Pengakuan Konstitusional Keberadaan Wilayah Hutan Mayarakat Adat yang Masih Terabaikan

Dari kebijakan yang sudah ada saat ini, seperti UU No.6 tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri No.52 tahun 2014 tentang Pedoman perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat. Sistem pengakuan yang dibangun sudah tidak kaku dan sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik saat ini. Pengakuan dilandasi tahapan verifikasi oleh tim yang terdiri dari unsur pemerintah terkait dan masyarakat hukum adat, yang pengesahaannya bisa melalui Peraturan Daerah ataupun SK Kepala daerah yang bersangkutan. Sementara itu, Kementerian Kehutanan masih terlihat kaku dalam mengakui hak-hak masyarakat hukum adat dengan masih berlandaskan UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Putusan MK 35/2012 adalah salah satu kritisi terhadap UU 41/1999 tentang kehutanan yang memasukkan hutan adat menjadi bagian dari hutan negara. Keluarnya Surat Edaran (SE) dan Permenhut No.62 tahun 2013 adalah salah satu sikap dan tindakan Kementerian kehutanan untuk mengakomodasi dan mengimplementasikan hasil putusan MK 35/2012. Tetapi landasan pengakuannya masih berdasarkan ketetapan dalam UU 41/1999 tentang kehutanan, dimana pengakuan terhadap Hutan Adat harus ditetapkan dalam Peraturan Daerah baru dikeluarkan dari kawasan hutan negara. Berbeda hal dengan Permendagri No.52 tahun 2014 bahwa pembiayaan pengakuan ditanggung bersama dari alokasi APBN dan APBD serta pembiayaan tak mengikat, sementara Permenhut No.62 tahun 2013 mensyaratkan pembiayaan penyusunan dan penetapan hutan adat dibebankan kepada pemerintah daerah.

Tantangan utama yang dialami pemerintahan daerah adalah komitmen Pemerintahan Daerah untuk membentuk “kebijakan daerah” yang mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat adat dan menjadi dasar dan dorongan melakukan implementasi Putusan MK No.35 tahun 2012. Tantangan lainnya adalah bagaimana mendorong Pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkan ‘Hutan Adat’ dalam bentuk Peraturan Daerah, sementara diketahui bahwa biaya penyusunan sebuah Perda bukanlah sedikit. Hal yang mengemuka dari Lokakarya khususnya Dinas Kehutanan dan Kepala KPH adalah penerjemahan pengertian antara ‘Hutan’ dan ‘Kawasan Hutan’ yang terdapat dalam UU No.41/1999 tentang kehutanan. Dari perdebatan panjang dalam diskusi, daripada menyesuaikan 45 kebijakan dibidang kehutanan dengan putusan MK 35/2012, maka pilihan yang paling baik adalah mendorong perubahan/revisi UU No.41/1999 tentang kehutanan. Hal senada juga mengemuka dari NGO nasional dan internasional yang hadir dalam pertemuan.

– Tulisan lengkap silahkan unduh di: Tulisan Lengkap (700 kb)
– Bahan-bahan seminar dapat diunduh pada link: tautan ke folder google drive

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top