Sebenarnya cerita ini adalah gambaran dari apa yang pernah saya alami dulu. Ketika saya masih tinggal bersama orangtua di sebuah desa di pinggiran hutan jati. Tempat tinggal keluarga kecil kami adalah Desa Gunungsari di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Seperti umumnya desa-desa di Kabupaten Ngawi, desa kami adalah desa yang gersang, terutama saat musim kemarau. Air yang tersedia sangat terbatas, itu pun di sungai yang surut atau sawah. Begitu terbatasnya bahkan warga desa seringkali berceloteh air hanya cukup untuk “minum burung”. Kondisi ini membuat warga desa begitu menghargai ketersediaan air. Saat musim kemarau tiba, para warga bergotong-royong untuk menggali sumur.
Kehidupan warga Gunungsari tidak jauh berbeda dengan desa-desa di pinggir hutan jati pada umumnya. Desa kecil yang dihuni oleh sekitar 120 kepala keluarga hidup dari bertani palawija, mengambil kayu bakar, rumput dan alang-alang.
Sebagai sebuah desa di pinggir hutan, tentu jarak antara rumah dengan hutan begitu dekat. Rumah orangtua saya sendiri hanya berjarak sekitar 20 meter dari tepi hutan. Hutan jati seluas 150 hektar tersebut dikelola oleh Perum Perhutani dan dijaga oleh 14 orang mandor. Seingat saya ke-empat belas orang mandor yang berjaga sepanjang siang maupun malam bukanlah warga setempat, melainkan pendatang dari daerah lain.
5 Comments
Rina
Ternyata kawan Lampor selama ini punya cerita tentang PERHUTANI. True Story from forestwatcher….
Saya jadi malu…..baru tahu cerita dan pengalamannya….
Moes Jum
Mbak Rina betul sekali … saya yakin setiap forestwatcher dari FWI pasti punya cerita yg seru spt ini.
Bagi saya ternyata Perhutani bermasalah tdk hanya terjadi di tempat2 yg sering terberitakan di media massa, bahkan di desa kecil di Ngawi ini juga ada. Jika demikian masihkah Perhutani tetap dipertahankan???
lampor
terima kasih mba rina atas komentarnya.
itu pengalaman dimasa kecil masih meler,hehe….
kenapa harus malu mba…menahan malu laper heheheeeeee
rainny
lampor keren banget..
Saji F
Wah keren sekali mas brow, ceritanya dan hingga saat ini di Ngawi juga masih sering terjadi ibaratnya main petak umpet kalau lengah ya lolos, itu bukti atas ketidak puasan masyarakat setempat khususnya di sekitar hutan.
Mereka hanya di iming-imingi janji manis namun kenyataanya mereka hanya gigit jari Minggu lalu aku kebelulan lewat Ngawi dan Mampir sejenak, ” Menurut warga desa bahwa Hutan Jati yang ia tanam dan sekarang sudah bisa di panen namun malah pihak Mandorlah yang menikmati hasil kayu-kayu tersebut, konon kabarnya pernah terjadi pencurian kayu Jati dan membawa kendaraan Truk untuk mengangkut hasil kayu-kayu tersebut.
Kalau hal semacam itu tidak ada yang memfasilitasi itu sangat tidak mungkin pasalnya hutan disana harus melewati perkampungan terlebih dahulu serta mereka membawa gergaji mesin.
untuk saat ini warga di sekitar Hutan hanya diam dan acuh bila terjadi pencurian baik secara perorangan atau yang bergerombol sekalipun. karena memang pihak Perhutani sendiri juga tak peduli dengan Masyarakat sekitar hutan. thanks, kawan, lanjutkan berkreasi dan tetap semangat untuk menulis hal-hal yang terbaru agar tetap up to date.