Utak Atik Target Bauran Energi Nasional: Potret Ugal-Ugalan Proyek Biomassa

Pemerintah Indonesia masih berambisi mencapai target bauran energi terbarukan hingga 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050. Kendati demikian, target ambisi bauran energi nasional rencananya akan diturunkan mengikuti perubahan pada Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang sedang masuk tahap harmonisasi oleh DPR bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Grafik Pencapaian Baruan Energi

Realisasi bauran energi di Indonesia masih tertinggal dari target yang ditetapkan. Tren peningkatan dari tahun 2018 hingga 2022 sangat tidak signifikan. Realisasi energi baru terbarukan (EBT) masih jauh dari harapan. Pada tahun 2023, realisasi EBT hanya mencapai 12,5 persen, jauh dari target yang ditetapkan 17,9 persen. Pencapaian realisasi dari tahun 2021 ke 2022 adalah 0,1 persen dan dari 2022 ke 2023 adalah 0,2 persen. Diperkirakan Indonesia bakal gagal mencapai target bauran energi 23 persen di tahun 2025 karena gap ketertinggalan lebih kurang 10 persen.

Utak atik target bauran energi nasional menjelang pengesahan. Target bauran energi bakal diturunkan menjadi 19 hingga 22 persen pada tahun 2025 sebagaimana yang disebutkan di dalam RPP KEN. Untuk menggenjot capaian bauran energi nasional tersebut, biomassa ditempatkan sebagai prioritas kedua setelah energi surya.

Pemanfaatan biomassa sebagai energi terbarukan tertuang di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang saat ini tengah dalam harmonisasi jelang pengesahan. Selain itu, pemanfaatan biomassa/bioenergi dimasukan juga ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) sebagai klaster energi terbarukan.

Tenaga surya diidentifikasi sebagai prioritas pertama dalam target bauran energi karena potensi besar dan dampak lingkungan yang lebih kecil. Sementara itu, mengapa biomassa masih dijadikan prioritas bahkan peringkat kedua sebagai sumber energi terbarukan meskipun sejauh ini implementasinya dilakukan secara ugal-ugalan?

Pemanfaatan biomassa, yakni berupa kayu, olahan kayu, termasuk limbah pertanian diklaim sebagai sumber energi terbarukan yang dapat menggantikan energi fosil batu bara di era transisi ini. Klaim tersebut didasarkan pada asumsi potensi biomassa yang tinggi yang berasal dari perkebunan kayu dan perkebunan kelapa sawit Indonesia, sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Pada tahun 2019, luas perkebunan kayu atau hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia mencapai 5 juta hektar. Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit mencatatkan luas yang jauh lebih besar, yaitu 15.303.368 hektar pada tahun 2023. Belum lagi jika asumsi potensi tersebut ditambah dengan capaian program luas areal Perhutanan Sosial 7,08 juta hektar di tahun 2024. Tentunya ini adalah iming-iming bagi pembuat kebijakan bahwa Indonesia dapat mandiri secara energi dengan memanfaatkan potensi biomassa.

potret tanaman hutan energi jenis sengon di jambi

Pasalnya, baik biomassa yang dihasilkan dari perkebunan kayu, hutan tanaman industri, hutan tanaman energi, perkebunan kelapa sawit bahkan termasuk limbah industri seperti kernel sawit dan sawdust (serbuk gergaji), merupakan komoditas yang bernilai tinggi. Sudah bukan lagi berupa potensi yang belum tergarap atau bahkan limbah yang bernilai rendah. Bahkan, limbah dari industri sawit (kernel) dan olahan sawdust dalam bentuk wood pellet merupakan komoditas ekspor.

Tidak heran capaian bauran energi sangatlah rendah karena konstelasi permasalahan biomassa yang lebih tinggi dibanding pengembangan energi terbarukan lain. Sarat dengan kepentingan bisnis para aktor di perusahaan kehutanan, perkebunan kelapa sawit, dan batu bara yang disinyalir juga turut terlibat dalam mengutak-atik kebijakan bauran energi nasional.

Biomassa dengan sekelumit kepentingannya untuk menjadi energi terbarukan akan dimanfaatkan oleh PLN sebagai pengganti energi batu bara sebanyak 5 sampai 10 persen di 52 PLTU di Indonesia. Dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN berencana memanfaatkan biomassa yang berasal dari sekam padi, kernel sawit, serbuk gergaji, wood pellet, dan serpihan kayu (wood chip) untuk dibakar menggantikan batu bara. PLN kemudian akan mengklaim langkah ini sebagai upaya pengurangan emisi dari sektor energi dan terlibat aktif dalam pasar bebas karbon dengan berhasil mengurangi konsumsi batu bara.

