Jakarta, 8 Oktober 2023. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Paradigma Baru Konservasi mendesak KLHK dan DPR RI agar tidak sekadar merevisi UU 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE. RUU KSDAHE yang saat ini sedang dibahas oleh Komisi IV DPR, KLHK, dan Komite II DPD RI harus ditempatkan sebagai titik pijak perubahan transformatif dalam penyelenggaraan dan paradigma konservasi yang inklusif di negeri ini.
Perubahan transformatif dan pendekatan inklusif ini sangat penting mengingat UU 5/1990 yang dibuat 33 tahun lalu tersebut tak lagi relevan dengan tantangan-tantangan konservasi sumber daya alam dan hayati Indonesia saat ini dan mendatang. UU tersebut juga belum cukup mendukung pelibatan dan perlindungan masyarakat dalam konservasi sumber daya alam yang sangat dibutuhkan. Jika berkaca pada potret kejadian kerusakan sumberdaya alam dan ekosistemnya, termasuk ekosistem mangrove, ekosistem karst, ekosistem gambut, dan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil nilainya mencapai 10,12 juta hektare dalam bentuk deforestasi hutan alam.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga menekankan bahwa “Mandat konservasi sebagaimana yang tertuang di dalam UU 5/90 masih konvensional dengan memaknai upaya konservasi dengan pembagian kawasan, bukan berdasarkan fungsinya. Kami menilai kerusakan sumber daya alam yang terjadi di luar kawasan konservasi capai 90% dan itu selalu dinilai wajar untuk dirusak. Padahal terdapat 76 juta hektare areal penting untuk dikonservasi yang saat ini berada di luar status Kawasan Konservasi (read: Kawasan Ekosistem Esensial). Termasuk ekosistem mangrove, gambut, karst, areal bernilai konservasi tinggi, koridor satwa, dan taman keanekaragaman hayati yang terancam hilang. Pendekatan pada UU No.5/90 juga keliru karena masih menyamakan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan pulau besar dan pulau utamanya, dan ini bias”.
Juru Kampanye WGII, Lasti Fardilla Noor menambahkan, “Perlu ada pergeseran paradigma konservasi berbasis hak dalam tata kelola konservasi di Indonesia untuk menjawab kompleksitas konflik urusan konservasi yang selama ini terjadi. RUU KSDAHE seharusnya dapat mencerminkan dimensi yang holistik dan interdisipliner, terutama aspek perlindungan, pengakuan hak dan partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal, yang sampai hari ini belum terlihat nyata dalam Draft RUU KSDAHE, bahkan beberapa aspek terkait ini telah dihapus dalam DIM RUU KSDAHE versi juli 2023”.
Konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan, bahkan konflik manusia dan satwa, serta degradasi lingkungan dan ekosistem yang semakin tinggi telah menunjukan indikasi ketidakmaksimalan implementasi kebijakan di bidang konservasi, dan telah menjadi perhatian bersama di level global, hal ini direspon secara massive dalam pertemuan Conference of the Parties on Convention of Biological Diversity (COP-15 CBD), dimana Indonesia merupakan salah satu (parties) yang menyepakati konvensi ini.
“RUU KSDAHE seyogyanya bisa mencerminkan target penting dalam Kunming Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF). Tercatat 7 dari 23 target KM-GBF yang ditetapkan memasukan unsur masyarakat adat dan lokal dalam pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan pengetahuan tradisional, partisipasi, pembagian manfaat yang adil, dan FPIC (Free, Prior, Informed Consent). Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal tidak boleh lagi ditempatkan sebagai objek Konservasi, namun harus diakui sebagai subjek atau pelaku Konservasi itu sendiri, sebagaimana fakta lapangan yang ada. Hal ini sesuai mandat COP-15 on CBD menuju Visi 2050 “Living in Harmony with Nature”. ungkap Cindy Julianty, Program Manager WGII
Kawasan konservasi di Indonesia saat ini memiliki luas 26,89 juta hektar (KSDA, 2022), nilai ini setara 47,1 persen dari total target GBF Post 2020. Melansir data keybiodiversityareas.org Indonesia memiliki 494 area atau setara 3.3672.800 hektar yang kaya dengan kehati, tetapi lebih dari 50 persen area berada di luar kawasan konservasi. Kondisi ini menyebabkan potensi kehilangan kehati di luar kawasan konservasi menjadi semakin tinggi. Manajer Program Kehati, Burhan Jayadattry menambahkan, “Darurat krisis keanekaragaman hayati, krisis perubahan iklim, dan pandemi baru-baru ini membutuhkan tindakan tegas, dan komitmen bersama khususnya pemerintah untuk mengubah cara pandangnya terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. RUU KSDAHE seharusnya mampu mengisi kekosongan mandat untuk upaya konservasi di luar kawasan dengan berbagai tatanan lanskap”.
