Koalisi Masyarakat Sipil Sikapi Pelanggar HAM dan Perusak Lingkungan

Surat Pernyataan Bersama
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, Perempuan, Petani,
Buruh, Pemuda, Mahasiswa dan Masyarakat untuk Menyikapi
Kebijakan dan Operasi Bisnis yang Melanggar Hak Asasi
Manusia dan Merusak Lingkungan

Jakarta, 09 Mei 2022
Kepada Yth:
Komisi Uni Eropa
Dewan Uni Eropa
Parlemen Uni Eropa

Kami aktivis organisasi masyarakat sipil, perempuan, petani, buruh, pemuda dan mahasiswa, masyarakat adat dan lokal yang berdiam disekitar dan dalam kawasan hutan, yang terdampak usaha perkebunan dan minyak kelapa sawit di Indonesia, menyampaikan pandangan dan pernyataan sikap terhadap kebijakan dan aktivitas bisnis minyak kelapa sawit tersebut.

Tanah dan hutan merupakan sumber kehidupan masyarakat, sumber mata pencaharian, sumber pangan, air dan obatobatan, yang juga mempunyai fungsi sosial budaya, sejarah, identitas dan spiritual, dan ekologi penunjang kehidupan. Lebih khusus lagi untuk Perempuan Adat, Hutan merupakan wilayah produksi sekaligus reproduksi sosial yang memampukan kami menjalankan tugas dan peran, seperti pemenuhan pangan rumah tangga, sosialisasi anak, dan kerja-kerja perawatan lainnya.

Oleh karena itu, setiap kebijakan dan operasionalisasi proyek pembangunan ekonomi berbasis hutan dan lahan untuk tujuan komersial yang mengubah, menghilangkan dan merusak nilai dan fungsi tanah dan hutan, seperti usaha perkebunan kelapa sawit, akan sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup kami dan daya dukung lingkungan, dan identitas sosial masyarakat.

Saat ini, tanah dan hutan kami sedang terancam hilang dan digusur untuk usaha perkebunan dan pabrik minyak kelapa sawit, yang dilakukan dengan cara-cara paksa dan sistematis, melalui kebijakan peraturan, kekerasan, ancaman, pembatasan dan manipulasi. Hal ini dimungkinkan oleh peran berbagai pihak, yakni negara sebagai pembuat kebijakan peraturan dan pejabat pemberi izin, korporasi sebagai pemilik modal, pengendali bisnis, pedagang dan produsen minyak kelapa sawit, serta aparatus keamanan negara sebagai alat kekerasan yang mengamankan kepentingan bisnis.

Kami menilai dan merasakan buruknya tata kelola pemerintah dalam pengaturan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan hutan untuk bisnis komersial minyak kelapa sawit, berlangsung secara tidak tidak adil dan tidak bertanggung jawab, merampas hak-hak masyarakat, menggundulkan hutan dan menghilangkan keanekaragaman hayati, menimbulkan kekerasan, eksploitasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Perempuan, yang berdampak pada penghancuran sistem sosial, peningkatan konflik dan korban jiwa, degradasi kedaulatan dan kemandirian masyarakat, menurunkan derajat daya dukung lingkungan, menyebabkan kebakaran hutan dan krisis ekologi.

Petani kecil dan buruh dieksploitasi dan termarjinal dalam proses produksi, sistem harga, pasar tenaga kerja dan upah pada rantai pasok industri minyak kelapa sawit, yang dikendalikan kuasa korporasi. Sementara masyarakat luas menjadi korban kelangkaan dan peningkatan harga minyak goreng yang menjadi mahal dan sulit didapatkan, akibat lebih dari 80 persen produksi minyak sawit nasional dijual ke pasar internasional demi keuntungan ekonomi di tengah tingginya harga minyak sawit mentah (CPO). Praktikpraktik yang melanggar hukum dan persekongkolan oligarki untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang merugikan masyarakat luas ini dilakukan dengan melibatkan pejabat negara yang korupsi dan perusahaan kelapa sawit pemilik sertifikat
berkelanjutan dari RSPO.

Standar, prinsip dan kriteria perkebunan berkelanjutan yang diberikan kepada korporasi, pada praktiknya dilakukan tanpa informasi dan verifikasi yang memadai dan transparan, cenderung mengabaikan dan melanggar prinsip berkelanjutan, tanpa mekanisme penyelesaian konflik dan rehabilitasi yang berpihak pada korban dan lingkungan. Laporan Greenpeace Indonesia (2021), mengungkapkan sejumlah perusahaan kelapa sawit yang telah memiliki sertifikat RSPO dan ISPO masih beroperasi dalam kawasan hutan, yang bertentangan dengan prinsip berkelanjutan.

