Hampir 2 Tahun Perjalanan Putusan MK No.35/PUU-X/2012
Gambar 1. Narasumber sesi I, dalam lokakarya “Membangun kesepahaman para pihak dalam menyikapi dan menindaklanjuti Putusan MK No.35/2012
Pengakuan tentang status hutan adat diputuskan melalui putusan perkara Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujiaan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan oleh Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN), Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu di Kabupaten Kampar Provinsi Riau, dan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Di dalam keputusan tersebut, untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) menerima legal standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. MK mengabulkan sebagian dari butir-butir permohonan dari pemohon menyangkut keberadaan hutan adat yang dinyatakan bahwa statusnya berada di luar hutan negara.
Hasil Putusan MK 35 merupakan sebuah awal pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang memiliki hak konstitusional atas wilayah adatnya. Putusan MK 35 dipandang sebagai tindakan untuk memulihkan hak warga negara dan menata kembali hubungan masyarakat adat dengan pemerintahan dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan. Dengan adanya Putusan MK 35 ini, maka diharapkan akan lahir berbagai inisiatif yang melindungi dan mengakui hak-hak kesatuan masyarakat adat terhadap wilayah adatnya. Oleh karena kebijakan dan proses yang saling terkait, maka sangat diperlukan adanya kesepahaman bersama antara pemangku kebijakan dalam menginterpretasikan Putusan MK 35 dengan peran masing-masing sehingga mampu bersinergis dalam mengimplementasikan dan mewujudkan pengakuan dan perlindungan atas Hak Masyarakat Adat.
Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, dan BPN memiliki peranan yang sangat penting dan saling terkait dalam implementasi Putusan MK 35 khususnya Pemerintah Daerah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam mengakomodasi dan melaksanakan putusan MK 35. Kementerian Kehutanan misalnya, mengeluarkan Surat Edaran (SE) dan Peraturan Menteri, tetapi oleh sebagian pihak masih menganggap bahwa Kementerian Kehutanan masih setengah hati mengakui keberdaulatan keberadaan Hutan Adat dikeluarkan dari Hutan Negara. Hal ini terlihat dengan panjangnya proses legitimasi yang dilalui Masyarakat Hukum Adat untuk mendapatkan pengakuan dari Kementerian Kehutanan.