Asimetris Informasi masih menjadi potret implementasi pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia. Potret ini akan dihadapkan langsung dengan realitas yang pahit. Aktor, Kebijakan, dan Implementasi proyek biomassa masih digandrungi bayang-bayang bisnis semata. Proyek biomassa sebagai energi terbarukan ibarat “jauh panggang dari api”, tidak menjawab apapun soal perubahan iklim, pengurangan emisi, dan bauran energi nasional. Pemanfaatan biomassa menuai kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Biomassa dinilai tidak tepat sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia.

Co-firing PLN Ugal-Ugalan

Co-Firing atas klaim PLN telah diuji coba di beberapa PLTU di Indonesia, antara lain dengan pemanfaatan pellet sampah di PLTU Jeranjang dan PLTU Lontar. Pemanfaatan wood pellet di PLTU Paiton 1&2, PLTU Indramayu, PLTU Rembang, PLTU Ropa, dan PLTU Adipala. Pemanfaatan wood chip di PLTU Anggrek, PLTU Bolok, PLTU Tembilahan, dan PLTU Tarahan. Pemanfaatan kernel sawit di PLTU Tenayan, PLTU Ketapang, PLTU Sanggau, PLTU Belitung, PLTU Teluk Balikpapan, PLTU Nagan raya, dan PLTU Sintang. Pemanfaatan sawdust di PLTU Pacitan, PLTU Paiton 9, PLTU Barru, dan PLTU Labuan. Dan pemanfaatan sekam padi di PLTU Suralaya 1-4. Hingga Juli 2023 PLN telah mengklaim telah menerapkan co-firing biomassa di 40 PLTU dan ambisi di tahun 2025 menjadi 52 PLTU.

potret truk pengangkut biomassa di sukabumi

Implementasi co-firing di lapangan, tidak bisa berjalan mulus. Co-firing PLTU dijalankan secara tidak konsisten terhadap apa yang telah direncanakan di dalam dokumen RUPTL, serta minim perhitungan mengenai penggunaan jenis biomassa. Selain itu temuan di lapangan ada dugaan kuat permainan kongkalikong antara industri penyuplai biomassa dengan oknum PLN. Truk-truk pengangkut biomassa sengaja disiram dan dibasahi air untuk meningkatkan tonase sebelum masuk kawasan PLTU untuk ditiimbang. Selain itu, praktik “basah” ini dilakukan agar biomassa tidak langsung terbakar habis.

Untuk mengecoh persepsi publik, supplier biomassa menutup celah keluarnya air dari truk menggunakan tanah dan menutupnya dengan serbuk kayu atau sekam sebagai kamuflase. Praktik ini tentunya merugikan negara. Diperkirakan nilai tersebut dapat mencapai 1 sampai 1,5 miliar rupiah dalam satu bulan co-firing di satu PLTU.

Co-firing biomassa di PLTU diketahui telah menjadi mandat bagi PLN sebagai upaya peningkatan bauran energi nasional. Praktik “basah” ini sempat dihentikan oleh pihak PLN namun tidak selang lama dilanjutkan lagi. PLN berambisi meningkatkan capaian bauran energi baru terbarukan dari praktik co-firing hingga mencapai 12 persen. Target dan implementasi ini terkesan sangat tidak realistis diimplementasikan di lapangan dan merugikan negara.

Rantai Pasok Bermasalah

Untuk memenuhi kebutuhan co-firing di PLTU, PLN harus berebut sumber daya biomassa. Pertama, kernel sawit merupakan komoditas ekspor saat ini, Indonesia telah mengekspor kernel sawit ke beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Jerman, Belanda, Italia, Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, India, Australia, Korea Selatan, dan Taiwan. Limbah dari perkebunan kelapa sawit, berupa kernel sawit memiliki nilai harga. Salah satu provinsi pengekspor kernel sawit yakni Kalimantan Barat yang telah berhasil mengekspor kernel sawit dengan nilai 150,65 juta US$.

gorontalo
infografik eksport wood pellet

Kedua, wood pellet juga termasuk komoditas ekspor. FWI mendata terdapat 7 industri pengolahan kayu primer yang melakukan ekspor wood pellet dengan tujuan utama Korea Selatan dan Jepang dari 3 provinsi yaitu Gorontalo, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. FWI mencatat total produksi ekspor wood pellet dalam rentang 9 bulan terakhir (Oktober 2023 – Juni 2024) mencapai 60,250 ton. Industri memanfaatkan sawdust, wood chip, kayu rakyat, bahkan kayu alam untuk diolah menjadi wood pellet.

