Jakarta, 12 Juli 2024 – DPR RI dan Pemerintah RI telah sepakat untuk mengesahkan Undang-Undang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Meskipun berbagai pihak berharap adanya pembaruan yang komprehensif dan berkelanjutan, sayangnya, perubahan yang dilakukan justru menghadirkan sejumlah masalah baru.
Adanya perubahan konsep dari undang-undang pengganti menjadi undang-undang perubahan, materi muatan dalam Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) belum mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat dan belum bisa menjawab tantangan dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selama ini.
Dengan disahkan RUU KSDAHE menjadi undang-undang, maka mempertegas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia masih tetap menitikberatkan pada paradigma jadul, yakni 3 pilar konservasi pemanfaatan, pengawetan, dan perlindungan. Padahal penting untuk melihat situasi realita dan kenyataan di lapangan, bahwa selain Negara, masyarakat dan masyarakat adat juga memiliki pengetahuan, kearifan, dan kemampuan dalam mengkonservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Titik berat konservasi seharusnya dilakukan secara inklusif dengan mengakui dan menghargai subjek masyarakat dan masyarakat adat sebagai pelaku konservasi.
Dalam proses pembahasan RUU KSDAHE terdapat beberapa catatan aspek penting yang disorot oleh kelompok masyarakat sipil. Salah satu aspek penting tersebut ialah pengabaian terhadap prinsip partisipasi bermakna dan pembahasan secara tertutup oleh tim Panja RUU KSDAHE dalam proses rapat pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) . Tak hanya bermasalah dalam proses pembentukan peraturan, RUU KSDAHE juga dinilai bermasalah secara substansi.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyebut bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang menyepakati Konvensi Keanekaragaman Hayati pada konferensi COP 15 (CBD COP-15) di Montreal, 2022 lalu, seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk menuangkan komitmen kuat perlindungan keanekaragaman hayati dalam RUU KSDAHE.
Salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam konferensi tersebut adalah untuk menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati pada tahun 2030. Oleh karenanya, harus ada target yang terukur dan spesifik dalam setiap ketentuannya.
“Ada pergeseran paradigma konservasi yang tertuang dalam konvensi ini. Salah satunya peran masyarakat adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati yang amat jelas disebut di sana. Masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal dan peranan krusial yang selama ini mampu menjaga alam dan biodiversitas. Libatkan mereka secara bermakna. Mulai dari perencanaan hingga implementasinya,” jelas Andi.
Muhamad Satria Putra, koordinator hukum dan advokasi Garda Animalia, mengatakan bahwa dengan beralihnya kepada konsep undang-undang perubahan maka frasa dilindungi dan tidak dilindungi tetap berlaku sehingga kelemahan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 masih tetap ada. “Frasa tersebut mengancam keberlangsungan jenis tumbuhan maupun satwa liar yang tidak dilindungi di alam liar. Karena tidak dilindungi, maka perburuan hingga perdagangan tumbuhan dan satwa liar tersebut akan tetap marak sehingga dapat merusak populasinya di alam liar”.
Adapun merujuk pada DIM RUU KSDAHE, alasan tetap digunakannya frasa dilindungi dan tidak dilindungi tetap dipertahankan yaitu didasari oleh kondisi populasi dari alam, aspek perlindungan, dan penerapannya lebih sederhana dan dapat diimplementasikan.
“Masalahnya kita tak memiliki data pasti terkait populasi tumbuhan maupun satwa liar di Indonesia. Bahkan terdapat satwa liar yang masuk ke dalam jenis tidak dilindungi akan tetapi berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkannya ke dalam daftar merah terancam punah”. Lebih lanjut, Satria menerangkan bahwa implikasi terhadap frasa dilindungi dan tidak dilindungi berpengaruh pada penegakkan hukum. “Selama ini, penegakkan hukum kejahatan terhadap satwa liar dinilai rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera. Hal tersebut disebabkan, dalam memutuskan perkara Majelis Hakim hanya mengacu pada unsur satwa tersebut termasuk satwa liar dilindungi. Padahal tidak semua satwa liar memiliki nilai valuasi yang sama. Oleh karena itu, sudah seharusnya RUU KSDAHE mampu mengakomodasi pembagian perlindungan satwa berdasarkan tingkat keterancaman punah, tingkat kesulitan merehabilitasi, dan aspek lainnya”, tutupnya.
Ayut Enggeliah, dari Perkumpulan Sawit Watch menyampaikan, “dalam pengaturan fungsi kawasan Areal Preservasi meliputi area penyangga di wilayah konservasi, koridor satwa, kawasan dengan nilai konservasi tinggi, area konservasi kelola masyarakat dan daerah perlindungan kearifan lokal tercantum dapat dikelola yang mempunyai pemegang hak/izin. Tetapi dengan adanya ketentuan pemegang hak atas tanah di Areal Preservasi wajib melakukan kegiatan konservasi di tanah mereka. Jika tidak, hak atas tanah akan dicabut kembali hak pengelolaannya. Dalam ketentuan lain, RUU KSDAHE juga menyebutkan hutan adat sebagai salah satu bagian dari dari kawasan padahal hutan adat tidak hanya difungsikan untuk konservasi semata. Jelas ketentuan ini berbahaya karena ada potensi negara akan mengatur secara sentralistik, sehingga konflik seperti antara masyarakat adat dengan taman nasional selama ini akan terus berulang.”
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, menegaskan bahwa publik membutuhkan kualitas undang-undang yang mampu menjawab permasalahan lingkungan dan krisis iklim ke depan. Data FWI menyebutkan bahwa 90 persen kerusakan sumber daya alam berupa hutan dan ekosistem penting lainnya terjadi di luar kawasan konservasi. Publik menantikan lahirnya kebijakan yang bisa melindungi sumber daya alam dari modus-modus eksploitasi untuk menjamin hak kualitas lingkungan yang lebih baik.
Bahkan dalam undang-undang yang mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ini sama sekali tidak membahas, mengatur, dan bahkan menyebutkan jenis-jenis ekosistem yang ada di Indonesia. Misal ekosistem mangrove, ekosistem gambut, dan ekosistem karst itu sama sekali tidak disebutkan dalam undang-undang ini apalagi diatur, untuk menjawab tantangan pembangunan yang terus menggerus ekosistem lahan basah tersebut.
“Pengaturan areal preservasi tidak akan bisa menjawab tantangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang sesungguhnya. Pertama, preservasi merupakan jebakan kebijakan bagi Pemerintah Daerah meski urusan Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi, termasuk Areal Penggunaan Lain (APL) sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 di bawah Pemerintah Provinsi namun 14,2 juta hektare sumber daya alam justru berada di dalam konsesi (Tambang, Kebun, Kehutanan) di bawah kementerian. Kedua, tidak ada sama sekali menyebutkan pengaturan soal status perlindungan dan pengelolaan setiap jenis ekosistem di Indonesia. Ketiga, areal preservasi tidak bisa disamakan dengan kawasan ekosistem esensial dan Other Effective Area-Based Conservation Measures (OECM), karena tidak mengenal collaborative management sebagai kunci keberhasilan konservasi yang inklusif.
Forest Watch Indonesia : Anggi Prayoga (+62 857-2034-6154)
Garda Animalia : Satriya (+62 896-9437-0612)
Satya Bumi : Andi Muttaqien (+62 812-1996-984)
Sawit Watch : Ayut (+62 812-3407-5917)
Trend Asia : Amalya Reza Oktaviani (+62 896-5447-1045)
Auriga Nusantara : Roni (+62 811-6678-033)
Indonesia Parliamentary Center : Arif Adiputro (+62 856-9372-0839)