Refleksi Penyelenggaraan Perlindungan Sumber Daya Alam Dan Pemulihan Ekosistem Di Indonesia : Berhasilkah Pemerintah Dalam Menekan Angka Deforestasi ?

Overview refleksi penyelenggaraan perlindungan sumber daya alam dan pemulihan ekosistem di Indonesia : berhasilkah pemerintah dalam menekan angka deforestasi ?

Bogor. Selasa 15 Agustus 2023, Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik, IPB University bekerjasama dengan Forest Watch Indonesia, Independent Forest Monitoring Fund Dan Para Praktisi lembaga Swadaya Masyarakat mengadakan focus group discussion (FGD) yang ketiga dengan tema “Refleksi Penyelenggaraan Perlindungan Sumber Daya Alam dan Pemulihan Ekosistem Di Indonesia” dilakasanakan di Ruang Sidang Rektorat I IPB University. Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Prof. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. IPB University sedang menyoroti kinerja tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

Kinerja pelaksanaan tata kelola sumber daya alam saat ini adalah akumulasi dari berbagai upaya dan dampak yang dilakukan dan terjadi di masa-masa sebelumnya. Refleksi terhadap penyelenggaraan perlindungan sumber daya alam bertujuan untuk mengetahui apakah upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah dalam beberapa dekade ini menyelesaikan masalah mendasar dan menjawab tantangan ke depan dalam upaya perlindungan lingkungan hidup dan pemulihan ekosistem di Indonesia. Beberapa isu dan fakta penting, yakni mengenai praktik perdagangan kayu ilegal, kebakaran hutan dan lahan, serta tujuan pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

FWI melaporkan selama 2000 – 2017 Indonesia telah kehilangan sekitar 23 juta hektar hutan. Pada periode 2017–2021 luas hutan alam yang hilang sebesar sekitar 10 juta hektar dimana Kalimantan menempati area yang paling terdeforestasi dengan luas sekitar 4 juta hektar, yang kemudian diikuti oleh Papua sekitar 2,1 juta hektar, Sumatera sekitar 1,7 juta hektar, Sulawesi sekitar 1,1 juta hektar, Maluku sekitar 358 ribu hektar, Bali Nusa sekitar 153 ribu hektar, dan Jawa Sekitar 88 ribu hektar. Jika melihat pola deforestasi berdasarkan hasil analisis terhadap data dari KLHK dari tahun 1990–2020 menunjukan pola deforestasi yang melonjak pada masa transisi atau peralihan kepemerintahan. Hal tersebut juga di perkuat dari hasil analisis terhadap data pelepasan kawasan hutan KLHK tahun 1997,1998,2013 dan 2014 yang menunujukan lonjakan pada masa-masa pemilihan umum presiden. (Gambar 1 dan 2)

Deforestasi di Indonesia pada momentum pergantian kepemimpinan presiden
Gambar 1. Deforestasi di Indonesia pada momentum pergantian kepemimpinan presiden
Pelepasan Kawasan Hutan - Deforestasi
Gambar 2. Pelepasan Kawasan hutan 1997,1998,2013 dan 2014

Karakteristik deforestasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017-2021 Forest Watch Indonesia membaginya kedalam beberapa kategori yang terjadi di area izin, fungsi kawasan dan di area moratorium. Hasil analisis FWI menunjukan deforestasi yang terjadi pada area izin menunjakan nilai tertinggi yang terjadi pada area di luar izin (infrastruktur, kebakaran, illog, dll). Sedangkan deforestasi berdasarkan fungsi kawasan paling tinggi berada pada area hutan produksi. Dan deforestasi juga masih terjadi pada areal moratorium. Selain itu FWI mencatat bahwa kebakaran hutan dan lahan dalam kurun waktu 2017,2018,2019,2022 lebih banyak terjadi di luar area perizinan dengan luas sekitar 700 ribu hektar. Data Forest Watch Indonesia menunjukan perkebunan memiliki nilai tertinggi dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (masukan grafik deforestasi di izin dan bukan izin, moratorium, dan kebakaran hutan di dalam izin dan luar izin).