Ketiga, PLN berebut biomassa dengan masyarakat Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM). Dari pantauan di lapangan, wood pellet digunakan sebagai bahan bakar pengganti kayu bakar seperti untuk industri rumahan goreng tempe, produksi tahu, dll. Sama halnya sekam padi yang juga dimanfaatkan untuk persemaian tanaman, industri sekam bakar, dll oleh masyarakat.

Biomassa Adalah Komoditas Mahal

Sebagai komoditas ekspor, tentunya biomassa bukan barang yang murahan. Dari data ekspor yang kami himpun (dari Sistem Informasi Legalitas Kayu), rata-rata harga biomassa dalam bentuk wood pellet adalah Rp 2170 per-kilogram. Untuk pasar domestik berdasarkan laporan dari pelaku industri kayu, wood pellet dijual dengan harga Rp 1500 per-kilogram. Sementara harga untuk kernel sawit ekspor dihargai Rp 8.339,00 per-kilogram.

Hasil wawancara dengan pelaku industri di Gorontalo menyebutkan bahwa kemampuan PLN untuk membeli biomassa hanya Rp 300 per-kilogram, sementara dalam bentuk wood pellet di kisaran harga Rp 1200 per-kilogram. Hasil wawancara dengan Perhutani Forestry Institute penjualan green biomass dari Perum Perhutani agar menguntungkan harus di atas Rp 325 per-kilogram. Dan dalam olahan kayu harus diatas harga Rp 1400 per-kilogram.

Industri pembuatan wood pellet di gorontalo
Tidak Ada Industri Pengolahan

Implementasi co-firing tidak dijalankan dan diperhitungkan dengan serius. Pembangunan industri justru sesumbar dibangun pada tahun 2023. Pembangunan industri pengolahan kayu primer dibutuhkan untuk mengolah kayu atau sawdust dan woodchip menjadi wood pellet. Faktanya, ada sekitar 16 PLTU co-firing di Jawa, dan pembangunan industri hanya akan dilakukan di 3 lokasi, yakni Pelabuhan Ratu, Rembang, dan Brumbung.

Idealnya bagi industri-industri yang sudah establish memproduksi wood pellet, industri pengolahan kayu akan dibangun terintegrasi dengan kebun atau hutan, atau dengan industri pengolahan kayu yang langsung menghasilkan sawdust dan wood chip. Sementara itu, PLN yang mengusung co-firing biomassa tidak memiliki lahan sebagai sumber pasokan bahan baku. Dengan dibangun jauh dari sumber bahan baku, maka diproyeksikan pengolahan industri akan mengalami masalah dalam pemenuhan bahan baku wood pellet kedepan. Seperti transportasi, waktu, dan biaya.

potret hutan tanaman energi jenis sengon di jambi
Salah Pilih Agen

Dalam dokumen RUPTL PLN, direncanakan untuk memenuhi kebutuhan co-firing di PLTU dengan porsi 5 sampai 10 persen biomassa, membutuhkan setidaknya 8 sampai 14 juta ton wood pellet per tahunnya. PLN berencana akan memenuhi kebutuhan tersebut dari hasil produksi Hutan Tanaman Energi (HTE). HTE merupakan solusi yang problematik karena merupakan bentuk transformasi dari Hutan Tanaman Industri (HTI) yang memiliki sejarah kelam dengan hutan alam dan masyarakat/masyarakat adat Indonesia.

Pertama, untuk membangun HTE perusahaan melakukan land clearing dengan mendeforestasi hutan alam. FWI mencatat deforestasi terencana dari pembangunan HTE dapat mencapai 420 ribu hektar.

Kedua, dari 31 izin HTE yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada 31 perusahaan, data FWI menunjukan 8 di antaranya merupakan izin yang dicabut terdiri dari PT. Bara Indoco, PT. Bio Energy Indoco, PT. Gambaru Selaras Alam, PT. Aceh Nusa Indrapuri, PT. Bangkanesia, PT. Bhatara Alam Lestari, PT. Nityasa Idola, dan PT. Wono Indo Niaga. Sedangkan 3 izin lainnya  merupakan izin yang dievaluasi oleh KLHK, terdiri dari PT. Usaha Tani Lestari, PT. Ciptamas Bumi Subur, dan PT. E Greendo. Izin-izin yang dicabut dan dievaluasi tersebut merupakan izin yang bermasalah karena tidak melakukan komitmen usaha, tidak menjalankan usaha sesuai perencanaan, bahkan perusahaan sudah tidak aktif beroperasi. Proses screening dan check and balance terhadap alokasi perizinan HTE dengan tidak mempertimbangkan berbagai aspek berimplikasi tidak berjalannya operasional izin di tingkat tapak. Camp-camp pekerja yang mangkrak, tidak adanya persemaian, dan realisasi tanam menjadi potret land banking dari bisnis HTE ini.