Satriya Putra sebagai Koordinator Hukum Garda Animalia menambahkan, “selain itu, yang menjadi sorotan penting pada pembaharuan UU Nomor 5 Tahun 1990 adalah ketentuan pidana dan penegakan hukum di bidang konservasi. Tentu saja, RUU KSDAHE ini memberikan penguatan dengan menyesuaikan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada saat ini. Hal ini dapat dilihat dari diadakannya frasa untuk membuat efek jera, penambahan alat bukti, perluasan wewenang PPNS, menjadikan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipidana.”
Koalisi Masyarakat Sipil Mendesak Keterbukaan Informasi Pembahasan RUU KSDAHE
Proses penyusunan RUU KSDAHE sampai sejauh ini dinilai tertutup dan tidak bisa mengakomodir masukan para pihak. Setidaknya terdapat 718 Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang harus segera dibahas. Satriya Putra sebagai Koordinator Hukum Garda Animalia mengatakan, “Rapat pembahasan RUU KSDAHE yang dilakukan secara tertutup oleh Panitia Kerja (Panja) jelas mencederai semangat demokrasi. Panja telah menutup peluang keterbukaan dan keterlibatan publik dalam pembahasan RUU ini. Rangkaian proses sebelumnya, dimana publik masih dilibatkan oleh legislatif rupanya dimaknai sebagai partisipasi sekedarnya. Risalah, Catatan Rapat, dan Laporan Singkat mengenai kondisi DIM terakhir seharusnya dibuka ke publik dan mudah diakses.”
###
Catatan editor :
- Area Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) atau (ICCAs – Indigenous and Community Conserved Areas) adalah praktik pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal yang berbasis pada kearifan lokal atau kebiasaan lokal setempat.
- Working Group ICCAs Indonesia (WGII) mengidentifikasi setidaknya seluas 4,2 juta hektar AKKM di Indonesia dengan total AKKM yang telah didokumentasikan dan diregistrasi WGII seluas 492222.6439 hektar. Indikasi potensi AKKM dapat bertambah mengingat total luas wilayah adat yang teregistrasi di BRWA saat ini mencapai 26,9 juta hektar
- Hutan Alam adalah Hutan yang terutama terdiri dari pohon-pohon asli yang tidak pernah ditanam oleh manusia. Hutan-hutan alam tidak mencakup perkebunan dan hutan tanaman.
- Deforestasi adalah semua bentuk perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan yang diakibatkan oleh kondisi alam dan atau pelaku deforestasi, baik secara legal atau ilegal dalam kurun waktu tertentu yang bersifat sementara maupun permanen. FWI mencatat kerusakan hutan alam (deforestasi) selama periode 2017 sampai 2021 mencapai 10,12 juta hektar, di mana seluas 15,43 persennya terjadi di Kawasan Hutan Lindung dan 9,06 persennya terjadi di KSA/KPA (Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam).
- Kawasan Ekosistem Esensial disingkat KEE adalah kawasan di luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru yang secara ekologis penting bagi keanekaragaman hayati. KEE termasuk Ekosistem Lahan Basah, Koridor Hidupan Liar, Areal Bernilai Konservasi Tinggi dan Taman Kehati.
Kontak Narahubung :
- Anggi Putra Prayoga, FWI (0857-2034-6154)
- Lasti Fardilla Noor, WGII (0813-8860-1039)
- Cindy Julianty, WGII (0812 8177 3955)
- Burhan Jayadattry, Kehati
- Satriya Putra, Garda Animalia (0896-9437-0612)
Lampiran pendukung : Catatan Editor_RUU_KSDAHE
Lampiran Naskah Akademik RUU KSDAHE : Naskah Akademik RUU KSDAHE
Lampiran RUU KSDAHE : RUU KSDAHE
Lampiran Keputusan Panja Rapat RUU KSDAHE : 25 September 2023 – pagi – Keputusan Rapat Panja RUU KSDAHE – Pembahasan DIM