Mampukah Mekanisme Mediasi dan Konsultasi RCI Menyelesaikan Buruknya Dampak Tambang Nikel di Indonesia ?

Jakarta, 24 November 2023. Jum’at lalu beberapa NGO di Indonesia yang konsen terkait persoalan nikel di Indonesia bertemu dengan China Chamber of Commerce (CCCMC) dan Responsible Critical Mineral Initiative (RCI) di Jakarta. Kegiatan yang diinisiasi oleh Djokosoetono Research Center Fakultas Hukum Universitas Indonesia (DRC FHUI) ini berhubungan dengan rangkaian kegiatan kunjungan dan sosialisasi panduan uji tuntas (due diligence) dan mekanisme pengaduan (grievance mechanism) yang dilakukan oleh RCI dan CCCMC. Rencananya, di minggu ini tim dari tiongkok tersebut akan melakukan kunjungan ke IMIP Sulawesi Tengah dan IWIP di Maluku Utara. Menurut Juru Kampanye FWI, Agung Ady “ini merupakan Langkah yang strategis dan baik sebagai permulaan untuk CSO Indonesia terkoneksi dengan RCI dan CCCMC, selain kita bisa lebih dulu memberikan masukan dan juga menjabarkan temuan terkait fakta-fakta di lapangan sebelum mereka kunjungan ke IMIP & IWIP, hal ini juga bisa menjadi alternatif saluran pengaduan kasus yang mungkin tidak banyak diakomodir oleh pemerintah baik di tingkat lokal maupun pusat untuk isu nikel”.

CCCMC adalah organisasi sosial nirlaba berskala nasional yang dibentuk secara sukarela oleh unit-unit industri yang terdaftar secara hukum di wilayah Republik Rakyat Tiongkok yang menjalankan kegiatan ekonomi dalam bidang logam dan nonlogam, produk perangkat keras, produk bahan bangunan, minyak bumi, bahan baku kimia, serta industri hulu dan hilir dan produk-produk turunan dari beberapa produk yang disebutkan sebelumnya. Pada bulan November 2022, mereka berhasil membangun mekanisme akuntabilitas baru untuk sektor pertambangan yang mencakup permasalahan lingkungan, sosial dan hak asasi manusia dalam rantai nilai mineral yang saat ini juga akan di pakai oleh beberapa Perusahaan tambang nikel asal tiongkok yang ada di Indonesia.

Pada bulan Desember 2022, RCI dan CCCMC juga meminta masukan publik mengenai mekanisme akuntabilitas yang diusulkan. Rancangan kebijakannya menyatakan bahwa masyarakat yang terkena dampak kegiatan sektor pertambangan dapat mengajukan pengaduan dengan tuduhan bahwa perusahaan tidak mematuhi “kode etik yang diakui untuk perilaku bisnis yang bertanggung jawab”. Kode-kode ini antara lain adalah Pedoman CCCMC untuk Tanggung Jawab Sosial dalam Investasi Pertambangan terbuka, Pedoman Uji Tuntas Tiongkok untuk Rantai Pasokan Mineral, dan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Mekanisme ini akan menawarkan proses dialog yang dimediasi bagi masyarakat dan perusahaan untuk menegosiasikan ganti rugi atas dampak lingkungan dan sosial. Tergantung pada sifat kasusnya, proses ini juga mencakup pencarian fakta oleh para ahli independen untuk mendukung penyelesaian perselisihan. Aspek-aspek transparansi dalam proses penangan kasus juga akan dibuka kepada publik.

Adapun poin-poin utama yang CSO Indonesia sampaikan pada pertemuan ini adalah : 

  • Apakah mekanisme ini sudah sesuai dengan landscape politik dan regulasi di Indonesia: contohnya kebijakan di bidang sosial, lingkungan, peraturan daerah dan pusat, dll. Mekanisme ini juga seharusnya bisa lebih memasukan isu IPLC dan biodiversitas.
  • Power play yang ada antara IPLCs, pemerintah, aparat dan militer juga perusahaan dan pebisnis.  
  • Pemahaman bahwa proses yang panjang juga akan berdampak dan painful (menyakiti) kepada komunitas, karena tekanan dan intimidasi akan semakin panjang.
  • Grievance Mechanism yang bersifat voluntary ini harus memastikan penyelesaian konflik antar pihak sehingga tidak ada proses (walk-away) dan proses buying-time. Tidak boleh ada proses bisnis strategis ketika proses berjalan.
  • Transparansi dan independensi dari CCCMC dan RCI harus dijaga terkait keuangan dan member-member perusahan yang tergabung didalam nya

Namun demikian, mekanisme pengaduan yang disediakan RCI ini juga bukan merupakan satu-satunya jalan keluar yang pasti mendapatkan hasil penyelesaian kasus yang dapat menyenangkan bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Selain karena sifatnya yang sukarela, biasanya salah satu pihak yang minim dukungan baik sumber daya keuangan maupun akses informasi dan bantuan hukum, akan perlahan-lahan melemah seiring berjalannya waktu. Namun setidaknya, pihak RCI juga menyatakan akan hadir seobjektif mungkin di setiap tahapan proses penyelesaian. Untuk itu, memang diperlukan ujicoba baik oleh masyarakat yang terdampak secara langsung akibat aktivitas tambang, maupun juga dari kalangan NGO yang mendampingi para korban untuk bisa menggunakan mekanisme ini. Sehingga, kedepan bisa menjadi pertimbangan dalam pencarian kanal/saluran pengaduan yang bisa memberikan manfaat seadil-adilnya bagi kepentingan masyarakat terdampak dan lingkungan sekitar.

***

Catatan editor :

  1. Daftar NGO yang Hadir : DRC-FHUI, ICEL, AURIGA, SATYA BUMI, FWI, TUK, BHRRC, MADANI BERKELANJUTAN, TREND ASIA, IDI, DAN PWYP.
  2. Dokumen Chinese Due Diligence Guidelines for Mineral Supply Chain (Second Edition) dapat di unduh dengan tekan DISINI
  3. Dokumen Brief Paper FWI terkait Tambang Nikel yang merusak Hutan Halmahera dan Pulau-pulau Kecil sekitarnya dapat di unduh di tautan berikut : Eng_BP_Nickel Mining_Destroyer of Halmahera Forest
Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top