Bogor, 30 Agustus 2023. Independent Forest Monitoring Fund (IFM-Fund) menyelenggarakan pertemuan konsolidasi pemantau independent (PI) dengan mengundang perwakilan PI dari berbagai organisasi Masyarakat sipil (OMS) di daerah seperti Green Justice Indonesia (Sumatera Utara), Yayasan Gambut (Riau), Gapekta Borneo (Kalimantan Utara), Yayasan Kaharingan Institute (Kalimantan Tengah), Genesis (Bengkulu), Lembaga ASET (Jawa Timur), Absolute Indonesia (Jawa Barat), serta beberapa OMS Nasional seperti ICEL, Kaoem Telapak, JPIK, WRI dan FWI. Adapun tujuan utama konsolidasi ini adalah untuk mendiskusikan upaya penguatan pemantau independen.
Deden Pramudiana, selaku Koordinator Program IFM Fund menjelaskan bahwa Peran Pemantau Independen (PI) merupakan bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan tugas pemantauan hutan, karena mereka memiliki peran kunci dalam menjalankan fungsi check and balance. Namun, mewujudkan pemantauan hutan yang efektif dan berkelanjutan tidaklah mudah, dan berbagai tantangan harus diatasi agar usaha ini berhasil.
Untuk itu konsolidasi ini dilaksanakan dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi. Beberapa langkah tindak lanjut yang diambil dalam pertemuan ini mencakup peningkatan keamanan dan perlindungan bagi para pemantau, melalui pembangunan jaringan dan hubungan yang baik dengan Pemerintah, Lembaga Penegak Hukum, Komnas HAM, dan lembaga lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, penting untuk membangun kerjasama antara PI, Pemerintah, dan penegak hukum, dengan tujuan mendorong penegakan hukum dan penanganan laporan, tidak hanya terbatas pada temuan yang lengkap dan pemantauan perizinan, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas layanan serta ketersediaan data dan informasi yang seharusnya dapat diakses oleh publik, tambah Deden.
Peran pemantau independen menjadi sangat krusial untuk memperbaiki tata kelola hutan dan memastikan pengelolaan yang berkelanjutan. Pemantau independen yang terdiri dari Organisasi Masyarakat Sipil, masyarakat adat dan lokal, merupakan pihak yang menjalankan fungsi check and balance, melalui kerja-kerja pemantauan hutan. Hasil pemantauan menjadi masukan yang diperlukan dalam rangka perbaikan tata kelola hutan. Namun, salah satu tantangan yang dihadapi untuk menjaga kesinambungan kerja-kerja pemantauan independen adalah minimnya jumlah pemantau di Indonesia. IFM Fund mencatat, hingga saat ini ada 380 pemantau yang telah difasilitasi dan didukung.
Padahal, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari yang dikutip per 15 Agustus 2023, ada 596 pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan total luas sebesar 29.921.229 hektare[1], dan 1.545 pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPHH) Kayu[2]. Berdasarkan data tersebut, terdapat rasio yang tidak seimbang antara jumlah pemantau independen terhadap objek pemantauan.
Jika melihat jomplangnya proporsi tersebut, mungkin akan dirasa sangat perlu untuk terus melakukan regenerasi PI. Selain menambah jumlah PI kedepannya, regenerasi juga dimaksudkan untuk melibatkan kaum muda dalam melakukan pemantauan hutan. Terkait hal ini, Direktur Eksekutif FWI – Mufti Fathul Barri menyampaikan, “FWI telah mengembangkan mekanisme pemantauan hutan sederhana yang ditujukan untuk komunitas adat serta masyarakat umum, serta muda-mudi yang mungkin tertarik melakukan aktifitas pemantauan sembari tetap melakukan aktifitas sehari-harinya (berkebun, treking di hutan, camping, dll). Sehingga aktivitas memantau hutan bisa dilakukan oleh siapapun dan dengan suasana yang nyaman dan menyenangkan”.
Namun, kendala utama yang sering muncul saat ini adalah terkait ketersedian informasi dan kualitas informasinya. Data dan informasi sangat dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan (perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan) sumber daya hutan dan mendorong semua pihak dapat aktif terlibat memerangi illegal logging, membantu penyelesaian konflik tenurial, maupun mencegah kerugian negara akibat korupsi di sektor kehutanan. Selain itu juga memberi ruang bagi masyarakat lokal atau adat untuk menentukan pilihannya atas pembangunan kehutanan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah cukup terbuka (banyaknya data disajikan dalam sistem informasi), namun kondisi saat ini masih menunjukan keterbukaan informasi yang belum diajalankan sepenuhnya sesuai mandat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Seperti contoh, proses untuk memperoleh informasi tersebut biasanya memakan waktu yang cukup lama sehingga sangat tidak efektif dan menghambat proses pemantauan hutan.
