Suku Dayak Banuaq dengan khas pakaian adat mereka.
(foto:michael mailangkay/kabarkaltim.co.id)
Menurut salah satu tokoh adat yang dulu Kepala Kampung Muara Tae lalu dicopot oleh Bupati, yakni Misran, mengatakan p[ermasalahan lahan warga Muara Tae ini sudah dilaporkan ke Polda Kaltim pada bulan Agustus tahun 2012 silam. Saat itu warga menuntut penyerobotan dan penjualan tanah adat seluas 638 hektar pada September 2011 tidak sah.
Namun sebelumnya, lanjut Misran, warga Muara Tae mendapat surat keterangan yang dikeluarkan oleh Bupati Kutai Barat bernomor 146.3/K.525/2012 yang dikeluarkan akhir Mei 2012 lalu. SK itu tentang Penetapan dan Penegasan Batas Wilayah antara Kampung Muara Ponaq dan Kampung Muara Tae. SK itu menyebut, lahan yang diklami Muara Tae tersebut merupakan wilayah Kampung Muara Ponaq.
“Setelah SK Bupati itu, kami melaporkannya ke Polda Kaltim sekaligus menggugat SK itu ke PTUN Samarinda, namun gagal. Begitu juga dengan laporan ke Polda Kaltim, mentok dan hanya dilimpahkan ke Polres sebagai kasus perdata. Namun atas kasus ini tim Komnas HAM sempat turun ke Muara Tae, pada November 2012,” kata Misran.
Karena semua upaya hukum sudah mentok, warga kehabisan cara, dan terpaksa menggelar Sumpah Adat. Ritual yang baru kali ini dilakukan setelah berpuluh-puluh tahun tidak digelar. Bahkan, para sesepuh kampung tidak tahu kapan terakhir kali Sumpah Adat seperti ini dilakukan
Seharusnya Sumpah Adat digelar bersama, dalam arti ada juga perwakilan warga Muara Ponaq. Namun mereka tidak datang. Demikian juga perwakilan Pemkab, kepolisian, dan sejumlah pihak lain.
“Semua unsur sudah kami undang. Namun tak satupun yang datang. Dengan begitu melalui proses sumpah adat ini kami merasa menang,” terang Tokoh Adat Muara Tae lainnya, Petrus Asuy. (michael)