Presiden Joko Widodo menunjukkan kecenderungan mengejar pertumbuhan ekonomi dalam kebijakan pembangunannya. Fenomena politik ini menempatkan Jokowi pada orientasi pembangunan baru yang disebut ilmuan politik Australia, Eve Warbutron (2016), the new developmentalism, dengan tiga mantra utama pembangunan: deregulasi, infrastruktur dan debirokratisasi. Relevansi bagi pengakuan MHA di Indonesia dan Papua cukup penting karena dalam Nawacita Jokowi terdapat program TORA dan Perhutanan Sosial (dengan lima skema), di mana hutan adat dan program pembangunan masuk di dalamnya.
Pengakuan MHA sebagai kebijakan yang diabaikan berangkat dari analisis studi hukum kritis yang banyak dikemukakan oleh para sarjananya (Balakrishnan Rajagopal, 2004; Brabazon, 2017; Helena Alviar Garcia, 2021) bahwa hukum sesungguhnya dicipta secara sengaja untuk menyediakan pengaturan yang mengakomodasi berbagai kelompok kepentingan melalui undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan menteri. Hukum di sini mempunyai fungsi distribusi dan redistribusi kepentingan, namun di saat bersamaan juga menjadi medan perjuangan yang dikontestasikan.[2] Tetapi wajah hukum yang demikian itu seringkali tertutupi oleh dominasi pendekatan doktrinal yang mengklaim hukum harus netral dari anasir kepentingan sosial, politik dan ekonomi, juga keharusannya berlaku umum.[3]
Hasilnya, kondisi itu mampu menciptakan arena kontestasi yang tak setara, karena pilihan kebijakan rezim akan mengikuti watak pembangunannya. Dengan kata lain rational choice bagi rezim adalah mengutamakan kebijakan pembangunan yang secara teknokratis tercantum di RPJMN. Pada keadaan ini kerapkali hukum menjadi instrumen pengingkaran atas hak asasi karena kebijakan yang tersedia untuk masyarakat mudah sekali diabaikan. Alasan pengabaian ini juga pengaruh dari kecenderungan kebijakan yang mengadopsi rasionalitas pasar seperti efisiensi, untung dan rugi yang sangat ekonomistik (cost and benefit analysis) dari pemerintah dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan termasuk pengakuan MHA.[4]
Asumsinya beberapa proyek pembangunan akan lebih diprioritaskan berdasarkan pertimbangan lebih efektif mengejar pertumbuhan ekonomi. Ibarat di meja perjamuan banyak pilihan jajanan; kue Jagung (PSN Food & Energy Estate, PBPH Kehutanan, Perkebunan Sawit, dsb) lebih dipilih daripada kue Sagu (pengakuan Hutan Adat). Data luas tutupan hutan Indonesia hingga 2023 menyebutkan, terluas ada di Papua sekitar 34,13 juta ha (databooks, 30/12/2024). Dalam 34 juta ha tutupan hutan tersebut menjadi rumah bagi masyarakat adat dan keanekaragaman hayati di Papua. Kini dan ke depan keamanannya terancam karena pengakuan wilayah adat dan hutan adat di Papua “berjalan ditempat” dalam sepuluh tahun (10) rezim Presiden Jokowi. Mengapa pengabaian atas pengakuan MHA itu bisa terjadi?
Rezim Pengakuan MHA dan Masalahnya
Situasi itu juga andil dari endapan banyak masalah, salah satunya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-IX/2012 (MK 35). Signifikasi MK 35 sebenarnya hanya mengoreksi kesalahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menegaraisasi hutan adat sejak Orde Baru ke dalam kawasan yang disebut ‘hutan negara’ (Eko Cahyono, Tempo, 08/2022).[5] Ungkapan lain bahwa hutan adat bukan bagian hutan negara yang sebelumnya diatur Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan.
Penegasan lain bahwa segala produk hukum pengakuan bersyarat yang menafsir Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tetap dibenarkan sepanjang menjamin kepastian dan keadilan hukum, serta sepanjang Undang-undang khusus tentang Masyarakat Adat belum ada (MK 35, hlm.183-184). Dengan kata lain, argumen MK ini menguatkan pengakuan bersyarat menjadi mekanisme utama pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan menjadi acuan umum kebijakan pengakuan masyarakat adat secara nasional. Hal itu berkonsekuensi pada pembentukan Perda Pengakuan MHA di level Pemerintah Daerah (Pemda). Masalahnya, tak semua Pemda mengerti kewajiban konstitusional dan memahami peran krusialnya dalam pemenuhan hak asasi manusia, meskipun telah ada Permendagri No.52/2014. Selain itu beban anggaran pembentukan Perda tidak murah. Dalam masalah ini tak sedikit masyarakat adat terpaksa harus berjuang tak henti mendorong Pemda untuk melakukan kewajibannya.