Kami memandang dan menyatakan bahwa negara harus bertanggung jawab penuh untuk mengubah dan membaharui kebijakan tata kelola industri minyak kelapa sawit yang sungguh-sungguh kuat, berkeadilan dan mengutamakan kepentingan rakyat, petani, buruh dan kelestarian lingkungan hidup, berdasarkan konstitusi, prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan pembangunan berkelanjutan. Harus ada penegakan hukum dan sanksi tegas atas setiap kejahatan dan pelanggaran hukum dalam sektor bisnis minyak kelapa sawit, tanpa memandang siapapun pelakunya, pejabat negara, pemilik modal, lembaga keuangan dan lainnya. Negara juga berkewajiban mengembangkan kebijakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM, serta melakukan pemulihan dan rehabilitasi terhadap korban dan lingkungan.

Demikian pula, negara-negara Eropa seharusnya mengambil tanggung jawab dalam memajukan dan memperkuat tata kelola penggunaan dan pengelolaan minyak kelapa sawit dan seluruh produk turunannya, untuk kebutuhan makanan dan non makanan, energi biofuel, dengan memastikan produksi dan konsumsi minyak kelapa sawit yang dihasilkan negara produsen, bersumber dari usaha-usaha yang berkeadilan, tidak melanggar hukum, dan menjamin penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia dan Hak- Hak Perempuan, serta kelestarian lingkungan hidup.

Sehubungan dengan rencana pembahasan dan pengembangan kebijakan Uni Eropa tentang kebijakan pemanfaatan energi terbarukan yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam yang bebas deforestasi dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca, termasuk tidak menggunakan dan mendukung komoditi tertentu, seperti minyak kelapa sawit, kedelai dan tanaman nabati lainnya untuk menjadi bahan bakar biofuel, maka dengan kepercayaan dan harapan besar pada komitmen politik Uni Eropa terhadap Hak Asasi Manusai, lingkungan dan penurunan emisi GRK, kami meminta pemerintah dan pengambil kebijakan Uni Eropa untuk:

  1. Merumuskan, menerapkan, memantau dan mengevaluasi secara berkala kepatuhan terhadap kebijakan peraturan dan sistem perlindungan (safeguard) yang kuat dan efektif dalam rantai ekonomi perdagangan dan penggunaan energi terbarukan dari komoditas minyak kelapa sawit, kedelai dan sebagainya, dengan mewajibkan adanya perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Perempuan, melakukan uji tuntas HAM dan bebas deforestasi, rehabilitasi dan pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM dan
    kerusakan lingkungan yang terdampak operasi industri minyak sawit dan penggunaan bahan bakar biofuel;
  2. Menerapkan, memantau dan mengevaluasi kepatuhan atas prosedur
    uji tuntas dari para operator bisnis minyak kelapa sawit pada seluruh mata rantai pasok yang dilakukan secara transparan, membuka akses informasi sumber dan pemasok komoditas seluasluasnya, memenuhi persyaratan legalitas mengacu pada peraturan negara produsen dan instrument HAM internasional, dan menilai dan mengidenfitikasi resiko pelanggaran HAM dan bebas deforestasi, untuk mencegah dan menangani resiko atas produk komoditas yang di konsumsi;
  3. Memperkuat dan memberikan insentif dan dukungan kapasitas kepada negara produsen untuk meningkatkan kebijakan tata kelola hutan dan lahan, sistem produksi berkelanjutan, pengetahuan teknologi, serta kerjasama dalam mengurangi dan mencegah dampak
    deforestasi;
  4. Memberikan insentif perlindungan dan pemberdayaan kepada petani kecil dan buruh perkebunan kelapa sawit, yang mengembangkan usaha secara mandiri dan berkelanjutan.
  5. Melibatkan jaringan organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan, petani, buruh, tokoh agama, Pembela HAM dan Lingkungan, dan pihak independen yang berkompeten, dalam proses konsultasi dan pembentukan hukum, pemantauan dan pengawasan atas proses dan pelaksanaan kebijakan, termasuk pemberian akses informasi;
  6. Mendorong pemerintah Indonesia melanjutkan dan memperkuat kebijakan moratorium pemberian izin dan perluasan lahan perkebunan baru kelapa sawit sebagai langkah strategis menyelesaikan permasalahan dan penataan kembali tata kelola hutan dan lahan untuk mengurangi deforestasi, perlindungan masyarakat yang tergantung pada tanah dan hutan, serta penegakan hukum;
  7. Meminta dan mendesak pemerintah Indonesia, secara khusus Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Tim Pengendalian Perizinan Konsesi, Penertiban dan Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan bersama Direktur Jenderal dalam lingkup KLHK, untuk menindaklanjuti putusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, terkait pencabutan izin bagi 192 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi dalam kawasan hutan dengan luas 3.126.439,36 hektar, dengan tindakan kongkrit penegakan hukum dan putusan sanksi pencabutan izin;
  8. Meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan peraturan turunannya, serta mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang memutuskan UU Cipta Kerja melanggar konstitusi UUD 1945 dan tidak menerbitkan kebijakan aturan dan program baru dari UU Cipta Kerja tersebut.

