Apakah Masyarakat Adat memiliki pengetahuan?
Apakah Masyarakat Adat menguasai teknologi?
Dua pertanyaan ini muncul, karena banyak banyak orang salah kaprah dalam melihat keberadaan masyarakat adat. Pertama, ada anggapan bahwa masyakat adat adalah masyarakat terbelakang, jauh dari sentuhan kehidupan ‘modern’ yang sarat teknologi. Kedua, sejalan dengan pandangan masyarakat adat terbelakang, maka menutup kemungkinan Masyarakat adat memiliki atau menguasai teknologi.
Pengetahuan adalah hasil tahu dari seseorang setelah ia melakukan penginderaan terhadap suatu obyek (Notoatmodjo 2010). Penginderaan yang dimaksud yaitu melalui Indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan diperoleh melalui berbagai cara, seperti pengalaman pribadi, komunikasi interpersonal, pendidikan formal, media informasi dll. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan pengetahuan sebagai segala sesuatu yang diketahui, kepandaian, dan segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan suatu hal.
Sementara teknologi diartikan sebagai penerapan pengetahuan, ketrampilan, dan metode untuk menciptakan alat,teknik, dan jasa. Teknologi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang dibutuhkan manusia. Wujud teknologi adalah alat, mesin, metode ajar, perangkat lunak dan sistem.
Jika menilik kedua definisi di atas, seharusnya jelas masyarakat adat sebagai makhluk yang hidup memiliki pengetahuan dan teknologi. Dari mulai pengetahuan akan pertanian, obat-batan, pemuliaan benih, tenun, ukir, tarian, alat musik, astronomi, kalender bertani, pengetahuan perjalanan laut, pangan, gastronomi.
Masyarakat adat di Jawa memiliki penanggalan sendiri dalam bercocok tanam berdasarkan peredaran semu matahari. Dengan demikian mereka memiliki pengaturan jadwal bercocok tanam, memahami waktu-waktu baik kapan melakukan penanaman, terutama yang mengandalkan hujan sebagai sumber air. Mereka akan menggunakan pranata mangsa sebagai pedoman.
Seiring dengan pengetahuan itu, lahirlah teknologi, seperti teknologi dalam sandang (tenun), papan (rumah, bangunan), pangan (Bertani, berburu, pengolahan pangan), transport (perahu). Bukankah Ketika Perempuan adat menghasilkan selembar kain tenun, itu lahir dari dukungan teknologi? Dari alat pintal benang sampai alat tenunnya, dari membuat berbagai macam warna untuk kainnya, dari pola yang diciptakan di atas kain tersebut dengan berbagai teknik. Juga Ketika perahu phinisi diciptakan oleh masyarakat adat di bulukumba, tidakkah ini melibatkan teknologi?
Ketika banyak seniman musik meributkan performance right hak pencipta lagu atas lagu ciptaannya dalam konflik hukum Agnes Monica (penyanyi) vs Ari Bias (pencipta lagu). Tidak ada satupun seniman yang terusik untuk berpikir apalagi berjuang mengenai performance rights Masyarakat adat yang tari-tariannya dipakai dalam berbagai macam upacara seremonial negara, ataupun sekedar tarian sambutan dalam berbagai atraksi pariwisata.
Masalahnya, dewasa ini tidak ada pengakuan atas pengetahuan dan teknologi atau kekayaan intelektual yang dikuasai oleh masyarakat adat, sehingga akibatnya orang bisa seenaknya membajak ataupun mengkopi pengetahuan dan teknologi tersebut tanpa memberikan kompensasi kepada penguasa asal pengetahuan dan teknologi tersebut.
Walaupun seperangkat peraturan mengenai kekayaan intelektual telah dilahirkan, seperti UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten yang mengatur hak eksklusif atas penemuan produk dan/atau proses produksi. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek: Mengatur hak eksklusif atas merek, termasuk merek dagang dan merek jasa. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta: Mengatur hak cipta atas karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta: Mengatur tentang Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen): PP No. 2 Tahun 2005 tentang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. PP Nomor 56 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik: Mengatur pengelolaan royalti hak cipta, dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 Tentang Kekayaan Intelektual Komunal.
Namun, kesemua peraturan di atas belum cocok dengan langgam Masyarakat adat yang memiliki aturan tingkah laku, sistem pengambilan Keputusan dan produksi yang khas. Karena itu, tulisan ini adalah awal dari ajakan kepada semua pihak untuk memikirkan mengenai kekayaan intelektual yang dikuasai oleh masyarakat adat, agar kekayaan intelektual mereka terlindungi, diakui dan dihargai. Salah satu cara terbaik adalah perlu adanya aturan setingkat UU yang mengakui, menghormati dan melindungi pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh Masyarakat adat. Kemudian mengidentifikasikan dan mendokumentasikan pengetahuan dan teknologi dalam sebuah sistem yang aman dan mudah diakses. Kehadiran UU tentang Masyarakat Adat menjadi penting
Peneliti Senior debtWATCH Indonesia (dWI)
debtWATCH Indonesia adalah anggota Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat
Maret 2025
Publikasi dapat diunduh pada tautan dibawah ini: