Jakarta, 24 Juni – Pemerintah mengklaim bahwa bioenergi adalah energi terbarukan yang akan menjadi solusi transisi energi. Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo dan Gibran Rakabuming menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi “raja energi hijau dunia”, salah satunya melalui pemanfaatan biomassa kayu sebagai sumber energi listrik.
Kayu sebagai sumber energi listrik diklaim sebagai alternatif bahan bakar fosil yang netral karbon, sehingga membantu melawan perubahan iklim. Klaim tersebut berhasil dipatahkan oleh Trend Asia melalui riset “Adu Klaim Menurunkan Emisi”. Khususnya ketika melibatkan deforestasi, ia akan menimbulkan hutang karbon yang akan memakan waktu puluhan tahun untuk dilunasi. Penelitian Trend Asia menemukan bahwa proses produksi kayu tersebut akan menghasilkan net emisi 26,48 juta ton emisi karbon.
Di penelitian lain, Trend Asia juga melihat “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi”, dimana penggunaan lahan dibutuhkan hingga 2,3 juta hektare atau 33 kali luas Jakarta, untuk memproduksi biomassa kayu.Ia juga diklaim akan mendorong ekonomi kerakyatan dengan pelibatan masyarakat dalam rantai pasok penyediaannya. Trend Asia melihat secara kritis implementasi dan klaim dari kebijakan co-firing biomassa, termasuk aktor-aktor siapa saja yang terlibat dalam penyediaan kayu dan menikmati keuntungan dari bisnis biomassa untuk PLTU co-firing.
Dalam laporan “Penangguk Cuan Transisi Energi”, Trend Asia menemukan bahwa rantai suplai biomassa didominasi oleh oligarki batu bara dan industri kayu. Ditemukan nama-nama grup besar yang sudah lama terjun dalam bisnis kayu, seperti APP Sinarmas Group, Sampoerna Group, Salim Group, Medco, Barito Pacific Group, Jhonlin Group, dan Wilmar.
Beberapa dari grup tersebut, seperti Sinarmas dan Wilmar juga terkait dengan bisnis bioenergi lain, yaitu biodiesel, dan menerima insentif dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Tidak hanya bisnis energi yang dikatakan terbarukan, konglomerasi tersebut juga terkait dengan bisnis energi kotor. Jhonlin Group dan Barito Pacific Group memiliki anak perusahaan yang menjadi pemasok batubara. Sementara Wilmar Group juga terlibat dalam investasi PLTU Sumatera Utara-2.
“Pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis kayu energi merupakan pemain lama dan kuat di industri kayu. Para pelaku usaha tersebut diuntungkan dari implementasi program co-firing karena berhasil memperoleh jenis bisnis baru, menutup keterlibatan pihak lain, terutama masyarakat, serta memastikan perolehan insentif dari pemerintah. Kami juga menemukan banyak dari korporasi tersebut bermasalah secara sosial dan lingkungan, baik melakukan perampasan lahan masyarakat adat, konflik dengan petani, maupun berada di kawasan gambut. Jadi tidak hanya klaim tentang ekonomi kerakyatanterpatahkan, tapi ini menunjukkan bahwa transisi energi lewat biomassa kayu hanya bisnis. Bisnis yang akan dikuasai oligarki yang sama. ” Amalya Oktaviani, Manajer Program Biomassa, Trend Asia.
Nama-nama yang muncul adalah nama oligarki yang selama ini menguasai bisnis ekstraktif di Indonesia. Termasuk perusahaan-perusahaan di bawah Grup Medco milik Arifin Panigoro, Jhonlin Group milik taipan batu bara Samsudin Andi Arsyad alias Haji Isam, Korindo Group milik Bob Hasan, hingga raksasa kertas Sinarmas Group.
Banyak dari perusahaan ini membawa rekam jejak buruk. PT Selaras Inti Semesta (PT SIS) yang terhubung dengan Medco Group, misalnya, telah diprotes keras oleh masyarakat adat akibat penggusuran dan perusakan hutan dalam pengelolaan konsesinya seluas 169.400 hektare di Merauke, Papua. PT Sadhana Arifnusa juga memiliki konflik dan mendorong kriminalisasi terhadap kelompok petani, hingga mengakibatkan 1 orang meninggal.
“Transisi energi dengan pendekatan sekarang melalui pembangunan hutan tanaman energi hanyalah bisnis semata. Jangan dikaitkan dengan upaya pengurangan emisi dan upaya meningkatkan bauran energi nasional. Ini bisnis energi yang menjadi pendorong deforestasi baru di Indonesia. Bahkan deforestasi secara terencana seluas 420 ribu hektare hutan alam di dalam 31 konsesi HTE,” ujar Anggi Putra Prayoga, Manajer
Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI). Meski dipromosikan sebagai solusi transisi energi yang berasas “ekonomi kerakyatan”, pada akhirnya industri biomassa kayu didominasi oleh konglomerasi oligarki lama, yang telah gemuk dengan eksploitasi energi fosil maupun eksploitasi kehutanan Indonesia.
Keterlibatan masyarakat terbatas pada remah-remah: petani-petani dilibatkan sebagai buruh perkebunan murah, sementara UMKM perkayuan hanya terlibat menyuplai limbah, seperti serbuk kayu, dengan harga murah. Dalam rantai suplai pun, ia didominasi oleh cukong dan badan usaha yang terafiliasi dengan PLTU.
Pengembangan biomassa tidak benar-benar ada untuk mendukung transisi energi bersih ataupun mendukung ekonomi kerakyatan. Ia adalah solusi murah untuk mendongkrak bauran energi terbarukan dengan permainan hitung-hitungan karbon yang patut dipertanyakan.
Ia memanfaatkan infrastruktur dan sistem eksploitasi hutan yang sudah akrab dikenal oligarki Indonesia. Ia juga erat dengan kepentingan industri energi fosil, khususnya batu bara, sebagai upaya kosmetik greenwashing PLTU untuk mencitrakan diri sebagai energi bersih dan menunda pemensiunan. Biomassa adalah solusi palsu transisi energi yang mengalihkan Indonesia dalam proses penting melawan perubahan iklim, dan ia harus disudahi.
Firman Imaduddin – Juru Kampanye Media Trend Asia(081386440901)
Lampiran
Riset terkait ancaman hutan tanaman energi dapat di unduh dalam link berikut : Riset ancaman hutan tanaman riset
Video tentang presentasi bioenergi dapat dilihat dan diunduh pada link berikut: Video presentasi