Kami yang mendukung dan menandatangani surat pernyataan

  1. Franky Samperante, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Jakarta
  2. Agus Sutomo, Lembaga Teraju Foundation, West Kalimantan
  3. Markus Baba, Worker, Asiki, Boven Digoel, Papua
  4. Septer Manufandu, JERAT Papua, Jayapura
  5. Sulfianto Alias, Perkumpulan Panah Papua, Manokwari, West Papua
  6. Aidil Fitri, Hutan Kita Institute, Palembang, South Sumatera
  7. Petrus Kerenderop Kinggo, Wambon Tekamerop Leader, Kali Kao, Boven Digoel, Papua
  8. Sani Lake, JPIC Kalimantan
  9. Emil Ola Kleden, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari, Jakarta
  10. Pdt. Jimmy M.I. Sormin, Christian Pastor, Jakarta
  11. Musa Mambrasar, Human Rights Activist, Manokwari, West Papua
  12. Irianto Jacobus, Yayasan KIPRa Papua
  13. Fecki Mobalen, AMAN Sorong Raya, West Papua
  14. Alex Tethool, Journalist, West Papua
  15. Laurens Womsiwor, Environmental Activist, Papua
  16. Ihwan, Yayasan Petak Danum, Kapuas, Central Kalimantan
  17. Joko Waluyo, Environmental Activist, West Kalimantan
  18. Sopice Sawor, Women Activist, South of Sorong, West Papua
  19. Loury da Costa, PBHKP, Sorong, West Papua
  20. Norman Jiwan, Environmental Activist, West Kalimantan
  21. Naomi Marisan, Pt. PPMA Papua, Jayapura
  22. Pius Ginting, Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Jakarta
  23. Yoyon Pardianto, Youth Activist, Aceh
  24. Yohanis Mambrasar, Lawyer, Babeoser Bikar, Sorong, West Papua
  25. Pdt. Dora Balubun, STH, MSi, KPKC Sinode GKI di Tanah Papua
  26. Emanuel Gobay, LBH Papua
  27. Syahrul M, Persatuan Masyarakat Adat Paser, East Kalimantan
  28. Wahyu Wagiman, Human Rights Activist,, Jakarta
  29. Syamsu Alam Agus, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta
  30. Mayang Andasputri, AMAN Bengkayang, West Kalimantan
  31. Zainal Arifin, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta
  32. Uli Arta Siagian, WALHI, Jakarta
  33. Markus Binur, Perkumpulan Belantara Papua, Sorong, West Papua
  34. Nikolas Djemris Imunuplatia, GEMAPALA, Fakfak, West Papua
  35. April Perlindungan, Worker, Bandung, West Jawa
  36. Denny Yomaki, Yayasan Lingkungan Hidup Papua, Jayapura
  37. Zulfikar, Activist, Nanggroe Aceh Darussalam
  38. Wirya Supriyadi, WALHI Papua, Jayapura
  39. Yuliana Langowuyo, SKPKC Fransiskan Papua
  40. Elly Ramos Petege, Human Rights Activist, Papua
  41. Maikel Primus Peuki, WALHI Papua, Jayapura
  42. Dimas Hartono, Environmental Activist, Central Kalimantan
  43. Symphati Dimas, Front Mahasiswa Nasional, Jakarta
  44. Ahmad Sja, PADI Indonesia, Samarinda, East Kalimantan
  45. Belawing Jiu, Etnika Kosmologi Katulistiwa, East Kalimantan
  46. Yohanes Akwan, YLBH Sisar Matiti, Manokwari, West Papua
  47. Perkumpulan Bin Madag Hom, Teluk Bintuni, West Papua
  48. Era Purnama, Lawyer, Jakarta
  49. Sanusi M Syarif, Yayasan Rumpun Bambu Indonesia, Banda Aceh
  50. Norhadi Karben, Serikat Tani Manggatang Tarung Mantangai, Central Kalimantan
  51. Boy Even Sembiring, WALHI Riau
  52. Mufti Barri, Forest Watch Indonesia, Bogor
  53. Edi Sutrisno, TuK Indonesia, Jakarta
  54. Zulfikar Arma, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, Banda Aceh
  55. Nikodemus Ale, WALHI West Kalimantan
  56. Mustam Arif, Jurnal Celebes, South Sulawesi
  57. Adolfina Kuum, Komunitas Peduli Lindungi (Lepemawi), Timika, Papua
