PLTD atau PLTU digantikan dengan PLT EBT
3. Penambahan Kapasitas EBT, untuk memenuhi demand baru; fokus kepada PLTS
4. Pemanfaatan EBT Non Listrik seperti Bahan Bakar Nabati, biobriket, biogas, dan biomethane/bio-CNG

TANAMAN BIOMASSA GAMAL PADA BKPH SANCA KPH INDRAMAYU

Dalam tulisan ini akan dibatasi pada sumber energi yang tergolong pada Bioenergi, yakni berupa biomassa kayu dan bahan bakar nabati (BBN/Biofuel/Biodiesel). Keduanya sangat erat kaitan dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya kawasan hutan dan lahan. Seperti untuk program biodiesel non-listrik, cofiring biomassa di 52 PLTU PLN, dan full firing biomassa untuk Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) yang ditargetkan di setiap provinsi untuk dioperasikan. Biomassa kayu yakni yang berasal dari hasil pembangunan hutan tanaman energi, sementara biodiesel yang selama ini berasal dari kebun energi – perkebunan kelapa sawit.

Untuk program cofiring biomassa kayu, setidaknya untuk memperoleh kapasitas produksi sebesar 2,7 GigaWatt saja seperti yang ditargetkan, membutuhkan biomassa kayu hingga 14 juta ton per tahun. Sementara itu, Kementerian ATR/BPN2 diminta untuk menyediakan lahan seluas 4 juta hektare secara bertahap khusus untuk kebun energi selama 2016 sampai 2025, untuk memenuhi program B30-B50 bioenergi non listrik. Dengan kata lain program peningkatan bauran bioenergi dalam bauran energi nasional sangat bergantung pada sumber daya kawasan hutan dan lahan.

Tentunya permasalahan deforestasi, ruang, lahan, dan fungsi bakal menjadi sorotan kedepan, yang selama ini dinilai menghambat jalannya proyek energi yang notabene membutuhkan lahan yang luas namun masih terjegal kebijakan yang ada. Sumber daya kawasan dan lahan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan peningkatan proporsi bauran bioenergi dalam impelementasi Kebijakan Energi Nasional3. Berbagai strategi diluncurkan oleh Kementerian ESDM4, di antaranya dengan:

a. Menyusun mekanisme pemanfaatan Lahan untuk menjamin penyediaan energi pada lahan yang tumpang tindih dengan kebutuhan lain.
b. Memfasilitasi proses layanan penerbitan izin pemanfaatan kawasan hutan (pinjam pakai, kerja sama, pemanfaatan jasa lingkungan, atau pelepasan kawasan hutan) untuk sarana dan prasarana, dan instalasi pembangkit, transmisi dan distribusi listrik.
c. Membentuk wilayah usaha baru ketenagalistrikan tersendiri di luar Jawa, Madura, Bali.

Untuk informasi selengkapnya dapat di download melalui link berikut : 

EKSKLUSIFITAS PROYEK TRANSISI ENERGI DARI SEKTOR KEHUTANAN
Published: Juni 4, 2023

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top