Surat dari CSO Indonesia untuk Presiden Biden

November 9, 2023

Kepada Yth,

Presiden AS Joseph Robinette Biden

Pada pekan depan, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo akan berkunjung ke Amerika Serikat untuk menghadiri acara Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Summit 2023. Bersamaan rangkaian agenda tersebut, kami mendapat informasi bahwa akan ada pertemuan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat membahas berbagai isu strategis, diantaranya soal regional security dan transisi energi bersih. Selain itu, akan banyak membahas lebih lanjut mengenai rencana kerjasama penggunaan critical minerals untuk baterai mobil listrik.[1]

Berkenaan dengan hal tersebut, kami dari organisasi masyarakat sipil Indonesia ingin menyampaikan beberapa concern kami atas situasi pertambangan nikel di Indonesia saat ini. Dalam sejumlah kajian yang kami lakukan, kami mengidentifikasi sejumlah permasalahan, di antaranya; 1) Kelemahan tata kelola pertambangan nikel di Indonesia; 2) Kerusakan ekologis yang masif yang timbul akibat ketimpangan tata kelola tambang; dan 3) Pelanggaran hak asasi manusia dampak dari tata kelola tambang yang rapuh.

Concerns with an Indonesian-US CMA

Isu kerapuhan tata kelola pertambangan nikel

Kerapuhan tata kelola pertambangan di Indonesia terlihat dalam beberapa aturan berikut;

  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara. Salah satu ketentuan bermasalah dalam undang-undang yang direvisi pada 2020 ini, yakni menghapus kewenangan pemerintah daerah dalam tata kelola pertambangan. Hal ini memotong partisipasi masyarakat daerah untuk mengajukan keberatan dan aduan kepada pemerintah daerah, karena kewenangannya telah desentralisasi ke pemerintah pusat. Masyarakat tidak diberikan keleluasaan untuk menolak tambang, malah masyarakat penolak tambang terancam dikriminalisasi dalam pasal 162 undang-undang tersebut. Ketentuan Pasal 99 ayat (3) aturan ini juga memberikan kelonggaran kewajiban reklamasi dan kegiatan pasca tambang bagi pengusaha tambang. Hal ini berpotensi menimbulkan lebih banyak lubang tambang beracun nan mematikan. Auriga Nusantara mencatat bahwa dengan kebijakan ini maka luasan lubang bekas tambang yang terancam tak direklamasi mencapai 87.307 hektar (Auriga Nusantara, 2020). Berdasarkan laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur terhitung sejak tahun 2011 hingga tahun 2021 terdapat 40 orang menjadi korban tenggelam di lubang tambang di Kalimantan Timur yang tidak direklamasi (Mongabay, 2021).
  • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Aturan ini banyak memangkas perlindungan lingkungan. Di antaranya, menghapus ketentuan luas hutan sebesar 30% di masing-masing provinsi yang sebelumnya dijaga melalui Undang-undang Kehutanan;  memangkas keterlibatan masyarakat sipil dalam penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup atau Environmental Impact Assessment (EIA); selain tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan dampak lingkungan hidup juga tidak lagi memiliki ruang untuk mengajukan keberatan. Undang-undang Cipta Kerja juga banyak mengeluarkan peraturan turunan yang problematik, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 memungkinkan penambang membuang limbah ke laut dalam dengan menggunakan metode Deep Sea Tailing Placement (DSTP).
  • Kajian analisis yang kami lakukan menunjukkan aturan pertambangan di Indonesia masih sangat jauh dari standar inisiatif pertambangan bertanggung jawab di dunia, yakni; Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA).

Isu kerusakan ekologis                    

  • Masifnya aktivitas pertambangan nikel di Indonesia menyebabkan peningkatan laju deforestasi. Penambangan terbuka untuk mengekstraksi cadangan nikel laterit di ekosistem yang rapuh menyebabkan risiko kehilangan biodiversitas dan hutan dengan stok karbon tinggi
    • Pantauan terhadap 330 konsesi tambang nikel dengan menggunakan radar dan satelit (GLAD+RADD) sejak tahun 2000 hingga saat ini mencatat deforestasi akibat pertambagan nikel mencapai 156,281 hektar. Ini adalah deforestasi yang tercatat karena tambang nikel yang dilakukan secara legal. Tiga dari 330 konsesi yang kami amati: Vale Indonesia di Blok Soroako, Bintang Delapan Mineral, dan Aneka Tambang di Konawe Utara telah menyebabkan hilangnya lebih dari 50% High Carbon Forest. Vale dan Bintang Delapan Mineral membuka 51,229 hektar hutan yang dikategorikan Key Biodiversity Area oleh IUCN.
  • Pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk memproses nikel Indonesia telah menghasilkan jejak COS yang jauh lebih tinggi dibandingkan nikel yang diproduksi di negara lain. Kapasitas batubara Indonesia pada 40,6 GW pada tahun 2022. The Indonesia Morowali Industrial Park in Sulawesi (IMIP) misalnya “akan segera memiliki kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara yang jumlahnya hampir sama (setidaknya 5 GW) seperti Meksiko, atau Pakistan”
  • Proses HPAL menghasilkan tailing dalam jumlah besar dan menyebabkan pencemaran saluran air di sekitarnya dan limpasan air ke wilayah lautan yang penting bagi penghidupan masyarakat adat dan lokal. Salah satu contohnya, terjadi pencemaran bahkan kerusakan atas Daerah Aliran Sungai (DAS) Sagea, hal ini karena ekosistem hutan di hulu Sungai Sagea rusak.[2] Hasil pengujian air laut di Teluk Weda, Halmahera Tengah, dan Teluk Buli, Halmahera Timur, keduanya di Provinsi Maluku Utara, awal September lalu, menunjukkan indikasi itu. Kandungan krom heksavalen (Cr), nikel (Ni), dan tembaga (Cu) melebihi ambang baku mutu yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.[3]
  • Operasional PLTU kaptif dan aktivitas kendaraan berat di kawasan-kawasan industri nikel, seperti Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), diduga berkontribusi besar atas tingginya konsentrasi debu (PM10 dan PM2.5) di desa-desa terdampak. Buruknya kualitas udara tersebut menyebabkan tingginya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Desa Lelilef, Kabupaten Halmahera Tengah, dan di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, seperti yang tercatat oleh Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) setempat.