  58. Achmad Surambo, Sawit Watch, Bogor
  59. Yuyun Indradi, Trend Asia, Jakarta
  60. Eva Bande, Front Advokasi Sawit Central Sulawesi
  61. Harun Rumbarar, Papuan Voices, Papua
  62. Suci Fitriah Tanjung, WALHI DKI Jakarta
  63. Grahat Nagara, STHI Jentera, Teacher, Jakarta
  64. Doni Moidady, KPA Central Sulawesi
  65. Rudi HB Daman, Worker Activist, Jakarta
  66. Ruddy Gustave, KONPHALINDO
  67. Rukka Sombolinggi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta
  68. Muhammad Isnur, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta
  69. Erwin Basrin, Akar Foundation, Bengkulu
  70. Zelig Ilham Hamka, Akar Law Office, Bengkulu
  71. Sena Aji Bagus Dwi Handoko, Mnukwar Papua, Manokwari, West Papua
  72. Adrianus Manu, Celebes Bergerak, Central Sulawesi
  73. Agung Wibowo, Perkumpulan Huma Indonesia, Jakarta
  74. Asep Yunan Firdaus, Yayasan Epistema, Jakarta
  75. Serikat Petani Pasundan, Garut, West Jawa
  76. Agustiana, Gerakan Masyarakat Agraria Indonesia
  77. Zensi Suhadi, WALHI Nasional
  78. Made Ali, Jikalahari, Riau
  79. Jefri Sianturi, Senarai, Riau
  80. Maksum Syam, Sajogyo Institute, Bogor
  81. Amran Tambaru, Yayasan Merah Putih Central Sulawesi
  82. Laksmi Adriani Savitri, FIAN Indonesia
  83. Richard F Labiro, Yayasan Tanah Merdeka, Palu, Central Sulawesi
  84. Septi Meidodga, Youth Indigenous Activist, Manokwari, West Papua
  85. Onesimus Wetaku, Ikana Indogenous Leader, Sorong Selatan, West Papua
  86. Sri Palupi, The Institute for Ecosoc Rights, Jakarta
  87. Darwis, Green of Borneo, North Kalimantan
  88. Djayu Sukma Ifantara, YMKL, Pontianak, West Kalimantan
  89. Joni, Dayak Indigenpous Leader, North Kalimantan
  90. Wiwin, Union of Loli Raya Mosiromu, Donggala, Central Sulawesi
  91. Fitriani S. Pairunan, Solidaritas Perempuan Palu, Central Sulawesi
  92. Albert Manu, Serikat Petani Katu, Poso, Central Sulawesi
  93. Aprianto Mangewa, Serikat Mahasiswa Progresif Central Sulawesi
  94. Penrad Siagian, Paritas Institute, Jakarta
  95. Iola Abas, Pantau Gambut, Jakarta
  96. Feri Irawan, Perkumpulan Hijau, Jambi
  97. Delima Silalahi, KSPPM Parapat, North Sumatera
  98. Yanuarius Anouw, Perkumpulan Bentara Papua, Manokwari, West Papua
  99. Dewi Kartika, Konsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta
  100. Alman Gampo Alam, Pucuk Adat Luak Saparampek, Nagari Kapa, West Sumatera
  101. Nazar Ikhwan Imbang Langik, Ketua Kerapatan Adat Kinali, West Sumatera
  102. Kaisar Dt. Simarjo Nana Anggun Basa Nan Barampek Nagari Kinali, West Sumatera
  103. Syahrul Ramadhan Tanjung Sinaro Pucuk Adat Nagari Kapa, West Sumatera
  104. Awalludin, Paralegal Dharmasraya, West Sumatera
  105. Datu Udin, Dharmasraya, West Sumatera
  106. Zulkifli, Yayasan Nagari Institute, West Sumatera
  107. Rudiansyah, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari, Jambi
  108. Novi Onora, Yayasan Pendidikan Rakyat, Central Sulawesi
  109. Martha Doq, Perkumpulan Nurani Perempuan, Samarinda, East Kalimantan
  110. Eko Cahyono, Sajogyo Institute, Bogor
  111. Agustinus Binjap, Forum Rakyat Papua, Boven Digoel, Papua
  112. Damairia Pakpahan, Protection International Indonesia, Jakarta
  113. Mahir Takaka, Indigenous Peoples Activist, South Sulawesi
  114. Marthen Luther Wambarop, Ketua KNPI Boven Digoel, Papua
  115. Pius Erik Nyompe, LKMTL Kutai Barat, East Kalimantan
  116. Harry Oktavian, Perkumpulan Bhatera Alam, Pekanbaru, Riau
