AKSESIBILITAS DAN PROYEKSI DEFORESTASI DARI PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN ENERGI

Overview Aksesibilitas dan Proyeksi Deforestasi dari Pembangungan Hutan Tanaman Energi

Upaya meningkatkan bauran energi baru terbarukan sebanyak 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050, memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap sektor hutan dan lahan. Penggunaan biomassa dari kayu diklaim sebagai terobosan dalam strategi meningkatkan porsi energi baru terbarukan sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional tahun 2017. Implementasinya, dalam dokumen RUPTL1, Perusahaan Listrik Negara (PLN) berkomitmen untuk mengimplementasikan bauran pembakaran (cofiring) hingga 10 persen di 52 PLTU di Indonesia sebagai bagian dari proyek transisi energi. Biomassa berdasarkan target proporsi tertentu akan menggantikan energi final batubara dan dibakar secara bersamaan dengan batubara. Inilah yang kemudian diklaim sebagai energi bersih dari penggunaan biomassa sebagai sumber energi terbarukan. Praktik ini dilakukan dalam rangka pengurangan emisi dari sektor energi termasuk hutan dan lahan.

Strategi percepatan Energi Baru Terbarukan2 :

Saat ini, sudah ada 13 perusahaan pemegang izin IUPHHK-HT (HTI-Hutan Tanaman Industri) yang sudah mengajukan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan bahkan sudah melakukan pembangunan Hutan Tanaman Energi pada areal izin/konsesinya. Ke-13 perusahaan HTI tersebut telah mengalokasikan areal untuk energi seluas 142.172 Ha dengan realisasi tanaman sampai 2020 adalah sebesar 8.848 Ha. Masih ada 18 perusahaan HTI lain yang sudah berkomitmen untuk bertransformasi mengajukan PBPH untuk energi untuk membangun Hutan Tanaman Energi (HTE). Di Jawa, Perum Perhutani juga berkomitmen dengan mengalokasikan sebesar 120 ribu Ha untuk energi dengan realisasi tanaman sampai Maret 2021 adalah sebesar 28 ribu Ha3. KLHK menargetkan pembangunan 31 HTE dengan luas 1,29 juta Ha dalam rangka memenuhi kebutuhan produksi biomassa dari kawasan hutan. 

FWI mendapatkan temuan yang menarik, dimana dari 13 perusahaan HTI yang kemudian secara unit bisnis melakukan transformasi ke Hutan Tanaman Energi mengalami kehilangan hutan di dalam konsesinya. Dari total keseluruhan konsesi HTI seluas 570,97 ribu Ha, terjadi deforestasi sebesar 55,54 ribu Ha selama kurun waktu 2017 sampai 2021. Nilai tersebut hampir 10 persen dari total konsesi. Dan seluas 166,94 ribu Ha hutan alam tersisa di dalam konsesi tersebut dalam keadaan benar-benar terancam karena berada dalam status deforestasi yang direncanakan.

Kinerja perusahaan dalam melakukan pemenuhan pembangunan Hutan Tanaman Energi (energy plantation) tidak bisa menjamin keselamatan hutan alam. Dari temuan ini, kemudian FWI mencoba melakukan analisis lebih mendalam lagi mengenai estimasi proyeksi deforestasi dari seluruh perusahaan HPH dan HTI di Indonesia. Melalui skema multiusaha kehutanan sebagaimana yang diatur didalam Peraturan Menteri LHK Tahun 8 Tahun 2021 tentang Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Di Hutan Lindung Dan Hutan Produksi, memberikan peluang usaha yang lebih luas bagi pemegang IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT untuk berkecimpung melakukan pembangunan HTE. Termasuk peluang deforestasi dari adanya pengelolaan Perhutanan Sosial yang juga diwadahi oleh kebijakan untuk melakukan bisnis energi biomassa.

Proyeksi deforestasi dihitung dengan menggunakan pendekatan aksesibilitas. Aksesibilitas diartikan sebagai lama waktu yang dibutuhkan dari perjalanan konsesi HPH, HTI, dan Perhutanan Sosial (PS) ke titik PLTU terdekat. Metode yang digunakan yaitu dengan menggunakan metode cost distance dengan menggunakan parameter keberadaan jalan, topografi dan landcover. Analisis jarak biaya, juga diketahui sebagai Analisis Permukaan Biaya Akumulasi, adalah alat GIS analitik yang digunakan untuk menghitung jarak biaya akumulatif terkecil untuk setiap sel ke sumber terdekat melalui cost surface (Chen, Liu & Liu, 2020)4.
Gambar 2. Foto Penampakan Kebun HTI
Dalam penelitian ini, kami menggunakan least-cost path untuk mengukur aksesibilitas izin HPH, HTI, PS terhadap PLTU di Indonesia. Dengan kata lain, kami berusaha mengubah perhitungan aksesibilitas spasial menjadi analisis waktu tempuh terpendek (atau biaya akumulatif terkecil) dari setiap lokasi izin ke PLTU terdekat. Semakin tinggi nilai aksesibilitas yang dihasilkan maka waktu tempuh menuju lokasi tersebut terhadap titik yang telah ditentukan semakin besar, yang menandakan aksesibilitas semakin rendah.

Tabel Daftar perusahaan yang berkomitmen pembangunan HTE dan kinerja deforestasi

PLTU yang dianalisis merupakan 52 PLTU yang ditunjuk PLN untuk melakukan cofiring biomassa. Variabel aksesibilitas diturunkan berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi akses, seperti jaringan jalan, tutupan lahan, jaringan sungai, dan topografi (kelerengan). Aksesibilitas antara lokasi HPH dan HTI, dan PS dengan PLTU dapat diketahui dengan membaginya kedalam tiga kategori. Kategori rendah, yakni jarak dari titik acuan lokasi 3 izin (HPH, HTI, PS) terhadap PLTU dapat ditempuh lebih dari 3 hari. Kategori sedang, yakni jarak dari titik acuan lokasi 3 izin (HPH, HTI, PS) terhadap PLTU dapat ditempuh selama satu sampai tiga hari. Sedangkan kategori tinggi, yakni jarak dari titik acuan lokasi 3 izin (HPH, HTI, PS) terhadap PLTU dapat ditempuh selama kurang dari satu hari. Jumlah izin masing-masing untuk HPH, HTI, dan PS yang dianalisis berturut-turut sebagai berikut 259, 294, dan 2546 unit izin.

Untuk informasi selengkapnya bisa di download melalui link di bawah ini : 

AKSESIBILITAS DAN PROYEKSI DEFORESTASI DARI PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN ENERGI
Published: Agustus 25, 2023

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top