Di samping masalah normatif dan implikasinya, keadaan lembaga pemerintah juga mengalami kendala institusional. Satu contoh institusi pemerintah yang mempunyai tugas besar dalam pengurusan hutan adat adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam beberapa laporan media, keterangan pejabat KLHK, mengatakan bahwa tugasnya terhambat karena sedikitnya anggaran tahunan untuk verifikasi teknis hutan adat, sementara pengusulan hutan adat jauh lebih banyak (Mongabay, 27/03/2022 dan Mongabay, 21/03/2024). KLHK mempunyai tugas penting dalam pengadministrasian suatu area ke dalam kawasan hutan negara, termasuk mengeluarkan hutan adat yang masuk dalam hutan negara sebagai konsekuensi PMK 35. Mahalnya biaya verifikasi teknis hutan adat ini tak pernah terfikirkan dalam PMK 35 dan menjadi hambatan dalam proses panjang pengakuan pasca adanya Perda MHA. Imbasnya, peran pembiayaan ini seringkali dibebankan pada pihak luar. Terlebih dalam kebijakan perhutanan sosial, khususnya hutan adat, tak menjadi prioritas pembangunan Presiden Jokowi.
Dalam kondisi demikian itu, sebenarnya juga tak bisa disebut ketiadaan norma hukum (vacum of norm) pengakuan terhadap MHA yang disediakan oleh hukum negara, karena pasca PMK No.35 pemerintah pun menerbitkan aturan tingkat kementerian yang sangat sektoral dan terkadang saling kontradiksi. Misalnya aturan KLHK, Kemendagri, KKP, dan KemenATR/BPN. Harus diakui, percikan masalah di atas merupakan salah satu dampak mendasar dari kelemahan MK 35. Arizona dalam Rethinking Adat Strategies; the Politics of State Recognition of Customary Land Rights in Indonesia, 2022, menyebut efek negatif dari pengakuan bersyarat yang dikuatkan oleh MK turut menghambat (impede) pemenuhan (fulfillment) hak-hak masyarakat adat. Dalam putusannya, hakim MK tidak mempertimbangkan klausul pengakuan bersyarat sebagai persoalan mendasar yang menghambat (impede) pemenuhan hak asasi manusia.
Pengakuan MHA Papua yang diabaikan
Data KLHK Oktober 2024 menunjukkan capaian perhutanan sosial hanya 8 juta ha. Angka tersebut akumulasi secara nasional sejak perhutanan sosial masuk dalam program prioritas RPJMN 2015-2019 dan 2020-2024 yang totalnya 12,7 juta ha (Antara, 20/11/2024). Tapi di Papua, perhutanan sosial terutama skema hutan adat bisa disebut “diabaikan.” Sebagai contoh di Provinsi Papua Barat, data KLHK menyebut hanya ada satu penetapan hutan adat MHA Marga Ogoney, Teluk Bintuni pada 2022 (https://gokups.menlhk.go.id/ ). Sementara persetujuan skema hutan desa sangat banyak mencapai 99 SK Persetujuan Hutan Desa/Kampung dan 8 SK Persetujuan Hutan Kemasyarakatan. Data BRWA hingga Agustus 2024, total keseluruhan penetapan hutan adat di pulau Papua baru 39.912 ha dari potensi luasan 12.480.870 ha.[6]

Secara institusional, situasi ini dapat dibaca karena tidak ada inovasi atau pembaharuan kebijakan hukum nasional yang bertugas merubah kondisi kebekuan ini. Pertama, kebijakan hukum yang tersedia, PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, Permendagri No.52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA dan Permen LHK No.9/2021 tentang Perhutanan Sosial, merupakan tindakan minimum pemerintah yang belum mengarah pada realisasi progresif penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi. Hal itu karena praktik pengakuan bersyarat masih lebih utama daripada tujuan keadilan substansialnya. Kedua, konsekuensi dari praktik tersebut membutuhkan dukungan anggaran besar, yang faktanya tidak mampu dipenuhi oleh KLHK, Pemda dan masyarakat, sekalipun lembaga pendamping.