Dalam hal penanganan kasus atau pengaduan yang dilakukan oleh PI, terutama yang disalurkan via jalur pengaduan ke Gakkum KLHK, mayoritas perwakilan PI masih menyayangkan banyak hal. Pertama, lamanya proses dan kejelasan proses penanganan kasus, bahkan ada yang sudah lewat dua tahun baru ditangani. Jika ini terkait illegal logging, sudah pasti bisa dipastikan kayu yang menjadi objek barang bukti sudah hilang dan mungkin masuk ke rantai pasok industri kayu. Kedua, PI seringkali diminta melampirkan data-data rinci yang harusnya itu menjadi bagian tanggung jawab pihak penegak hukum. Ketiga, seperti yang diceritakan perwakilan PI dari Bengkulu, bahwa PI selaku pelapor justru dipertemukan secara langsung dengan pihak manajerial Perusahaan yang dilaporkan, dilokasi yang difasilitasi oleh Perusahaan, sehingga PI menilai ada keberpihakan yang tidak tepat dalam penanganan kasus kejahatan lingkungan. Sejak tahun 2015, Kejahatan Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat dikatagorikan berdasarkan beberapa tipologi, antara lain permasalahan kebakaran hutan dan lahan sebesar 2%, illegal loging sebesar 15%, kasus peredaran TSL sebesar 9%, kerusakan lingkungan sebesar 1%, perambahan dan pertambangan sebesar 14% dan pencemaran lingkungan 57%[3].
Pasca UUCK, pengakuan dan perlindungan PI diatur dalam PermenLHK 8/2021[4]. Meskipun sudah diatur dan diakomodir didalam peraturan terbaru, namun hanya bersifat normatif tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Perlindungan yang dimaksud hanya berbunyi dilaksanakan sesuai standar dan pedoman. Tentunya hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang para PI sampaikan di pertemuan ini. Selain itu, hingga saat ini masih sangat jarang atau bahkan belum ada PI yang melakukan pemantauan hutan secara terbuka, dengan memperoleh izin terlebih dahulu ke KLHK maupun ke perusahaan terkait. Yang terjadi kemudian adalah, PI masih sangat rentan mengalami kriminalisasi di lapangan pada saat melakukan aktivitas pemantauan hutan.
Terkait dengan penggunaan teknologi pemantauan, WRI Indonesia menyampaikan bahwa pemanfaatan penginderaan jauh dan intepretasi citra satelit saat ini sudah sangat umum digunakan, termasuk oleh pemerintah Indonesia dengan membangun Simontana. Platform open data seperti Global Forest Watch (GFW) juga hadir menyediakan kondisi hutan terkini baik dalam skala global maupun wilayah tropis seperti Indonesia. Penerapan negara lain yang mungkin bisa dijadikan contoh yang baik adalah Brazil, yang telah memiliki platform Terra Brasillis. Dari platform ini pemerintah Brazil bisa menghasilkan angka deforestasi tahunan yang dilengkapi dengan sistem “beter“ yang menghasilkan informasi harian mengenai peringatan deforestasi. Sehingga dua sistem tersebut bisa menghasilkan respon yang cepat dan Pemerintah Brazil bisa menanggulangi adanya dugaan perubahan tutupan hutan akibat dari illegal logging maupun kebakaran hutan dengan lebih cepat.
Selain dari tantangan dan permasalahan yang telah dibahas diatas, ada satu lagi tantangan yang juga menghambat PI dalam melakukan pemantauan. Ketiadaan jaminan dari Pemerintah maupun pihak lain dalam hal pendanaan untuk kerja-kerja pemantauan menjadi salah satu sebab jomplangnya jumlah pemantauan yang dilakukan oleh PI dengan jumlah pemilik izin yang harus dipantau. “Dalam kaitannya menjaga kredibilitas kerja-kerja PI yang mampu menghasilkan temuan yang tidak mudah diintervensi, saat ini belum ada mekanisme pendanaan bagi para PI. Selain itu, wacana membangun mekanisme pendanaan ini untuk meningkatkan efektifitas pemantauan hutan, untuk meredam laju deforestasi di Indonesia. Dimana deforestasi kerap kali terjadi secara masif di daerah-daerah yang memiliki aksesibilitas rendah seperti pulau kecil, daerah terisolir, wilayah timur Indonesia, dan perbatasan antar negara, tutup pengkampanye FWI – Agung Ady.