Ketiga, bagi HTE yang sudah establish membangun industri yang terintegrasi dengan konsesinya, seperti di Gorontalo, direncanakan produksi wood pellet itu untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor. Target utama ke pasar Eropa seperti Belanda. Bukan untuk PLTU co-firing misal ke PLTU Anggrek di Gorontalo. Di Provinsi lain, seperti di Jambi, perusahaan yang masuk ke dalam Penanaman Modal Asing (PMA) produksi biomassa dilakukan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan biomassa asal negara pemodal, yakni Korea Selatan, bukan untuk Indonesia atau PLN.

Biomassa Sebagai Driver Deforestasi Baru di Indonesia

Biomassa terutama yang berasal dari kernel sawit dan kayu akan mendorong terjadinya deforestasi melalui pembukaan hutan dan lahan baru di Indonesia. Biomassa dengan dijadikan sebagai bahan baku untuk energi listrik merupakan bisnis baru terutama bagi pelaku usaha di Indonesia yang basisnya hutan, lahan, dan kebun. Oleh karena itu, bisnis ini tidak akan mengubah preferensi usaha yang sudah berjalan bahkan mengubah rantai pasok komoditas.

Bisnis ini justru akan membuka hutan dan lahan baru untuk memenuhi kebutuhan pasar baik domestik maupun ekspor. Misalnya dengan perhitungan luas tanaman dengan konsesi HTI yang diberikan ke perusahaan berkisar pada 30 sampai 50 persen, dimana lahan tersebut untuk memenuhi pasar bubur kertas dan kayu pertukangan saja. Maka untuk memenuhi kebutuhan biomassa, dibutuhkan lahan baru untuk membangun hutan tanaman energi. Diproyeksikan deforestasi dari bisnis biomassa kayu dapat mencapai 4,65 juta hektar dengan diberlakukannya kebijakan multiusaha tanaman energi. Angka tersebut dihitung dari aksesibilitas perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan Perhutanan Sosial (PS) ke lokasi PLTU co-firing di Indonesia.

Biomassa Mempertajam Ketimpangan Penguasaan Hutan dan Lahan

Demand (permintaan) baru terhadap komoditas biomassa terbilang tinggi terutama bagi pasar ekspor. Dorongan biomassa sebagai sumber energi terbarukan di kebijakan energi nasional ditambah kemudahan perizinan dari sektor kehutanan, melahirkan terbitnya izin-izin baru berbasis tanaman energi. Hingga saat ini bisnis biomassa dijalankan oleh korporasi yang terafiliasi dengan grup-grup besar dengan sebagian berupa PMA. Lahirnya izin baru untuk mengembangkan bisnis biomassa dapat berasal dari: 

(1) Aktivasi izin pada areal Ex Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pada izin-Izin HPH sepanjang 1998 sampai 2005, FWI (2024) mencatat izin-izin yang sudah tidak aktif (berupa Ex HPH) dan belum dibebani izin dapat mencapai 35,8 juta hektar di seluruh Indonesia. Kami mendalami kasus ini di Provinsi Gorontalo, dimana lahirnya izin-izin baru berasal dari areal Ex HPH. Setidaknya saat ini terdapat 6 izin baru yang akan terbit dan sudah komitmen mengusahakan hutan tanaman energi, antara lain PT. Hutani Cipta, PT Keia Lestari Indonesia 1, PT Lumintu Ageng Joyo, PT Keia Lestari Indonesia 2, PT Nawa Waskita Utama, PT Sorbu Argo Energi. Semua izin tersebut berupa HTE yang dibebankan di atas fungsi kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas di Kabupaten Boalemo, Pohuwato, dan Gorontalo Utara dengan total luas sekitar 180.600 hektar.

(2) Izin yang diberikan langsung dari arahan pemanfaatan hutan produksi KLHK. FWI (2024) mencatat luas areal yang disasar terbitnya izin baru yang berasal dari peta arahan menteri LHK tahun 2021 mencapai 13.594.912 hektar. Dimana 1.376.746 hektar-nya merupakan berasal dari arahan pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (HHK-HT) atau HTI dan HTE.

