Perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia
Lereng Gunung Batur sore itu
Hentakan kaki-kaki, teriakan-teriakan penuh semangat
Kepulan debu, liukan mistis menyambut tamu-tamu agung
Tamu-tamu agungpun menghormat pada gunung
Lereng Gunung Batur sore itu
Tetua-tetua bersahaja dalam sederhana
Bercerita, berjanji harap bersama dalam ragam bahasa yang asing ditelinga
Bali, Osing, Sasak, Iban, belusu, Sunda, Pagu, Batak, Sawai, Ende, …
Dan pesan itu tersirat nyata, mencukupi rasa tanpa perlu paham makna
Lereng Gunung Batur sore itu
Dentingan sape’ mulai mengalun
Membuai angin, membelai gunung
Memuji alam, penuh doa dan harapan
Sape’ bersenandung di Pulau Dewata
Lestarilah adat, lestarilah alam
Ketika setiap menitnya hutan Indonesia hilang seluas tiga kali lapangan sepak bola, sementara ramai berkumpul Suku-Suku se-Nusantara memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia di lereng Gunung Batur-Bali, pada 9 Agustus 2015 sore itu. Lalu, apa hubungannya kehilangan hutan dengan peringatan ini?
Hutan menjadi penopang kehidupan dan tabungan pengetahuan masyarakat adat. Sementara adat menjadi alat untuk mempertahankan keberadaan hutan. Hutan dan adat telah membentuk ekosistemnya menjadi suatu kehidupan yang berkelanjutan. Mereka adalah cerita masa lalu, sekarang dan masa depan.
Saat ini hutan sedang kesakitan. Eksploitasi kayu yang tak lestari dan berbagai investasi rakus ruang telah menghabisinya. Derita bertambah ketika Negara hirau padanya. Atas kondisi ini, pengakuan atas adat dan wilayah hutan mutlak diperlukan. Karena pengakuan akan memberi manfaat keadilan atas hak-hak masyarakat adat, dan akan menjadi benteng pelindung dari pola-pola pengelolaan hutan yang tidak lestari.
Adat telah nyata dapat mempertahankan keberadaan hutan. Seperti Sui Utik di Kalimantan Barat yang mampu menjaga kelestarian wilayah hutannya melalui pranata adat. Seperti Urang Kanekes di Jawa Barat yang masih memiliki hutan rimbun di tengah kepungan arus moderenisasi. Dan masih banyak lagi suku-suku lain yang mampu menjaga keberadaan hidup dan wilayah hutannya melalui kearifan adat dan budaya.
Namun cerita keberhasilan itu acap kali tenggelam oleh cerita jutaan masyarakat adat yang gagal mempertahankan hutannya. Cerita kehidupan mereka ketika tergusur oleh investasi hutan dan lahan. Maupun cerita mereka ketika ditelantarkan Negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyatnya.
Cerita-cerita seperti itupun terus berulang ketika kayu-kayu di Mentawai ditumbangkan oleh perusahaan-perusahaan HPH, ketika Merauke dipaksa merubah ladang menjadi kebun atas nama ketahanan pangan, ataupun ketika Kepulauan Aru harus berjibaku menolak kebun dan tebu. Dari cerita ini, kita tahu bahwa untuk kesekian kalinya Masyarakat Adat harus merapatkan barisan dalam berjuang melawan kesewenang-wenangan.
Peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia adalah simbol dari perjuangan masyarakat adat secara global. Hari dimana kita diingatkan akan harapan terhadap pengakuan dan legitimasi atas hak-hak adat.
Apakah semaraknya peringatan ini akan menjadi sebuah perayaan atas buah manisnya perjuangan? Dan apakah kehilangan hutan akan menjadi cerita masa lalu? Tentunya ini menjadi harapan kita semua.
—-
SGN