Gambar 3. Situasi tumpang tindih dan penguasaan perizinan di dalam Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung

Potret perizinan yang terjadi di Indonesia masih menunjukan tumpang tindih. Terutama tumpang tindih dan penguasaan perizinan di dalam Kawasan konservasi dan Hutan Lindung. Data Forest Watch Indonesia menunjukan Kawasan Hutan Lindung memiliki nilai tertinggi terjadinya tumpang tindih dan penguasaan perizinan seluas sekitar 1,59 juta hektar dan untuk Kawasan Konservasi seluas sekitar 225 ribu hektar dari perizinan-perizinan IUPHHK-HA,IUPHHK-HT, kebun, dan tambang. (gambar 3).

Pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Indonesia dengan jumlah pulau sebanyak 19.108 pulau dengan total luasan sekitar 7,1 juta hektare. Pulau-pulau kecil juga tidak terlepas dari tumpang tindih lahan dengan luas sekitar 35 ribu hektar.

Meningkatnya trend deforestasi dan carut marut perizinan berbasis hutan dan lahan di Indonesia menggiring pada situasi yang kompleks. Kerusakan hutan selalu diikuti dengan hilangnya ekosistem esensial juga termasuk kehidupan satwa liar. Pentingnya mengukur kinerja tata kelola sumber daya alam untuk mencapai tujuan dan keberhasilan pengelolaan.

“Ukuran kinerja apa, kita ga pernah sepakat sebenarnya ukuran kinerja kerusakan kita itu apa ? kita hanya melihat ini semakin lama semakin rusak, tapi sebenarnya seberapa optimal kerusakan dibolehkan, mungkin pendekatan lintas disiplin untuk mendorong pemahaman tentang ukuran kinerja keberhasilan sumber daya alam yang baik itu seperti apa ?.” Ir. Haryanto, M.S, Dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University.

Terlebih hubungan antara hutan, alam dan manusianya juga tidak bisa dipisahkan. Masyarakat atau masyarakat adat berperan penting dalam upaya perlindungan hutan di Indonesia. Tidak ada satu ruangpun di wilayah Indonesia, baik di darat maupun di lautan, yang kosong dari keanekaragaman hayati dan interaksinya dengan kehidupan sehari-hari Masyarakat.

Konservasi berbasis Masayarakat dalam RUU KSDAHE belum sepenuhnya mengakomodir bahwa Masyarakat sebagai pelaku konservasi, serta banyaknya praktek kearifan lokal yang tidak diakui oleh undang-undang

“sumber daya alam laut kita ini mengalami kerusakan dibanyak tempat dan di banyak tempat juga kearifan lokal itu masih sangat bagus dan terbukti berhasil memperbaiki kerusakan atau mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut, sumber daya alam tersebut. Sayangnya kearifan lokal ini tidak selalu sejalan dengan undang-undang yang berlaku sehingga ini menjadi tantangan dalam membantu Masyarakat melindungi sumber daya alam laut.” Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan YKAN.

Wakil Rektor bidang riset, inovasi dan pengembangan agromaritim, IPB University menjelaskan bahwa perundang-undangan yang ada saat ini belum bisa menjawab dari persoalan yang ada mengenai pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Dan sebagian besar konservasi atau pengeloaan sumber daya alam dikuasai oleh negara atau pemerintah.

“Kita punya persoalan di dalam tatanan governance sumber daya alam, jadi rasanya perangkat kelembagaan didalam governance sumber daya alam ini belum lengkap, jauh dari sempurna. Kalaupun kita punya serangkaian peraturan perundangan banyak yang nampaknya bukan bagian dari solusi tapi malah menambah persoalan yang ada.” Prof. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Wakil rektor bidang riset, inovasi dan pengembangan agromaritim, IPB University

Catatan:

  • Kegiatan ini merupakan rangkaian seri FGD yang diselenggarakan IPB University berkolaborasi dengan mitra LSM yaitu Forest Watch Indonesia (FWI), Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK), Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), IFM Fund, Community Forest Ecosystem Services (CFES), Kaoem Telapak.
  • Kegiatan ini diselenggarakan untuk mendapatkan masukan dan ide ide dari akademisi dan masyarakat sipil dalam tema “Tata Kelola Sumber Daya Alam untuk Pemerintahan 2024”.
Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top