Dalam Workshop ini, Forest Watch Indonesia mengundang pembicara antara lain; 1). Dinamika Pembangunan KPH dan Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Pembangunan KPH oleh Prof Hariadi Kartodihardjo – Guru Besar Kehutanan IPB, 2). Strategi Nasional REDD+: Implementasi, Pemkembangan dan Ruang bagi CSO oleh Dr Nur Masripatain – Deputi Tata Kelola dan Kelembagaan REDD. Selain itu, FWI juga mengundang narasumber dari beberapa CSO/NGO yang telah berinisiatif dan mengembangkan panduan/tools untuk mendorong peran serta masyarakat dalam mendukung sistem tata kelola hutan yang lestari, adil dan berkelanjutan, seperti; 1). Community Carbon Pool/CCP dalam kerangka pembangunan KPH oleh Darmawan L – FFI, 2). Instrumen Penilaian Kinerja Pembangunan KPH oleh Soethon G Nanggara – FWI, 3). Safeguard Sebagai Prasyarat Implementasi REDD+ bagi Masyarakat Adat oleh Henky S – PB AMAN, 4). Resiko Korupsi dalam Implementasi REDD+ oleh Rivan P – TII, dan 5). Pentingnya Peran CSO dalam Pemantauan Implementasi REDD+ oleh M Kosar – FWI, 6). Komitmen Pemerintah untuk Mendorong Perbaikan Tata Kelola Hutan oleh Ismatauhakim – Puspijak, 7). Manfaat Instrumen Tata Kelola untuk Mendorong Perbaikan Tata Kelola Hutan di Indonesia oleh Andi Chairil – Perwakilan GFI, 8). Indeks Tata Kelola Hutan & Lahan serta Tantangan bagi Pemerintah Daerah oleh Henri Subagiyo – Direktur ICEL. Workshop ini dilaksanakan di Hotel “Arya Duta” – Jl. Prapatan 44-48 Jakarta Pusat pada Jumat s/d sabtu, 24-25 Oktober 2014.
Poin-Poin yang Mengemuka: Hasil-hasil Workshop
1.KPH saat ini telah menghadirkan kembali hak menguasai oleh negara, dimana sebelumnya tata kelola kehutanan berhadapan dengan swasta yang menyebabkan permasalah tata kelola pemanfaatan sumberdaya hutan tidak menemukan solusi strategis karena ketiadaan dan ketidakcukupan kapasitas pengguna izin (swasta) mampu menjawab ketidaksesuaian tata kelola kehutanan yang seharusnya dijalankan. Dengan dibangunnya KPH permasalahan-permasalah tata kelola kehutanan yang berujung konflik horisontal dan/atau vertikal diketemukan kembali dengan hak menguasai oleh negara sampai di tingkat tapak.
2.Ada harapan bahwa faktor leadership ke depan perlu diperankan KPH melampaui hukum positif administratif di tingkat tapak. Hal ini mengingat dinamika permasalahan tata kelola kehutanan di tingkat tapak yang terus berkembang, sementara itu juga berhadapan langsung dengan situasi kapasitas dan kapabilitas ‘given’ stakeholders yang masih jauh dari memadai. Langkah-langkah kepemimpinan pada pengelolaan dan pembangunan KPH tetap harus menunjukkan manfaat dan efektifitasnya di tingkat (pembangunan) wilayah dan masyarakat.
3.Peran CSO tidak perlu menunggu untuk selalu dilibatkan, namun perlu terus bergerak aktif menyampaikan fakta lapangan tata kelola kehutanan pada pemerintah. Selain itu KPH diharapkan juga dapat menjadi instrumen yang mendorong pengakuan legalitas terhadap praktek-praktek lestari kelola sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat.