Kotak kayu itu perlahan dibuka. Tampak dua tengkorak manusia di dalamnya, yang ditutupi kain berwarna merah. Andreas Sinko, warga Kampung Muara Tae, Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, segera membersihkan dua tengkorak itu.
Kedua tengkorak berwarna kekuningan tersebut diperkirakan berumur 200 tahun. Itulah tengkorak Galoh dan Bulu, leluhur warga Dayak Benuaq di Kampung Muara Tae. Tengkorak itu, dan sejumlah sesaji, dibawa masuk ke dalam hutan adat, pekan lalu.
Warga hendak mengadu kepada leluhur, melalui upacara sumpah adat, terkait masalah tata batas yang membuat warga terampas haknya atas tanah adat. Leluhur mereka, Galoh, adalah Raja Muara Tae yang bergelar Mangkuana 2. Bulu adalah seorang tukang mantra.
Setelah dibersihkan, kedua tengkorak diletakkan di atas meja, lalu diolesi minyak. Sumpah adat dipimpin C Galoy MP, yang hampir selama ritual terus merapal mantra. Sejumlah sesaji juga dihamparkan di atas meja, seperti telur, daging ayam, daging kerbau, dan ketan.
Dengan sumpah adat, warga meminta leluhur memecahkan masalahnya. Upacara ini diikuti sekitar 20 warga, antara lain tokoh adat, sesepuh, dan perwakilan warga. Sehari sebelum sumpah, ratusan warga menggelar gugug tautn , yang dipercaya sebagai upacara persembahan kepada dewa penghuni alam semesta dan roh leluhur.
1 Comments
putera sumut
Sedih! ini cara lain ekspresi masyarakat adat yang tanahnya dirampas, hak-haknya terabaikan. Ingat mereka sudah ada sebelum negara ini merdeka.