Pelanggaran hak asasi manusia dan kurangnya keterlibatan masyarakat

  • Konflik antara masyarakat lokal dan tambang nikel meningkatkan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal dan pembela lingkungan.
  • Penduduk desa setempat di daerah pertambangan dan pengilangan utama menyatakan keprihatinannya mengenai hal ini dampak negatif yang mereka hadapi, khususnya terkait pertanian dan akses terhadap infrastruktur masyarakat, seperti akses air bersih serta ancaman bencana alam.[4]

Isu Keadilan Perdagangan dan Dampaknya Pada Masyarakat

Perlu diketahui juga bahwa Pemerintah Indonesia dalam melakukan berbagai perundingan perjanjian perdagangan Internasional selalu eksklusif dan minim partisipasi publik termasuk dalam merundingkan isu-isu terkait pertambangan ekstraktif. Padahal isu-isu ekstraktif yang dirundingkan itu sangat berdampak luas bagi kehidupan masyarakat kecil.

Apabila Amerika Serikat serius dengan komitmen standar lingkungan dalam konteks fasilitasi perdagangan yang sedang dinegosiasikan dalam Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) dengan Indonesia. Maka, seharusnya dapat mencegah berdagang nikel dengan Indonesia yang mengakibatkan deforestasi dan kerusakan lingkungan maupun dampak sosial.

Apabila kehadiran Presiden Jokowi ke Amerika Serikat dengan maksud untuk membicarakan terkait perdagangan nikel maupun transisi energi. Maka, perlu diingat bahwa nasib

Masalah Ketenagakerjaan dan Kerusuhan

  • Kerusuhan telah terjadi dan berujung pada kematian pekerja karena kondisi keselamatan dan upah yang buruk; laporan merinci jam kerja yang panjang tanpa istirahat, pemotongan gaji, dan kurangnya peralatan keselamatan dan pernapasan yang memadai.
Tuntunan

Eksploitasi besar-besaran sumber daya alam tanpa diikuti upaya pengembangan tata kelola pertambangan yang kuat, memiliki konsekuensi serius akan terjadinya kerusakan ekologis serta pelanggaran hak asasi manusia. Risiko kerusakan lingkungan serta pelanggaran HAM dalam rantai nilai nikel itu telah terefleksikan di berbagai wilayah pertambangan nikel di Indonesia, salah satu negara penghasil cadangan nikel terbesar dunia.

Pengoperasian PLTU batubara dalam kawasan industri juga turut meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer dan berpengaruh buruk pada perubahan iklim dunia. Hal ini tidak sejalan dengan target Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Selain itu, emisi yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik tersebut berpotensi menurunkan kualitas kesehatan warga lokal.

Baterai kendaraan listrik ditengarai akan memainkan peran penting dalam pergeseran menuju ekonomi netral karbon. Temuan mengenai ekstraksi nikel yang penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan harus diatasi dan dimitigasi jika transisi yang adil ke energi terbarukan ingin dicapai.

Berdasarkan hasil pemantauan koalisi masyarakat sipil di lapangan yang menunjukkan banyaknya risiko lingkungan dan dampak hak asasi manusia akibat kegiatan tambang nikel tersebut, maka diperlukan reformasi kebijakan tata kelola pertambangan yang bertanggung jawab dan berbasis pada hak asasi manusia. Bahkan, seharusnya Presiden Jokowi melakukan moratorium penerbitan izin-izin tambang mineral kritis di seluruh Indonesia

Oleh karena itu, kami meminta kepada Pemerintahan Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Joe Biden untuk melihat dan mempertimbangkan berbagai kondisi tersebut dalam membahas perjanjian perdagangan dengan Indonesia.

Hormat kami,

  1. Satya Bumi
  2. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  3. Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)
  4. WALHI Eksekutif Nasional
  5. WALHI Sulawesi Selatan
  6. WALHI Sulawesi Tenggara
  7. Forest Watch Indonesia (FWI)

Selengkapnya dapat diunduh tautan dibawah ini :

Surat dari CSO Indonesia untuk Presiden Biden
Published: November 15, 2023

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top