Kabut terlihat menyelimuti barisan bukit dari ketinggian di atas menara pandang Panorama Indah Tele. Tidak jauh dari lokasi tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten pengahasil haminjon atau kemenyan terbesar di Sumatera Utara, dimana sebagian besar penduduknya merupakan petani kemenyan. Kemenyan merupakan komoditi spesifik di daerah tersebut yang menghasilkan getah beraroma spesifik diperoleh melalui penyadapan. Pengunaaan kemenyan banyak digunakan sebagai bahan pengawet dalam industri farmasi dan sebagai fixative (pengikat) dalam industri parfum.
Kemenyan dapat tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian 900-1200 meter di atas permukaan laut, suhu antara 28-30 derajat Celsius dengan kemiringan tanah maksimal 25 derajat. Tanaman ini dikategorikan sebagai tanaman endemik, yang hanya dapat tumbuh di beberapa kawasan saja. Hal tersebut yang membuat kebanyakan masyarakat menilai bahwa tanaman ini adalah jenis tanaman sakral yang memiliki nilai mitologi yang tinggi.
Hutan kemenyan atau dalam bahasa batak Tombak Haminjon merupakan rumah kedua bagi seorang petani kemenyan, karena 4-5 hari dalam seminggu para petani kemenyan tinggal di dalam hutan untuk memanen kemenyan. Kepemilikan Tombak Haminjon, memiliki hubungan yang kuat dalam sistem kepemilikan tanah adat Batak Toba yang secara turun temurun diberlakukan hingga sekarang. Kepemilikan Tombak tersebut terkait erat dengan sistem mata pencaharian dan bentuk pengelolaan tanah adat.
Namun kini hasil dari komoditi kemenyan terus menurun akibat penebangan hutan kemenyan dari ekspansi industri. Hal tersebut memicu konflik antara petani kemenyan dengan industri atas klaim petani terhadap tanah adat mereka. Klaim atas tanah adat berangkat dari keyakinan bahwa tanah adat merupakan warisan nenek moyang, diperkuat dari hasil penelitian Badan Arkeologi bahwa terdapat Parik dan patung Pangulubalang sebagai bukti adanya perkampungan tua. Selain itu sistem tata kelola dan tata ruang wilayah adat juga masih menggunakan hukum adat yang mereka yakini sejak dahulu.
Saat ini hasil panen kemenyan tidak mampu lagi menutupi kebutuhan hidup para petani dan masyarakat lain yang menggantungkan hidup dari kemenyan. Dalam mencukupi kebutuhan hidup para petani seringkali harus menjadi buruh tani harian di sawah dan ladang orang lain untuk mencari tambahan. Hal yang sangat berbeda sebelum adanya kerusakan hutan, para petani ataupun masyarakat bekerja di sawah dan ladang orang lain hanya pada saat musim panen sebagai bentuk gotong royong.
Berbagai dampak buruk hasil karena kerusakan hutan tidak hanya berimbas pada menurunnya hasil panen kemenyan, tetapi juga terbatasnya akses para petani dan masyarakat terhadap tanaman obat yang ada di Tombak Haminjon. Tanaman obat yang dulunya biasa digunakan sebagai ramuan herbal untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit semakin sulit ditemui. Para petani dan masyarakat adat yang dulunya dapat mengandalkan hasil panen kemenyan dan hasil kebun lainnya untuk pemenuhan kebutuhan saat ini sulit untuk dipenuhi. Kehadiran industri yang merampas tanah adat merupakan bentuk pemaksaan alih profesi masyarakat adat yang selama ini sudah melekat dengan tanah dan sumber daya alam yang dimiliki.
Perangkai Cerita:
Dhio Teguh Ferdyan (dhio@fwi.or.id)
Unduh tulisan ini: Terkikisnya Tombak Haminjon