Perkara ini sesungguhnya melampaui kendala institusional. Pembentuk kebijakan terkesan tidak menyediakan perubahan terhadap kerumitan pengakuan MHA. Alih-alih mengupayakan itu, Pemerintah Jokowi justru membentuk UU Cipta Kerja yang diperankan sebagai regulasi penarik investasi di sektor bisnis keruk SDA. Di Papua wilayah adat diatur menggunakan hukum adat masing-masing suku, marga/keret. Tetapi di saat bersamaan, wilayah adat juga masuk dalam kawasan hutan – UU Otsus Papua berada pada posisi lemah. Sehingga kemudahan regulasi otomatis mendorong bisnis keruk SDA masuk ke dalam wilayah adat untuk tujuan perkebunan, industri kehutanan, pangan-energi dan tambang. Sebabnya tak lepas dari perubahan UU Kehutanan oleh UU CK yang membuka ruang komodifikasi baru dalam kawasan hutan melalui banyak perubahan, salah satunya Pasal 19 UU Kehutanan yang mempermudah perubahan peruntukan dan fungsi Kawasan hutan tidak lagi memerlukan persetujuan dari DPR. Perubahan tersebut berkonsekuensi pada politik hukum kehutanan di bawah UU seperti PP dan Permen yang bertugas secara teknis menyediakan kebutuhan percepatan pengambilalihan tanah di kawasan hutan untuk industri keruk SDA. Satu contoh konsekuensi logis dari hal itu adalah korporasi pertanian melalui food estate yang diberi ruang operasi dalam Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).
Itu sebab, UU Cipta Kerja jo UU Kehutanan untuk mempermudah investasi kehutanan menambah kerumitan masalah dan berpotensi akan menghambat pengakuan MHA di Papua. Regulasi pembangunan UU Cipta Kerja ini akan membentuk iklim pengakuan MHA yang dikontestasikan dengan kepentingan bisnis keruk SDA. Meskipun tak bisa dipungkiri UU CK juga menyediakan peluang kebijakan yang dapat digunakan untuk pengakuan.
Fakta kontestasi itu terjadi. Penggunaan instrumen hukum PSN dalam UU Cipta Kerja untuk proyek Food Estate Pangan dan Energi lebih diutamakan dibanding penggunaannya untuk mempercepat perhutanan sosial, walaupun secara normatif desain regulasinya memungkinkan digunakan untuk percepatan perhutanan sosial (pengakuan MHA). Misal Perpres No.56/2018 tentang daftar PSN pernah memuat perhutanan sosial tetapi setelahnya tidak lagi. Contoh lain Pasal 16 (4) PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan terkait percepatan pengukuhan kawasan hutan dapat dilakukan menteri untuk keperluan hutan adat dan Reforma Agraria.
Dengan membaca kebijakan hukum yang mendistribusikan kepentingan dan dominasi pendekatan hukum yang mengadopsi rasionalitas pasar, pilihan kebijakan rezim yang mengarah pada bisnis keruk SDA mendapat pembenarannya. Di Papua pemberian perizinan keruk SDA seperti perkebunan sawit, industri kehutanan dan food estate dalam 10 tahun ini jauh lebih mudah dibandingkan mengurus pengakuan MHA. Jumlah penetapan hutan adat 39.912 ha, bahkan kalah dengan satu HGU perkebunan sawit di Kabupaten Sorong. Di Merauke, lebih tragis, 4 juta ha daratan, 2 juta untuk PSN pangan dan energi, sementara tak ada satupun pengakuan hutan adat orang Malind.[7] Padahal secara normatif pemerintah bisa menggunakan instrumen hukum PSN untuk mempercepat pengakuan MHA dan penetapan hutan adat dengan memasukkannya dalam daftar program strategis nasional. Tetapi dengan corak pembangunan dan hukum penopangnya, hal itu mustahil dilakukan, karena tidak menguntungkan bagi misi pertumbuhan ekonomi yang ditopang bisnis keruk SDA.
Fakta bahwa UU Cipta Kerja tidak merevisi Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan dan dikuatkan PP No.23/2021, semakin menguatkan praktik pengakuan yang diabaikan ini. Eksistensi Pasal 67 UU Kehutanan ini menjadi ‘legal shield’ bagi institusi sektoral untuk berlindung dibalik hukum formal yakni tetap mempertahankan kawasan hutan negara, kendatipun pengukuhan kawasan hutan masih bermasalah. Sedang bagi masyarakat bak tembok yang menghalangi hak-haknya. Bertahannya model pengakuan MHA ini dapat diartikan kemenangan negara untuk mempertahankan kontrol atas sumberdaya alam Papua. Namun kekalahan bagi masyarakat adat Papua dalam 10 tahun rezim “orang baik.”
Muhammad Ali Mahruz