  117. Rosita Tecuari, Organisasi Perempuan Adat Namblong, Jayapura, Papua
  118. Nimbrot Wouw, Nimbokrang Indigenous Leader, Jayapura, Papua
  119. Arosius Wai Simon, Nimbokrang Indigenous Leader, Jayapura, Papua
  120. Oskar Baiy, Nimbokrang Indigenous Leader, Jayapura, Papua
  121. Yakop Uyosu, Nimbokrang Indigenous Leader, Jayapura, Papua
  122. Marten Waisimon, Nimbokrang Indigenous Leader, Jayapura, Papua
  123. Yosep Hembring, Demuo Tru Indigenous Leader, Jayapura, Papua
  124. Ade Candra, Warsi, Jambi
  125. Torry Kuswardono, Yayasan Pikul, Kupang, East Nusa Tenggara
  126. Dina Kekri, Organisasi Perempuan Adat Namblong, Jayapura, Papua
  127. Sopia Bano, Organisasi Perempuan Adat Namblong, Jayapura, Papua
  128. Catur Widi Asmoro, Rasamala Hijau Indonesia, Bogor
  129. Rahmat, Farmer Activist, Bogor
  130. Dedi Kurniawan, Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia, West Jawa
  131. Eko Zanuardy, Link-AR Borneo, Pontianak, West Kalimantan
  132. Yusuf Heru Cahyono, Forum Warga Tanjung Rancing, Ogan Komering Ilir, South Sumatera
  133. Sahrul Sidin, Persatuan Petani Way Serdang, Mesuji, Lampung
  134. Wayan Sutomo, AGRA Central Kalimantan
  135. Sugiono, Kelompok Tani Berjuang, Kotawaringin Timur, Central Kalimantan
  136. Sianto Arifin, Serikat Pekerja Sawit Indonesia (SEPASI), Central Kalimantan
  137. Ali, Serikat Pekerja Pertanian Indonesia, Jakarta
  138. Rizal, Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit, Jakarta
  139. Purnomo, WALHI Central Kalimantan
  140. Erwin, Paguyuban Petani Cianjur, wEST Jawa
  141. Yohanis Nongyap, Lembaga pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat, Boven Digoel, Papua
  142. I Ngurah Suryawan, Akademisi, Denpasar, Bali
  143. Yusuf Momot, Tehit Indigenous Leader, Sorong Selatan, West Papua
  144. Pius Edegius Suam, Awyu Tribe Leader, Boven Digoel, Papua
  145. Damianus Soh, Awyu Paralegal, Boven Digoel, Papua
  146. Donatus Nawisi, EHRD from Awyu Tribe, Boven Digoel, Papua
  147. Oktovianus Bovi, EHRD from Awyu Tribe, Boven Digoel, Papua
  148. Richarda Maa, Women Defender from Awyu Tribe, Boven Digoel, Papua
  149. Pius Kanduga, Wambon Tekamerop Tribe Leader, Boven Digoel, Papua
  150. Linus Omba, Indigenous Peoples Activist, Selil, Merauke, Papua
  151. Risky Patiasina, Student Activist, UNMUS, Merauke, Papua
  152. Fandy Alberto Binu Wakil, Student Activist, UNMUS, Merauke, Papua
  153. Rafael Medang Tapun, Catholic Student, Merauke, Papua
  154. Engelberth Rangga T. Kaize, Catholic Student, Merauke, Papua
  155. Noumenzen Josua L. S. Ajamiseba, Christian Student, Merauke, Papua
  156. Salerus Kamogou, Student Activist, STIE, Merauke, Papua
  157. Mario Mere, Catholic Student, Merauke, Papua
  158. Epifianus Faot, Catholic Student, Merauke, Papua
  159. Robertus Meanggi, Student Activist, UNMUS, Merauke, Papua
  160. Januarius Baweng, Student Activist, Merauke, Papua
  161. Kristianus Samkakai, Catholic Student, Merauke, Papua
  162. Walterus Konowarop, Student Activist, Boven Digoel, Papua
  163. Rofinus Kaimbe Awi, Catholic Student, Merauke, Papua
  164. Antonia Meanggi, Women Defender, Kampung Anggai, Boven Digoel, Papua
  165. Ambrosius Klagilit, Youth Activist Sorong, West Papua
  166. Silas O Kalami, S.Sos., MA, Lembaga Masyarskat Adat Malamoi, Sorong, West Papua
  167. Soleman Mobalen S.an, Lembaga Masyarakat Adat Malamoi, Sorong, West Papua