(3) Izin yang berasal dari areal pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit (Ex Perkebunan Kelapa Sawit) dari KLHK. FWI (2024) mencatat KLHK sampai data terkompilasi hingga tahun 2021 telah melakukan pelepasan kawasan hutan dengan total 5,9 juta hektar. Dimana 5,5 juta hektar-nya untuk perkebunan kelapa sawit.

potret transhipment wood pellet di laut gorontalo
Potret deforestasi di gorontalo

Kami mendalami kasus ini di Gorontalo. Terjadi transformasi izin-izin perkebunan kelapa sawit yang mendapatkan amnesti dari KLHK. Pada tahun 2020 KLHK menerbitkan izin berupa penetapan pemanfaatan hutan hak bagi 2 perusahaan Ex Perkebunan Kelapa Sawit di Gorontalo, yakni PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL) dengan luas masing-masing 15.493,42 hektar dan 11.860,10 hektar. Kedua perusahaan memanfaatkan kayu hutan alam dengan cara land clearing atau meng-deforestasi hutan di dalam konsesi mereka untuk dijadikan bahan baku wood pellet di perusahaan PT Biomassa Jaya Abadi (BJA). Kedua perusahaan berkomitmen untuk meng-deforestasi hutan alam agar dapat memenuhi kebutuhan produksi PT BJA  ekspor wood pellet ke Korea Selatan dan Jepang melalui perusahaan Hanwa co. Di Korea Selatan dan Jepang, biomassa wood pellet diklaim sebagai sumber energi terbarukan karena dianggap netral karbon. Padahal sesungguhnya tidak karena berasal dari deforestasi hutan alam. Penerbitan izin-izin baru untuk pemanfaatan biomassa hanya akan memperpanjang konflik agraria dan penguasaan hutan lahan oleh korporasi. Serta izin hanya akan diberikan kepada korporasi sehingga hanya akan memperluas areal yang dikuasai korporasi dan mempersempit ruang hidup masyarakat dan masyarakat adat.

Hutang Emisi

Pemanfaatan biomassa dengan cara dibakar yang dipenuhi dari pembangunan HTE hanya akan menghasilkan hutang emisi. Pasalnya, biomassa yang diproduksi berasal dari kerusakan hutan alam. Dimana hutan alam adalah salah satu ekosistem yang paling banyak menyimpan karbon dibanding hutan tanaman. Diketahui bahwa 1 hektar hutan alam dapat menyimpan karbon sebanyak 254 ton karbon-C. Sedangkan hutan tanaman dapat menyimpan karbon hanya 107,86 ton karbon per hektar. Artinya, konversi 1 hektar hutan alam menjadi hutan tanaman melalui land clearing hanya akan menghasilkan hutang emisi karbon sebesar 146,14 ton karbon-C per hektar. Belum lagi emisi yang dihasilkan dari pembakaran di pembangkit listrik. Biomass Action Network memperingatkan berbagai dampak pemanfaatan biomassa hutan untuk energi. Emisi dari pembangkit listrik tenaga biomassa diperkirakan  menghasilkan emisi yang sama besarnya dengan PLTU, sehingga biomassa tidak bisa digolongkan sebagai neutral carbon. Belum lagi jika menghitung emisi dengan penggunaan pupuk kimia dan pembukaan hutan secara masif atau perhitungan hulu-hilir tidak memisahkan antara sektor energi dan sektor hutan lahan.

Masifnya pemanfaatan biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan akan memicu konversi hutan dan lahan secara besar-besaran. Proyek biomassa hanya akan meningkatkan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia semakin tinggi dan mendorong terjadinya deforestasi secara terencana atas label hijau terbarukan. Aktor-aktor perusahaan yang selama ini bercokol di kehutanan, pertanian, dan pertambangan akan memanfaatkan berbagai skema kemudahan perizinan untuk turut andil dalam bisnis biomassa. 

Indonesia, dengan salah satu pewaris hutan hujan tropis terbesar di dunia, telah lama berjuang melawan deforestasi. Lahirnya revisi kebijakan energi dengan mendorong biomassa sebagai sumber energi terbarukan, dikhawatirkan akan meningkatkan laju deforestasi. Dengan demikian, ini langkah keliru yang hanya akan menjauhkan Indonesia dari capaian target bauran energi dan target capaian pengurangan emisi dari sektor hutan dan penggunaan lahan (Forest and Other Land Use/FoLU) dan sektor energi.

KORESPONDENSI
Anggi Prayoga
Sekretariat: Forest Watch Indonesia
Jalan Sempur Kaler Nomor 62 Kelurahan Sempur Kota Bogor
Whatsapp: (+62 857-2034-6154)
Selengkapnya dapat dilihat pada tautan dibawah ini:
Utak Atik Target Bauran Energi Nasional: Potret Ugal-Ugalan Proyek Biomassa
Published: Juli 29, 2024
Thank you for your vote!
Post rating: 4.6 from 5 (according 7 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top