Contact Person:
Franky Samperante
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Jakarta
Email: frankysamperante@protonmail.com
Phone: +62 81317286019

 

 

Indonesia dikaruniai dengan salah satu hutan tropis yang paling luas dan tinggi tingkat kayakeanekaragaman hayatinya di dunia. Puluhan juta masyarakat Indonesia mengandalkan hidup dan mata pencahariannya dari hutan, baik dari mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau bekerja pada sektor industri pengolahan kayu. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna yang kelimpahannya tidak tertandingi oleh negara lain dengan ukuran luas yang sama. Bahkan sampai sekarang hampir setiap ekspedisi ilmiah yang dilakukan di hutan tropis Indonesia selalu menghasilkan penemuan species baru.

“Keajaiban ekonomi” Indonesia pada tahun 1980-an dan 1990-an ternyata sebagian terjadi dengan menghancurkan lingkungan dan pelanggaran hak dan tradisi mayarakat lokal. Sebagai contoh, salah satu sektor perekonomian yang mengalami pertumbuhan paling pesat, yaitu industri pulp dan kertas, ternyata didirikan tanpa terlebih dahulu membangun hutan tanaman industri yang sangat diperlukan untuk menjamin pengadaan pasokan kayu pulp. Sebaliknya, berbagai pabrik pulp ini mengandalkan bahan bakunya dari pembukaan hutan alam secara besar-besaran. Perekonomian Indonesia dinodai dengan ketidaktaatan terhadap hukum dan korupsi.

Pembalakan ilegal sudah berlangsung secara terang-terangan dalam volume yang sangat besar selama bertahun-tahun dan diyakini telah merusak hutan seluas 10 juta ha. Industri pengolahan kayu di Indonesia beroperasi di remang-remang sistem hukum yang aneh, dimana perusahaan-perusahaan besar yang sampai terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 berhasil menarik penanaman modal miliaran dolar dari negara-negara Barat, ternyata mendapatkan lebih dari separuh pasokan bahan baku kayu dari sumber-sumber ilegal. Kayu secara rutin diselundupkan ke lintas perbatasan negara-negara tetangga, menyebabkan Pemerintah Indonesia kehilangan penerimaan jutaan dolar setiap tahun.

Sementara bukti-bukti terjadinya kerusakan sudah sedemikian banyak, namun gambaran tentang kerusakannya masih tetap kabur karena data yang ada saling bertentangan, informasi tidak tepat, dan klaim serta bantahan yang saling bertentangan. Oleh karena itu ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk melakukan penilaian yang obyektif terhadap situasi hutan Indonesia, yang akan menghasilkan basis informasi yang benar bagi setiap individu dan organisasi yang berupaya untuk melakukan perubahan yang positif.

Laporan tentang Keadaan Hutan Indonesia ini adalah hasil karya Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW).

Untuk phki-2001-fwi-high-res, dapat menghubungi :
Sekretariat Forest Watch Indonesia
Jl. Sempur Kaler No. 62, Bogor – Indonesia
Telp. +62 251 8333308 ; Fax. +62 251 8317926
Email: fwibogor@fwi.or.id

Potret Keadaan Hutan Indonesia Tahun 2000

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top